Thursday, January 6, 2011

Resume buku "Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra "Karya Nyoman Kutha Ratna

  1. Judul Buku : Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra
  2. Penulis : Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U
  3. Penerbit : Pustaka Pelajar
  4. Edisi Terbit : Cetakan IV / April 2008
  5. Kota Terbit : Yogyakarta
  6. Tebal : xii + 406 halaman

BAB I
Sejarah Perkembangan Teori Sastra
Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologi teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Teori juga diartikan perangkat pengertian, konsep, proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah teruji kebenarannya. Menurut Fokkema dan Kunne-Ibsch (1977: 175), penelitan terhadap karya sastra pada umumnya memanfaatkan teori-teori yang sudah ada. Diduga bahwa kecenderungan ini didasarkan atas beberapa kenyataan, sebagai berikut:
  1. Teori-teori yang sudah ada dengan sendirinya sudah teruji, yaitu melalui kritik sepanjang sejarahnya.
  2. Teori dianggap sebagai unsure yang sangat penting, lebih dari semata-mata alat.
  3. Belum terciptanya sikap-sikap percaya diri atas hasil-hasil penemuan sendiri, khususnya dalam bidang teori.
Secara genesis dengan demikian dalam proses penelitian teori diperoleh dengan dua cara, sebagai berikut:
  1. Penelitian memanfaatkan teori terdahulu, pada umumnya disebut sebagai teori formal, dengan pertimbangan bahwa teori tersebut secara formal sudah ada sebelumnya. Teori formal seolah-olah bersifat deduksi dan apriori.
  2. Penelitian memanfaatkan teori yang ditemukannya sendiri,teori yang diperoleh melalui manfaat, hakikat, dan abstraksi data yang diteliti, yang pada umumnya disebut teori substantive sebab diperoleh melalui substansi data.
Kedua jenis teori masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dari segi penelitian, teori formal seolah-olah merupakan teori yang siap pakai, sehingga dalam penelitian para peneliti hanya menerapkan. Kekurangannya adalah tidak adanya aktivitas untuk menemukan teori yang baru, sehingga terjadi stagnasi dalam bidang teori. Kelemahan teori formal ini terpenuhi oleh usaha penelitian yang mencoba menemukan teori substantive. Pemanfaatan teori formal, menurut Vredenbreghat, memiliki kelebihan dalam kaitannya dengan usaha penelitian, sepanjang sejarahnya, untuk secara terus-menerus memperbaharui sekaligus mengujinya,melalui data yang berbeda-beda, sehingga teori makin lama makin sempurna. Dalam hubungan inilah disebutkan bahwa suatu teori tidak disajikan secara definitive, melainkan secara tentative.

Teori jelas merupakan klimaks dalam suatu penjelajahn keilmuan. Penemuan terhadap teori-teori beru dianggap sebagai kualitas akademis yang dapat dijadikan sebagi tolok ukur kemajuan ilmu pengetahun. Meskipun demikian, teori bukan merupakan tujuan utama. Teori adalah “alat” yang melaluinya suatu penelitian dapat dilakkukan secara lebih maksimal. Tujuan pokok teori tetap pemahaman terhadap objek. Oleh karena itulah, apabila terjadi ketidakseimbangan di antara teori dengan objek, maka yang dimodifikasi adalah teori, bukan objek. Dalam hubungan inilah dapat dikemukakan bahwa sebuah teori disebut baik apabila memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
  1. Mudah disesuaikan dengan ciri-ciri karya yang akan dianlisis.
  2. Mudah disesuaikan dengan metode dan teori yang menyertainya.
  3. Dapat dimanfaatkan untuk menganalisis baik ilmu yang sejenis maupun berbeda.
  4. Memiliki formula-formula yang sederhana, tetapi mengimplikasikan jaringan analisis yang kompleks.
  5. Memiliki prediksi yang dapat menjangkau objek jauh ke masa depan.
Teori dan metode berfungsi untuk membantu menjelaskan hubungan dua gejala atau lebih, sekaligus meramalkan model hubungan yang terjadi. Fungsi lain dari teori dan metode adalah kemampuannya untuk memotivasi, mengevokosi, sekaligus memodifikasi pikiran-pikiran peneliti. Sebagai alat teori berfungsi untuk mengarahkan suatu penelitian, sedangkan analisis secara langsung dilakukan melalui instrument yang lebih kongkret, yaitu metode dan teknik. 

