Wednesday, March 28, 2012

Kajian Stilistika Lirik Lagu "Lagu untuk Sebuah Nama" Karya Ebiet G. Ade

PENDAHULUAN
Gaya bahasa merupakan bahasa yang digunakan secara khusus untuk menimbulkan efek tertentu, khususnya efek estetis. Keraf (1991: 113) menegaskan, bahwa gaya bahasa disusun untuk mengungkapkan pikiran secara khas yang memperlihatkan perasaan jiwa dan kepribadian penulis. Gaya bahasa adalah cara pemakaian bahasa pada karangan, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. 
Hakikat style adalah teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang diungkapkan. Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan gagasan dan perasaan dengan bahasa khas sesuai bdengan kretivitas, kepribadian dan karakter pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik, atau efek kepuitisan dan efek penciptaan makna (Al-Ma’ruf, 2009: 137).

Gaya bahasa dalam karya estetis khususnya lagu berperan penting dalam menciptakan efek kepuitisan atau efek estetika (keindahan). Lagu sebagai puisi yang diiramakan atau didendangkan mempunyai struktur yang sebagaimana struktur puisi. Pegkajian gaya bahasa lirik lagu dapat mengungkapkan bagaimana pengarang tersebut mengeksplorasi potensi bahasa dalam menciptakan estetika bahasa yang dituangkan dalam sebuah lagu. Ebiet G. Ade sebagai salah satu musisi Indonesia mempunyai lagu-lagu yang banyak digemari orang. Beberapa lagunya mendapat apresiasi yang positif dari masyarakat sehingga lagunya masih banyak yang menggemari meskipun sekarang bermunculan banyak musisi lain.

Ebiet G. Ade dikenal dengan lagu-lagunya yang bertemakan alam dan duka derita kelompok tersisih. Lewat lagu-lagunya yang ber-genre balada, pada awal kariernya, ia ‘memotret’ suasana kehidupan Indonesia di akhir tahun 1970-an hingga sekarang. Tema lagunya beragam, tidak hanya tentang cinta, tetap ada juga lagu-lagu bertemakan alam, sosial-politik, bencana, religius, dan keluarga. Semua lagu ditulisnya sendiri, ia tidak pernah menyanyikan lagu yang diciptakan orang lain, kecuali lagu Mengarungi Keberkahan Tuhan yang ditulis bersama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. (id.wikipedia.org)

Ebiet G. Ade merupakan salah seorang penyanyi papan atas dengan segudang penghargaan, ia juga memiliki kharisma besar. Beliau sangat pandai mengolah kata menjadi sesuatu yang hidup dengan mengambil permasalahan kehidupan sehari-hari untuk dituangkan ke dalam lirik lagu-lagunya. Ebiet mendapat beberapa penghargaan di bidang musik di antaranya adalah Penyanyi Solo dan Balada terbaik Anugerah Musik Indonesia (1997), Lagu Terbaik AMI Sharp Award (2000), dan Planet Muzik Awards dari Singapura (2002). 
Selain itu, Ebiet juga mendapat penghargaan di bidang lingkungan hidup atas karya-karyanya yang bertema tentang alam. Penghargaan tersebut di antaranya Penghargaan Lingkungan Hidup (2005), Duta Lingkungan Hidup (2006), dan Penghargaan Peduli Award Forum Indonesia Muda (2006). (id.wikipedia.org)

Ketenaran Ebiet dan juga bagusnya apresiasi masyarakat Indonesia terhadap lagu-lagunya membuat peneliti tertarik untuk melakuakan pengkajian estetik terhadap lirik lagu karangan Ebiet khususnya lagu “Lagu untuk Sebuah Nama”. Penelitian ini berusaha mengungkapkan nilai estetika dan gaya bahasa yang digunakan dalam lirik lagu tersebut. Penelitian ini berjudul: “Kajian Stilistika Lirik Lagu ”Lagu Untuk Sebuah Nama” Karya Ebiet G. Ade”.