Teori sastra dalam hal ini diterjemahkan sebagai seperangkat konsep yang saling berkaitan secara ilmiah, yang disajikan secara sistematis, yang berfungsi untuk menjelaskan sejumlah gejala sastra. Apabila teori sastra memberikan intensitas pada konsep, prinsip, dan kategori (Wellek dan Werren, 1962: 38-40), kritik sastra memberikan intensitas pada penilaian, sedangkan sejarah sastra pada proses perkembangannya. Sebagai alat, tujuan utama teori, dengan metode dan tekniknya, adalah mempermudah pemahaman terhadap objek, sekaligus memberikan keluaran secara maksimal. 
 
Dengan mempertimbangkan karya sastra merupakan bagian integral kebudayaan, penerapan teori dilakukan melalui dua tahapan, pertama, teori dalam kaitannya dengan sastra sebagai produk sosial tertentu, kedua, teori dalam kaitannya dengan karya sastra sebagai hakikat imajinasi dan kreativitas. Model pertama sama dengan penelitian ilmu humaniora dan ilmu sosial yang lain, artinya, karya sastra dianggap sebagai produk sosial, karya sosial sebagai fakta sosial, yang dengan sendirinya dipecahkan atas dasar kenyataan yang sesungguhnya.
 
Perbedaan objek, dalam hubungan ini sebagai sastra lama dan sastra modern, tidak berpengaruh terhadap teori dan metode penelitian. Artinya, baik sastra lama maupun sastra modern dapat diteliti dengan menggunakan metode yang sama. Teori structural, semiotika, dan resepsi, termasuk postrukturalisme, dapat digunakan untuk menganalisis baik sastra lama maupun sastra modern. Dalam hal ini, berbeda dengan objek, aspek kebaruan dalam teori dan metode merupakan syarat pokok. Dengan kalimat ini, kualitas teori dan metode justru terletak dalam aspek kebaruannya, kemutakhirannya. Teori yang lama dengan sendirinya harus ditinggalkan, digantikan dengan teori yang terakhirlah yang dianggap paling relevan. Intensitas terhadap kebaruan teori disebabkan oleh hal-hal berikut ini:
  1. Teori dan metode adalah alat dan cara penelitian.
  2. Teori dan metode adalah hasil penemuan.
  3. Teori dan metode adalah ilmu pengetahuan.
Pesatnya perkembangan teori sastra selama satu abad sejak awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21 dipicu oleh beberapa indicator, sebagai berikut: data, menganalisis data, dan menyajikan hasil penelitian.
  1. Medium utama sastra adalah bahasa, sedangkan dalam bahasa itu sendiri sudah terkandung problematika yang sangat luas.
  2. Sastra memasukkan berbagai dimensi kebudayaan, sedangkan dalam kebudayaan itu sendiri juga sudah terkandung permasalahan yang sangat beragam.
  3. Teori-teori utama dalam sastra sudah berkembang sejak zaman Plato dan Aristoteles, yang dengan sendirinya telah dimatangkan dalam berbagai disiplin, khususnya filsafat.
  4. Kesulitan dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuwan untuk menemukan berbagai cara, berbagai teori-teori yang baru.
  5. Ragam sastra sangat banyak dan berkembang secara dinamis, kondisi-kondisi sastra yang juga memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda.
Dalam ilmu sastra, yang dimaksudkan dengan penelitian adalah kegiatan untuk mengumpulkan elitian dalam ilmu sosial dan ilmu humaniora yang lain, penelitian ilmu sastra merupakan usaha kongkret, dilakukan dengan sengaja, sistematis, dengan sendirinya menggunakan teori dan metode secara formal. Tujuannya adalah menemukan prinsip-prinsip baru yang belum ditemukan oleh orang lain. Dikaitkan dengan tujuannya, lokasi penelitian ada dua macam, yaitu penelitian lapangan dan penelitian perpustakaan. 

Penelitian lapangan dilakukan dalam kaitannya dengan objek penelitian yang memanfaatkan kejadian langsung. Seperti penerbitan, pembacaan, penggunaan, dll. Penelitian perpustakaan dilakukan dalam kaitannya dengan objek dalam bentuk karya tertantu. Artinya, objek tersebtu dianggap sah, sudah cukup diri untuk mewakili keseluruahan data yang diperlukan. Dalam bidang ilmu sastra, sebuah novel, dan lain-lain.
Dalam hal ini, penelitian sastra mempertimbangkan ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat deskripsi, bukan generalisasi. Gejala sastra tidak berulang, makna tidak tetap yang justru merupakan hakikat.
  2. Populasi dan sampel tidak mutlak diperlukan, kecuali dalam penelitian tertentu, misalnya, penelitian yang melibatkan sejumlah karya, atau sejumlah konsumen.
  3. Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat terbuka, deskripsi dan pemahaman berkembang terus.
  4. Tidak diperlukan objektivitas dalam pengertian yang umum sebab penelitia terlibat secara terus-menerus, objektivitas terjadi pada saat penelitian dilakukan.
  5. Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa, tetapi wacana, teks, sebab sebagai hakikat diskusif bahasa sudah terikat dengan system model kedua dengan berbagai system komunikasinya.

BAB II
Paradigma Penelitian Sastra
Secara etimologis paradigm berasal dari bahasa Latin (paradigma), bararti contoh, model, pola. Prinsip-prinsip paradigma dikembangkan oleh Thomas Kuhn dalam buku berjudul The Structure of Scientific Revolution terbit pertama tahun 1962. Menurut Ritzer (1980:2-24) paradigma, yaitu konsep-konsep dasar Kuhn itu sendiri, dibicarakan secara luas dalam barbagai ilmu pengetahuan sejak tahun 1970-an, dengan sendirinya dengan pokok permasalahan yang berbeda-beda, sesuai dengan disiplin yang bersangkutan. 
Inti permasalahan yang dikemukankan oleh Kuhn adalah revolusi ilmiah dalam dunia ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan tidak terjadi secara kumulatif, melainkan secara evolusionis sejak preparadigmatis, paradigmatic itu sendiri, dan proses pengujian melalui kritik dan saran, yang diakibatkan oleh timbulnya paradigma-paradigma lain sebagai tandingan. Adanya perbedaan paradigma oleh para ilmuwan, disebabkan oleh:
  1. Unsur dalam diri sendiri.
  2. Unsure luar berupa llingkungan fisik.
  3. Unsure luar berupa penjelajahan metodologi dan teori.
Menurut Ritzer (1980: 2-24), ada empat factor yang mempengaruhi metode kualitatif:
  1. Faktor ontologism, keberadaan objek, yang dengan sendirinya berbeda di antara masing-masing ilmuwan.
  2. Faktor epistemologis, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan. Secara kualitataif, jarak antara subjek dengan objek dipersempit, bahkan seolah-olah tidak ada jarak.
  3. Faktor aksiologis, peneltian adalah penilaian, berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bebas nilai.
  4. Faktor metodologi, keseluruhan proses penelitian, termasuk metode, teori, dan teknik.
Keterlibatan berbagai disiplin dengan berbagai paradigma memiliki segi positif, dengan pertimbangan sebagai berikut:
  1. Multiparadigma membuak cakrawala yang lebih luas, cara pemahaman ternyata tidak bersifat tunggal, melainkan plural.
  2. Menghilangkan anggapan bahwa sebuah paradigma seperti juga sebuah teori, dapat menjawab semua permasalahan.
  3. Menciptakan terjadinya saling menghargai pendapat, kelebihan, dan kekurangan orang lain.
  4. Keberagaman paradigma jelas mengevokasi keberagaman-keberagaman khazanah cultural.
  5. Pluralitas paradigma sesuai dengan semangat postrukturalisme, teori modern yang memberikan perhatian pada hakikat multicultural, dengan memberikan perhatian terhadap kearifan local.