LANDASAN TEORI
A. Stilistika
Stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa didalam karya sastra (Abram dalam Al-Ma’ruf, 2009: 10). Stilistika adalah proses menganalisis karya sastra dengan mengkaji unsur-unsur bahasa sebagai medium karya sastra yang dugunakan sastrawan sehingga terlihat bagaimana perlakuan sastrawan terhadap bahasa dalam rangka menuangkan gagasannya. Ratna (dalam Al-Ma’ruf, 2009: 10) menyatakan, stilistika merupakan ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannya.

Kajian stilistika karya sastra ditinjau dari kompleksitasnya terbagi menjadi dua macam. Pertama, kajian stilistika karya sastra difokuskan pada pemberdayaan segenap potensi bahasa melalui ekploitasi dan manipulasi bahasa sebagai tanda-tanda linguistik semata. Tanda-tanda linguistik itu meliputi keunikan dan kekhasan bunyi bahasa, diksi, kalimat, wacana, bahasa figuratif dan citraan. Kedua, kajian stilistika yang secara lengkap mengkaji pemanfaatan berbagai bentuk kebahasaan yang sengaja diciptakan oleh sastrawan dalam karya sastra sebagai media ekspresi gagasannya.

B. Gaya Bahasa
Gaya diartikan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam kreasi penulisan sastra, efek tersebut terkait dengan upaya pemerkayaan makna, baik penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun pemberian efek emotif tertentu bagi pembacanya (Aminnudin dalam Al-Ma’ruf 2009).

Hakikat gaya (style) adalah cara mengungkapkan diri sendiri, baik melalui bahasa, tingkah laku, dan sebagainya. Dengan mempelajari gaya dari seseorang, kita akan mengetahui dan menilai pribadi, watak dan kemampuan sseorang yang bersangkutan. Gaya bahasa merupakan bagian dari pilihan kata atau diksi yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata. (Satoto, 1995)

C. Aspek-aspek Stilitiska dalam Kajian Karya Sastra
1. Gaya Bunyi (Fonem)
Fonem atau bunyi bahasa merupakan unsur lingual terkecil dalam satuan bahasa yang dapat menimbulkan dan/ atau membedakan arti tertentu. Fonem terbagi menjadi vokal dan konsonan. Dalam karya sastra genre puisi, fonem merupakan aspek yang memegang peran penting dalam penciptaan efek estetik. Timbulnya irama indah yang tercipta dalam puisi, misalnya karena adanya asonansi dan aliterasi itu akan menimbulkan orkestrasi bunyi yang menciptakan nada dan suasana tertentu. (Al-Ma’ruf, 2009: 47-49)

2. Gaya Kata (Diksi)
Diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dilakukan oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan efek makna tertentu. Kata merupakan unsur bahasa yang paling esensial dalam karya sastra. Karena itu, dalam pemilihannya para sastrawan berusaha agar kata-kata yang digunakannya mengandung kepadatan dan intensitasnya serta agar selaras dengan sarana komunikasi puitis lainnya. (Al-Ma’ruf, 2009: 49-57)

3. Gaya Kalimat (Sintaksis)
Kalimat ialah penggunaan suatu kalimat untuk memperoleh efek tertentu, misalnya infers, gaya kalimat tanya, perintah, dan elips. Sebuah gagasan atau pesan (struktur batin) dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat (struktur lahir) yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Karena dalam sastra pengarang memiliki kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa (licentia poetica) guna mencapai efek tertentu, adanya bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar. Penyiasatan struktur kalimat itu dapat bermacam-macam wujudnya, mungkin berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu, dan sebagainya. (Al-Ma’ruf, 2009: 57-58)

4. Gaya Wacana
Menurut Kridaklaksana (dalam Al-Ma’ruf (2009: 58) Wacana ialah satuan bahasa terlengkap, yang memiliki hierarki tertinggi dalam gramatika. Gaya wacana ialah gaya bahasa dengan penggunaan lebih dari satu kalimat, kombinasi kalimat, baik dalam prosa maupun puisi. Gaya wacana dapat berupa paragraf (dalam prosa atau fiksi), bait (dalam puisi atau sajak), keseluruhan karya sastra baik prosa seperti novel dan cerpen, maupun keseluruhan puisi. Gaya wacana dalam sastra adalah gaya wacana dengan pemanfaatan sarana retorika seperti repetisi, paralelisme, klimaks, antiklimaks, dan hiperbola serta gaya wacana campur kode dan alih kode.