BAB III
Metode, Metodologi,Teknik, Dan Pendekatan
  1. Metode, Metodologi, dan Teknik
Metode berasal dari kata methods, bahasa Latin, sedangkan methodos itu sendiri berasal dari akar kata meta dan hados. Meta berarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian yang labih llluas metode dianggp sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langakh sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akaibat berikutnya. Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami. Metode sering dikacaukan penggunaannya dengan metodologi. Secara etimologi metodologi berasal dari methodos dan logos, yaitu filsafat atau ilmu mengenai metode. Metodologi dengan demikian membahas prosedur intelektual dalam totalitas komunitas ilmiah. 
 
Agak sulit membedakan antara metode dengan teknik. Secara definitive metode denan teknik tidak memiliki batas-batas yang jelas. Teknik berasal dari kata tekhikos, bahasa Yunani, juga berarrti alat, atau seni menggunakan alat. Oleh karena itulah, sering metode di atas disebutkan sebagai teknik. Ada tiga cara yang dapat dikemukakan untuk membedakan antara metode dengan teknik, bahkan juga dengan teori sebagai berikut:
  1. Dengan cara membedakan tingkat abstraksinya.
  2. Dengan cara memperhatikan factor nama yang lebih luas ruang lingkup pemakaiannya.
  3. Dengan cara memperhatikan hubungannya dengan objek.
Secara hierarkis, tingkat abstraksi yang tertinggi dimiliki oleh teori, secara berturut-turut diikuti oleh metode dan teknik. Aratinya, meskipun secara teoretis metode masih bersifat abstrak, tetapi sebagian ciri-cirinya dapat diidentifikasi secara kongkret. Sebagai alat , tekni bersifat paling kongkret, sebagai instrument penelitian teknik dapat dideteksi secara indrawi. Oleh karean itulah, meurut Vredenbreght (1983: 20-21) teknik berhubungan dengan data primer.

Metode dan teknik, meskipun keduanya berarti cara, tekni memiliki ruang lingkup paling sempit, sebagai metode dalam penggunaan langsung, oleh karena itulah, sering disebtu sebagai seni menggunakan metode. Oleh karena itu pula, sebagai strategi utnuk memahami realitas, menurut Goldmann (1981: 39-40) metode yang baik adalah metode yang selalu bersifat teknik. Istilah lain yang juga sering menimbulkan perdebatan dalam dunia penelitian adalah pendekatan. 

Pendekatan sering disamakan dengan metode. Secara etimologis pendekatan berasal dari kata appropio (Latin)approacah (inggris), yang diartikan sebagai jalan dan penghampiran. Membedakan secara rinci anatar paradigma, pendekata, teori, metode, dan teknik, sering dianggap sebagai pekerjaan yang sia-sia sebab yang dianggap lebih penting adalah bagaimana penelitian dilakukan. Tetapi mengabaikan masalah –masalah salah teknis di atas jauh lebih sia-sia sebab khkakikat ilmiah suatu penelitian justru ditentukan melalui kemampuan peneliti dalam pengoperasikan peralatan-peralatannya. Atas dasar kekhasan sifat karya di antaranya:
  1. Metode Intuitif
Pada dasarnya sulit untuk menetukan apakah sebuah metode dapat dikatakan baru, sehingga dikategorikan sebagai metode modern, atau sebalknya sudah lama, shingga tidak relevan untuk digunakan. Dikaitkan dengan fungsinya sebagai alat, metode lahir setiap saat dipergunakan. Metode intuitif dianggap sebagi kemmpuan dasar manusia dalam upaya memahami unsure-unsur kebudayaan. Manusia memahami kebudyaan jelas dengan pikiran dan perasaannya, yaitu dengan intuisi, penafsiran, unsure-unsur, sebab-akibat, dan seterusnya. Sejajar denganperkembangan ilmu pengetahuan maka setiap komponen diperbaharui sekaligus disesuaikan dengan objek yang dipahami.
  1. Metode Hermeneutika
Hermeneutika baik sebagi ilmu mauun metode, memegang peranan yang sangat penting dalam filsafat. Dalam sastra, pembicaraannya terbatas sebagai metode. Di antara metode-metode yang lain, hermeneutika merupakan metode yang paling sering digunakan dalam penelitian karya sastra. Hermenutika dianggap sebagai metode ilmiah yang paling tua. Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermeneuein, bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterprestasikan. 