5. Bahasa Figuratif (Figurative Language)
Bahasa figuratif merupakan retorika sastra yang sangat dominan. Bahasa figuratif merupakan cara pengarang dalam memanfaatkan bahasa untuk memperoleh efek estetis dengan pengungkapan gagasan secara kias yang menyaran pada makna literal (Literal Meaning). Bahasa figuratif dalam penelitian stilistika karya sastra dapat mencakup majas, idiom dan peribahasa. (Al-Ma’ruf, 2009: 60-61)

6. Citraan (Imagery)
Citraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Menurut Sayuti (dalam Al-Ma’ruf, 2009: 60), citraan dapat diartikan sebagai kata atau serangkaian kata yang dapat membentuk gambaran mental atau dapat membangkitkan pengalaman tertentu. Dalam fiksi citraan dibedakan menjadi citraan literal dan citraan figuratif.

Citraan kata dapat dibagi menjadi tujuh jenis yakni: 1) citraan penglihatan (visual imagery), 2) citraan pendengaran (auditory imagery), 3) citraan gerakan (movement imagery/ kinaesthetic), 4) citraan perabaan (tactile/thermal imagery), 5) citraan penciuman (smell imagery), 6) citraan pencecapan (taste imagery), dan 7) citraan intelektual (intellectual imagery).


HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut ini disajikan data analisis berupa lirik lagu “Lagu untuk Sebuah Nama” karya Ebiet G. Ade dengan diberi penomoran untuk setiap barisnya.
I
(1) Mengapa jiwaku mesti bergetar
(2) Sedang musik pun manis kudengar
(3) Mungkin karena kulihat lagi
(4) Lentik bulu matamu
(5) Bibirmu dan rambutmu yang kau biarkan
(6) Jatuh berderai di keningmu
(7) Makin mengajakku terpana
(8) Kau goreskan gita cinta

II
(9) Mengapa aku mesti duduk di sini
(10) Sedang kau tepat di depanku
(11) Mestinya kau berdiri berjalan ke depanmu
(12) Kusapa dan kunikmati wajahmu
(13) Atau kuisyaratkan cinta
(14) Tapi semua tak kulakukan
(15) Kata orang cinta mesti berkorban

III
(16) Mengapa dadaku mesti bergoncang
(17) Bila kusebutkan namamu
(18) Sedang kau diciptakan bukanlah untukku
(19) Itu pasti tapi aku tak mau peduli
(20) Sebab cinta bukan mesti bersatu
(21) Biar kucumbui bayanganmu
(22) Dan kusandarkan harapanku
(23) Jatuh berderai di keningmu

A. Analisis Gaya Bahasa Lirik Lagu “Lagu untuk Sebuah Nama”
1. Gaya Bunyi (Fonem)
Lagu “Lagu untuk Sebuah Nama” secara keseluruhan didominasi oleh adanya bunyi vokal /a/ dan /u/. Bunyi /a/ dan /u/ adalah bunyi yang merdu dan indah (euphony). Bunyi vokal /a/ dan /u/ mengasosiasikan suasana mesra, penuh kasih sayang, gembira, bahagia, dan sendu.

Pada baris (1) dan (2) terdapat komposisi bunyi yang berirama teratur. Dua baris awal ini masing-masing terdiri dari empat kata yang tiap kata diakhiri bunyi vokal yang sama. Pada baris pertama ada vokal “auia”, yakni /Mengapa jiwaku mesti bergetar/, begitu juga pada baris kedua, /Sedang musikpun manis kudengar/. Kedua baris tersebut diakhiri dengan bunyi konsonan yang sama yaitu /r/ pada kata “bergetar” dan “kudengar” sehingga mempunyai irama yang indah.

Rima yang teratur tampak pada hampir seluruh baris. Selain pada baris (1) dan (2) yang diakhiri dengan bunyi konsonan /r/, baris (4) dan (6) diakhiri dengan bunyi vokal /u/, yakni kata “matamu” dan “keningmu”. Baris (7) dan (8) diakhiri bunyi vokal /a/ pada kata “terpana” dan “cinta”. Penyair berusaha menciptakan keindahan bunyi pada bait pertama ini dengan ditandai adanya keteraturan rima. 
Pada bait kedua ada rima yang ditandai dengan akhiran bunyi vokal /u/ pada baris (10), (11), dan (12), yakni kata “depanku”, “depanmu”, dan “wajahmu”. Juga ditandai dengan akhiran bunyi vokal dan konsonan /an/, yakni pada baris (14) dan (15) pada kata “kulakukan” dan “berkorban”. Pada bait ketiga didominasi rima bunyi vokal /u/ yaitu pada baris (17), (18), (20), (21), (22), dan (23), masing-masing pada kata “namamu”, “untukku”, “bersatu”, “bayanganmu”, “harapanku”, dan “keningmu”.

Selain bunyi rima yang teratur, pada setiap bait ada bunyi vokal /i/ pada akhir baris. Masing-masing baris tersebut adalah baris (3), (9), dan (19), yakni kata “lagi”, “sini”, dan “peduli”. Pemilihan bunyi /i/ ini menarik karena secara sendiri tiap baitnya, rima bunyi vokal /i/ ini tampak janggal karena berbeda dengan rima pada baris lain. Penggunan bunyi vokal /i/ ini menghasilkan sesuatu yang ‘lain’, yang berkesan keluar dari irama rima yang teratur. Namun secara keseluruhan bunyi vokal /i/ ini menjadi teratur karena pada masing-masing bait terdapat satu baris yang diakhiri dengan vokal /i/. 
Selain bunyi vokal /i/ terdapat bunyi lain yang terasa beda dengan rima yang ada yakni bunyi /ŋ/ yakni kata “berguncang” pada baris (16). Kata “berguncang” yang mengawali bait ketiga memberi efek penekanan dan menimbulkan efek keindahan karena adanya bunyi yang menekan setelah adanya jeda bait kedua. Penekanan ini membuat pendengar lagu tersebut seperti dipaksa untuk memperhatikan apa yang akan disampaikan pada bait ketiga.

Kesimpulannya, penggunaan bunyi pada lagu “Lagu untuk Sebuah Nama” didominasi oleh vokal /a/ dan /u/ yang mengasosiasikan suasana mesra, penuh kasih sayang, gembira, bahagia, dan sendu. Adanya rima yang teratur menambah keindahan bunyi saat lagu tersebut didendangkan. Selain itu, ada bunyi yang berbeda dari keteraturan rima tersebut yang juga menambah efek keindahan keseluruhan bait lagu dan memberi efek penekanan.

2. Gaya Kata (Diksi)
Secara umum, pemilihan kata pada lagu “Lagu untuk Sebuah Nama” banyak menggunakan kata-kata denotatif yang mudah dipahami oleh pendengar. Kata-kata denotatif ini menuntun pendengar untuk lebih mudah memahami dan menghayati isi dari lagu tersebut. “Lagu untuk Sebuah Nama” menggunakan kata-kata denotatif untuk menggambarkan secara jelas keadaan yang diciptakan pengarang. Untuk menggambarkan kecantikan seorang gadis, pengarang menggunakan kata-kata denotatif berupa bagian tubuh, yakni “lentik bulu matamu”, “bibirmu”, “rambutmu”, “keningmu”, dan “wajahmu”. Kemudian kata-kata tersebut dirangkaikan dengan kata-kata konotatif untuk menciptakan efek yang mendalam. Misalnya /Bibirmu dan rambutmu yang kau biarkan/ /Jatuh berderai di keningmu/ /Makin mengajakku terpana/. Penggunaan kata-kata tersebut dapat menggambarkan secara mendalam tentang kecantikan si gadis.