Secara mitologis (ibid), hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan peran Illahi kepada manusia. Dikaitkan dengan fungsi utama hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa di antara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra.
  1. Metode Kualitatif
Ciri-ciri terpenting metode kualitatif:
  1. Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitusebagai studi cultural.
  2. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu beruabh.
  3. Tidak ada jarak antara subjek penelitian dengan objek penelitian, subjek penelitiian sebagai instrument utama, sehingga terjadi interaksi langsung di antaranya.
  4. Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka.
  5. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing.
  1. Metode Analisis Isi
Menurut Vredenbreght (1983: 66-68), secara eksplisit metode analisis isi pertama kali digunakan di Amerika Serikat tahun 1926. Tetapi secara praktis, telah digunakan jauh sebelumnya. Isi dalam metode analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi sebagaimana dimaksudkan oleh penulis, sedangkan isi komunikasi adalah isi sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen.
  1. Metode Formal
Secara etimologi formal berasal dari kata forma (Latin) berarti bentuk, wujud. Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsure-unsur karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra dengan memeperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap artistic. Ciri utama metode formal adalah analisis terhadap unsure-unsur karya sastra, kemudian bagaimana hubungan antara unsure-unsur tersebtu dengan totalitasnya. Oleh karena itulah, metode formal sama dengan metode unsure atau metode structural, yang kemudian berkembang menjadi teori strukturalisme. Metode formal memandang bahwa keseluruahn aktivitas cultural memiliki dan terdiri atas unsure-unsur. Tugas utama metode formal adalah menganalisis unsur-unsur sesuai dengan peralatan yang terkandung dalam karya jumlah, jenis, dan model unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsik.
  1. Metode Dialektika
Secara etimologi dialektika berasal dari kata dialectica, bahasa Latin, berarti cara membahas. Secara historis metode dialektik sudah ada sejak zaman Plato, tetapi diperkenalkan secara formal oleh Hegel. Metode ini digunakan dengan sangat berhasil oleh Goldmann dalam strukturalisme genetic. Secara teoretis setipa fakta sastra dapat dianggap sebagai tesis, kemudian diadakan negasi. Dengan adanya pengingkaran maka tesis dan antitesisi seolah-olah hilang atau berubah menjadi kualitas fakta yang lebih tinggi, yaitu sintesis itu sendiri. Sintesisi
  1. Metode Deskriptif Analisis
Metode penelitian dapat juga diperoleh melalui gabuangan dua metode, dengan syarat kedua metode tidak bertentangan. Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Secara etimologis deskripsi dan anlisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein (‘ana’= atas, ‘lyein’=lepas, urai). Telah diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasansecukupnya. Metode ini juga dapat digabungkan dengan metode formal.
  1. Pendekatan dan Problematikannya
  1. Pendekatan Biografis
Pendekatan biografis merupakan studi yang sistematis mengenai proses kreativitas. Subjek creator dianggap sebagai asal-usul karya sastra, arti sebuah karya sastra dengan demikian secara relative sma dengan maksud, niat, pesan, dan bahkan tujuan-tujuan tertentu pengarang.
  1. Pendekatan Sosiologis
Berbeda dengan pendekatan biografis yang semata-mata menganalisis riwayat hidup, dengan proses pemahaman mulai dari individu ke masyarakat, pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu.
  1. Pendekatan Psikologis
Rene Wellek dan Austin Werren ( 1962: 81-82) menunjukkan empat model pendekatan psikologis yang dikaitkan denan pengarang, proses kreatif, karya sastra, dan pembaca. Pendekatan ini pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu: pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan pertimbangan bahwa pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan karya sastra.
  1. Pendekatan Antropologis
Apabila sosiologis adalah ilmu pengetahuan mengenai masyarakat, maka antropologi adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat. Oleh karena itulah, antropologis dibedakan menjadi antropologi fisik dan antropologi kebudayaan, yang sekarang berkembang menjadi studi cultural. Dalam kaitannya dengan sastra, antropologi kebudayaan dibedakan menjadi dua bidang, yaitu antropologi dengan objek verbal dan nonverbal. Pendekatan antropologi sastra lebih banyak berkaitan degnan objek verbal. 