Kata sapaan yang digunakan pengarang yaitu “aku” sebagai persona pertama tunggal dan “kau” sebagai persona kedua tunggal. Penggunaan kata sapaan “aku” membuat pembaca atau pendengar mengasosiasikan bahwa tokoh utama dalam kisah lagu tersebut adalah dirinya sendiri. Hal ini membawa pada sebuah keadaan yang dekat, akrab, dan bersifat pribadi sehingga lirik lagu tersebut terasa lebih menyentuh. Penggunaan persona “kau” dan pronomina persona -mu juga mendukung penciptaan efek kedekatan. Persona “kau” dan pronomina persona -mu dirasakan lebih dapat menciptkaan efek kedekatan dan keakraban daripada persona “dia” atau pronomina persona -nya.

3. Gaya Kalimat (Sintaksis)
Gaya kalimat dalam lagu hampir sama atau bahkan sama dengan gaya kalimat pada puisi yaitu ditandai dengan pemadatan kalimat. Pemadatan kalimat dilakukan untuk menciptakan keselarasan bunyi maupun kata sehingga tercipta gaya bahasa yang bernilai estetik.

Lirik lagu “Lagu untuk Sebuah Nama” menggunakan pemadatan kalimat. Pemadatan kalimat terdapat pada baris (3) dan (4), /(Jiwaku bergetar) mungkin karena kulihat lagi/ /lentik bulu matamu/. Kata “jiwaku bergetar” dilesapkan sehingga kalimat tersebut dimulai dengan kata perangkai (konjungsi) “mungkin karena”. Pemadatan kalimat juga digunakan pada baris (8) /Kau goreskan gita cinta/. Baris tersebut apabila diparafrase menjadi /Kau (meng)goreskan gita cinta (di hatiku)/. Afiks me-N dilesapkan pada kata “menggoreskan” sehingga didapatkan kata “goreskan”. Kata “goreskan” terasa lebih indah terdengar daripada kata “menggoreskan”. Selain itu, kata “di hatiku” dilesapkan sehingga baris (8) menjadi kalimat yang padat.

Pada bait kedua pemadatan kalimat dilakukan pada hampir semua baris. Baris (10) dilakukan pemadatan, yaitu /sedang kau (berada) tepat di depanku/. Baris (12) /Kusapa (dirimu) dan kunikmati (kecantikan) wajahmu/. Baris (13) /atau kuisyaratkan cinta (kepadamu)/. Baris (14) dan (15) /Tapi semua (itu) tak kulakukan/ (karena) /Kata orang cinta mesti berkorban/. Pada bait ketiga pemadatan kalimat terdapat pada baris (19) /(Kau diciptakan bukanlah untukku) itu pasti tapi aku tak mau peduli/.

Pemadatan kalimat yang dilakukan oleh pengarang tersebut tidaklah menyulitkan pembaca untuk memahami makna kalimat secara keseluruhan. Pemadatan kalimat dilakukan untuk mendapatkan kalimat yang efektif dan untuk mendapatkan irama yang sesuai. Pemadatan kalimat sangat diperlukan dalam lirik lagu karena lagu yang didendangkan haruslah sesuai iramanya agar dapat selaras dengan komposisi musiknya.

4. Gaya Wacana
Struktur lirik lagu “Lagu untuk Sebuah Nama” terdiri dari tiga bait. Tiap bait ditandai dengan kata tanya “mengapa”, yaitu pada baris (1), (9), dan (16).
(1) Mengapa jiwaku mesti bergetar
(9) Mengapa aku mesti duduk di sini
(16) Mengapa dadaku mesti bergoncang

Repetisi kata mengapa pada awal tiap baris tiap bait menciptakan sebuah irama. Bait I dan III terdiri dari 8 baris sedangkan bait II terdiri dari 7 baris. Pemilihan jumlah baris tiap bait untuk mendukung irama lagu sehingga lagu terdengar merdu. Repetisi (pengulangan) kalimat juga terdapat pada baris (6) dengan baris (23), yakni /Jatuh berderai di keningmu/. Klausa /Jatuh berderai di keningmu/ pada baris (6) merupakan gabungan dari baris (5) /Bibirmu dan rambutmu yang kau biarkan/, sedangkan pada baris (23) merupakan gabungan dengan baris (22) /Dan kusandarkan harapanku/. Baris (5) menggunakan kata-kata denotatif –yang jatuh berderai adalah rambut si gadis–, sedangkan baris (22) menggunakan kata konotatif dengan majas personifikasi –yang jatuh berderai adalah harapan si aku.

Penggambaran suatu keadaan menggunakan kalimat yang banyak. Misalnya untuk menggambarkan kecantikan si gadis, pengarang menggunakan kalimat-kalimat /Lentik bulu matamu/ /Bibirmu dan rambutmu yang kau biarkan/ /Jatuh berderai di keningmu/ /Makin mengajakku terpana/. Lima baris tersebut digunakan untuk menggambarkan kecantikan si gadis yang dalam komunikasi biasa dapat digunakan kalimat “Kamu cantik”. Pemanjangan kalimat tersebut untuk mendukung penciptaan imajinasi pembaca atau pendengar tentang kecantikan si gadis. Sehingga seolah-olah pendengar lagu tersebut melihat si gadis dan menikmati kecantikannya.

Gaya wacana pada lagu “Lagu untuk Sebuah Nama” berupa susunan struktur bait dan baris serta jumlah baris untuk mendukung terciptanya irama lagu yang merdu. Penggunaan kalimat yang banyak untuk menggambarkan sebuah konsep digunakan untuk mendapatkan gambaran yang lebih nyata tentang keadaan yang diciptakan pengarang.

5. Bahasa Figuratif (Figurative Language)
Bahasa kiasan digunakan untuk memberi efek penekanan dan penghayatan yang lebih mendalam. Ada gaya bahasa personifikasi seperti tampak pada 5 – 7, yakni: /Bibirmu, dan rambutmu yang kau biarkan/ /Jatuh berderai di keningmu/ /Makin mengajakku terpana/.

Di situ digambarkan seolah-olah /bibirmu, dan rambutmu/ mengajak si aku untuk semakin terpana memandangnya. Gaya bahasa personifikasi juga terdapat pada baris (16): /Mengapa dadaku mesti bergoncang/, juga pada baris (22-23): /Dan kusandarkan harapanku/ /Jatuh berderai di keningmu/.

Majas hiperbola digunakan untuk menggambarkan sesuatu secara berlebih-lebihan untuk menciptakan kesan yang mendalam. Majas hiperbola digunakan untuk menggambarkan keadaan si aku yaitu pada baris (1) /Mengapa jiwaku mesti bergetar/. Di situ pengarang mengungkapkan keadaan si aku yang jiwanya bergetar hanya dengan melihat seorang gadis yang dikasihnya. Begitu juga pada baris (16) /Mengapa dadaku mesti bergoncang/. Dada si aku berguncang menggambarkan keadaannya secara berlebihan. Kata berguncang biasa digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang bergetar dengan hebat. Dengan penggunaan majas hiperbola tersebut pengarang ingin memberikan penggambaran secara mendalam tentang keadaan si aku.

Dengan demikian, lagu “Lagu untuk Sebuah Nama” menggunakan bahasa figuratif memperkuat penggambaran situasi yang dialami sehingga menciptakan efek keindahan bahasa dan kesan yang mendalam. Bahasa figuratif yang digunakan berupa majas personifikasi dan hiperbola.

6. Citraan (Imagery)
Citraan digunakan untuk menghidupkan imajinasi pembaca atau pendengar. Citraan dalam lagu “Lagu untuk sebuah Nama” digunakan untuk mendukung konteks lagu yang penuh kesenduan. Dengan menggunakan citraan, proses penghayatan dapat dilakukan secara lebih mendalam karena terciptanya imajinasi pembaca atau pendengar.

Citraan penglihatan dalam lagu lagu “Lagu untuk sebuah Nama” terdapat pada baris (3) sampai baris (6), yakni /Mungkin karena kulihat lagi/ /Lentik bulu matamu/ /Bibirmu dan rambutmu yang kau biarkan/ /Jatuh berderai di keningmu/. 
Penggunaan citraan penglihatan tersebut diharapkan pembaca atau pendengar dapat menghidupkan imajinasi tentang kecantikan seorang gadis yang mempunyai bulu mata yang lentik, bibir yang manis, dan rambut yang indah terurai. Dengan citraan tersebut seolah-olah pembaca atau pendengar melihat secara langsung sosok gadis yang diceritakan.