Lahirnya pendekatan antropologis, didasarkan atas kenyataan, pertama, adanya hubungan antara ilmu antropologis dengan bahasa, kedua, dikaitkan dengan tradisi lisan, baik antropologis maupun sastra sama-sama mempermasalahkannya sebagai objek yang penting. Pokokk-pokok bahasan yang ditawarkan dalam pendekatan antropologis adalah bahasa sebagaimana dimanfaatkan dalam karya sastra, sebagai struktur naratif, di antaranya:
  1. Aspek-aspek naratif karya sastra dari kebudayaan yang berbeda-beda.
  2. Penelitian aspek naratif sejak epic yang paling awal hingga novel yang paling modern.
  3. Bentuk-bentuk arkhais dalam karya sastra, baik dalam konteks karya individual maupun generasi.
  4. Bentuk-bentuk mitos dan system religi dalam karya sastra.
  5. Pengaruh mitos, system religi, dan citra primordial yang lain dalam kebudayaan populer.
  1. Pendekatan Historis
Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara pendekatan sejarah dengan sejarah sastra, sastr sejarah, dan novel sejarah. Sama dengan pendekatan-pendekatan lain di atas, pendekatan historis mempertimbangan historis karya sastra yang diteliti,yang dibedakan dengan sejarah sastra sebagai perkembangan sastra sejak awal hingga sekarang, sastra sejarah sebagai karya sastra yang mengandung unsur-unsur sejarah dan novel sejarah. Dengan mempertimbangkan indicator sejarah dan sastra, maka beberapa masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan historis, di antaranya, sebagai berikut:
  1. Perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akaibat proses penerbitan ulang.
  2. Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.
  3. Kedudukan pengarang pada saat menulis.
  4. Karya sastra sebagai wakitl tradisi zamannya.
  1. Pendekatan Metopoik
Secara etimologi mythopoic berasal dari myth. Mitos dalam pengertian tradisional maemiliki kesejajaran dengan fable dan legenda. Di antara semua pendekatan, pendekatan mitopoik dianggap paling pluralis sebab memasukkan hampir semua unsure kebudayaan, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, agama, filsafat, dan kesenian. Vredenbreght (1983: 5) menyebutnya sebagai pendekatan historis.
  1. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif memiliki sejumlah persamaan dengan pendekatan biografis dalam hal fungsi dan kedudukan karya sastra sebagai manifestasi subjek creator. Pendekatan ini tidak semata-mata memberikan perhatian terhadap bagaimana karya sastra itu diciptakan, seperti study kreatif proses kreatif dalam studi biografis, tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadi dalam karya sastra yang dihasilkannya.
  1. Pendekatan Mimesis
Menurut Abrams (1976: 8-9) pendekatan mimetis merupakan pendekatan estetis yang paling primitive. Akar sejarahny terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Pendekatan mimesis Marxis merupakan pendekatan yang paling beragam dan memiliki sejarah perkembangan yang paling panjang. Meskipun demikian, pendekatan ini sering dihindarkan sebagai akibat keterlibatan tokoh-tokoh dalam dunia politik.
  1. Pendekatan Pragmatis
Pendekatan pragmatis membrikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Dalam kaitannya dengan salah satu teori modern yang paling pesat perkembangannya, yaitu teori resepsi, pendekatan pragmatis, dipertentangkan dengan pendekatan ekspresif. Pendekatan pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya.
  1. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif dibicarakan paling akhir dengan pertimbangan bahwa pendekatan ini justru merupakan pendekatan yang terpenting sekaligus memiliki kaitan yang paling erat dengan teori sastra modern, khususnya teori-teori yang menggunakan konsep dasar struktur.