Citraan penglihatan juga digunakan pada baris (9), (10), dan (11), yakni /Mengapa aku mesti duduk di sini/ /Sedang kau tepat di depanku/ /Mestinya kau berdiri berjalan ke depanmu/. Dengan citraan tersebut dapat diimjinasikan keadaan tempat dan tokoh yang digambarkan oleh pengarang.

Selain citraan penglihatan, pengarang juga menggunakan citraan pendengaran. Pada baris (2) /Sedang musik pun manis kudengar/. Dengan citraan tersebut diimajinasikan ada alunan musik yang indah yang terdengar.


B. Analisis Makna Lirik Lagu “Lagu untuk Sebuah Nama”
Untuk mendapatkan pemaknaan yang lengkap terhadap Lagu “Lagu untuk Sebuah Nama” mula-mula dilakukan parafrase terhadap lagu tersebut.

  • /Mengapa jiwaku mesti bergetar/, /sedang musik pun manis kudengar/. /(Jiwaku bergetar) mungkin karena kulihat lagi/ /lentik bulu matamu/. /Bibirmu, dan rambutmu yang kau biarkan jatuh berderai di keningmu/ /makin mengajakku terpana/. /Kau goreskan gita cinta (di hatiku)/.
  • /Mengapa aku mesti duduk di sini/ /sedang kau (berada) tepat di depanku/. /Mestinya ku berdiri berjalan ke depanmu/, /(kemudian) kusapa (dirimu) dan kunikmati (kecantikan) wajahmu/ /atau kuisyaratkan cinta (kepadamu)/. /Tapi semua (itu) tak kulakukan/ /(karena) kata orang cinta mesti berkorban/.
  • /Mengapa dadaku mesti bergoncang/ /bila kusebutkan namamu/. /Sedang kau diciptakan bukanlah untukku/. /(Kau diciptakan bukanlah untukku) itu pasti tapi aku tak mau peduli/ /sebab cinta bukan mesti bersatu/. /Biar kucumbui bayanganmu/ /dan kusandarkan harapanku/.
Dari parafrase tersebut dapat dilakukan pemaknaan bahwa si aku sedang jatuh cinta kepada seorang gadis yang cantik. Gadis tersebut berada di depannya tetapi si aku tidak berani mendekati, menyapa, atau mengungkapkan perasaannya. Si aku mengetahui bahwa gadis itu bukanlah tercipta untuknya. Maka, si aku pun merasa patah hati. Namun, si aku tidak peduli dan ia sadar bahwa cinta tidak harus bersatu.

Pada bait I dikisahkan tentang keadaan orang yang jatuh cinta dan penggambarannya yang indah terhadap orang yang dicintai. Tokoh aku mengagumi kecantikan seorang gadis yang dicintainya dengan memberikan kata-kata pujian berupa /lentik bulu matamu/. /Bibirmu, dan rambutmu yang kau biarkan jatuh berderai di keningmu/ /makin mengajakku terpana/. /Kau goreskan gita cinta (di hatiku)/.

Bait I tersebut merupakan keadaan yang melatarbelakangi permasalahan yang digambarkan pada Bait II. Bait II menggambarkan ketidakberdayaan si aku untuk mengungkapkan perasaan cintanya kepada gadis pujaannya. Setelah pada bait I si aku menceritakan ‘kegilaannya’ pada si gadis, bait II merupakan paradoks yang memupus harapan si aku untuk mendapatkan si gadis. Tokoh aku merasa tidak berdaya untuk mendekati si gadis apalagi untuk mendapatkan si gadis lebih tidak mungkin lagi. Namun, ketidakberdayaan si aku ini disadarinya dan dimakluminya sebagai sebuah ‘rancangan hidup’ dirinya. 
Tokoh aku tidak menuntut terlalu banyak dari perasaan cintanya karena si aku telah merelakan si gadis tidak ia dapatkan. Dengan dalih cinta tokoh aku melepaskan gadis pujaannya, dan itulah pengorbanan si aku seperti diungkapkan dengan kata-kata /kata orang cinta mesti berkorban/.

Bait III merupakan klimaks cerita tokoh aku. Setelah pada bait I diungkapkan kecintaannya, bait II diungkapkan ketidakberdayaannya mendapatkan si gadis, pada bait III tokoh aku sudah tidak mempunyai harapan terhadap si gadis. Bisa dibilang kisah si aku adalah kisah kasih tak sampai. Kegagalan tokoh aku mendapatkan si gadis bukan berarti si aku berhenti mencintai si gadis. 
Tokoh aku tetap memuja dan mencintai si gadis meski ia tidak akan pernah mendapatkannya, sebagaimana diungkapkannya, /Sedang kau diciptakan bukanlah untukku/. Dengan begitu, tokoh aku menyimpan perasaan cintanya dan menyandarkan (menghentikan) harapannya. Bait III merupakan puncak keputus-asaan tokoh aku.

Secara umum lagu “Lagu untuk Sebuah Nama” mengisahkan kasih tak sampai. Penggambaran yang indah tentang gadis pujaannya pada bait I memperkuat kesan kecewa dan menderitanya tokoh aku yang diceritakan pada bait III.


SIMPULAN
Berdasarkan analisis gaya bahasa terhadap lagu “Lagu untuk Sebuah Nama” karya Ebiet G. Ade, dapat disimpulkan gaya bunyi didominasi bunyi vokal /a/ dan /u/. Bunyi vokal /a/ dan /u/ mengasosiasikan suasana mesra, penuh kasih sayang, gembira, dan sendu. Terdapat bunyi rima yang teratur dengan ditandai bunyi akhir setiap baris yang didominasi bunyi vokal /a/ dan /u/. diksi yang digunakan berupa kata sapaan “aku” sebagai persona pertama tunggal dan “kau” sebagai persona kedua tunggal. Penggunaan kata sapaan “aku” dan “kau” menggambarkan keadaan yang dekat, akrab, dan bersifat pribadi sehingga lirik lagu tersebut terasa lebih menyentuh. Gaya kalimat pada “Lagu untuk Sebuah Nama” menggunakan pemadatan kalimat. Pemadatan kalimat dilakukan untuk mendapatkan kalimat yang efektif dan untuk mendapatkan irama yang sesuai.

Gaya wacana menggunakan repetisi kata dan kalimat pada awal tiap baris tiap bait sehingga menciptakan sebuah irama. Gaya wacana berupa susunan struktur bait dan baris serta jumlah baris untuk mendukung terciptanya irama lagu yang merdu. Lagu “Lagu untuk Sebuah Nama” menggunakan bahasa figuratif untuk memperkuat penggambaran situasi yang dialami sehingga menciptakan efek keindahan bahasa dan kesan yang mendalam. 
Bahasa figuratif yang digunakan berupa majas personifikasi dan hiperbola. Untuk menghidupkan imajinasi pembaca atau pendengar, lagu tersebut menggunakan citraan penglihatan dan pendengaran. Penggunaan gaya bahasa pada lagu “Lagu untuk Sebuah Nama” untuk menciptakan keindahan dan mendukung makna lirik lagu yang penuh kekecewaan dan kesenduan.

Lagu “Lagu untuk Sebuah Nama” mengandung makna tentang kisah kasih tak sampai. Lagu ini menceritakan seorang tokoh yang mencintai seorang gadis namun ia tidak dapat mendapatkannya sehingga tokoh tersebut hanya mendapatkan kekecewaan dan harapannya untuk mendapatkan gadis pujaannya pun sirna.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo

Satoto, Soediro. 1995. Stilistika. Surakarta: STSI Press.

Wikipedia. “Ebiet G. Ade” dalam http://id.wikipedia.org (online di akses tanggal 12 Mei 2011)


No comments:

Post a Comment