BAB IV
Teori-Teori Strukturalisme
  1. Prinsip-prinsip Antarhubungan
Dalam strukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperanan secara maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukkan antarhubungan unsure-unsur yang terlibat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa struktur lebih dari sekedar unsure-unsur dan totalitasnya, karya sastra lebih dari sekedar pemahaman bahasa sebagai medium, karya sastra lebih dari sekedar penjumlahan bentuk dan isinya. Antarhubungan dengan demikian merupakan kualitas energetis unsur. 
 
Relevansi prinsip-prinsip antarhubungan dalam analisis karya sastra, di satu pihak mengarahkan peneliti agar secara terus-menerus memperhatikan setiap unsure sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan unsure lainnya. Dipihak yang lain, antarhubungan yang menyebabkan sebuah karya sastra, suatu masyarakat, dan gejala apa saja agar memiliki arti yang sesungguhnya.
  1. Teori Formalisme
Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kalahiran formalism dipicu oleh paling sedikit tiga factor sebagai berikut:
  1. Formalism lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.
  2. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, di mana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis.
  3. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.
  1. Teori Strukturalisme Dinamik
Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau bangunan. Asal muasal strukturalisme, seperti sudah dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles dalam kaitannya dengan tragedy, lebih khusus lagi dalam pembicaraannya mengenai plot. Usaha maksimal kelompok formalis dalam rangka menemukan hakikat karya sastra dengan cara mengeksploitasi sarana bahasa telah mencapai klimaksnya. Meskipun demikian, penemuan tersebut justru mengarahkannya pada paradigma baru, karya sastra tidak bisa dipahami secara terisolasi semata- mata melalui akumulasi perangkat-perangkat intrinsiknya., tetapi juga harus melibatkan keseluruhan factor yang membentuknya. 
 
Sebagai asal-usul teori modern dalam bidang sastra relevansi formallisme seperti telah dijelaskan di atas adalah pergeseran pandangan dari unsure-unsur di luar sastra ke sastra itu sendiri. 
 
Menurut Teeuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalism. Artinya, hasil-hasil yang dicapai melalui tradisi formalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Secara definitive strukturalisme berarti paham mengenai unsure-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsure yang satu dengan unsure yang lainnya. Sejak ditemukannay hokum-hukum formal yang berhubungan dengan hakikat karya sekitar tahun 1940-an, bahkan sejak formalism awal abad ke-20, model analisi terhadap karya sastra telah membawa hasil yang gilang-gemilang. 
 
Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalism di atas. Strukturalisme dinamika dimaksudkan sebagi penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan internsitas terhadap struktur intrinsic, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Secara definitive strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsure-unsur karya. Atas dasar hakikat otonom karya sastra seperti di atas, maka tidak ada aturan yang baku terhadap suatu kegiatan analisis. Artinya, unsure-unsur yang dibicarakan tergantung dari dominasi unsure-unsur karya di satu pihak, tujuan analisis di pihak yang lain. 

Menurut Jean Piaget (1973: 97-98) justru di sini tampak dinamika karya sastra sebagai totalitas sebab proses adopsi mengandaikan terjadinya ciri-ciri transformasi dan regulasi diri sehingga terjadi keseimbangan antara struktur global dengan unsure yang dianalisis. Beberapa aspek sastra (1987) mengemukakan sistematika analisis fiksi yang terdiri atas:
  1. Aspek Ektrinsik (historis, sosiologis, psikologis, filosofis, religious).
  2. Aspek intrinsic (elemen cipta sastra: insiden, plot)
  3. Karakterisasi (teknik cerita, komposisi cerita, gaya bahasa).
  1. Teori Semiotika
Berbeda dengan formalism dan strukturalisme, yang mana hubungannya dapat dilihat secara jelas, baik aspek kesejarahan, tokoh-tokoh, maupun konsep-konsep yang ditawarkannya, hubungan antara strukturalisme dengan semiotika bersifat kompleks sekaligus ambigu. Menurut Aart Zoert (1993: 5-7) dikaitkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semiotika dapat dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran:
  1. Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitanya dengan pengirim dan penerima tanda yang disertai denga maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal.
  2. Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotative kemudian diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai system model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai simtom, di samping sastr juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyarakatan , dipelopori oleh Roland Barthan.
  3. Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologis (Freud) dan sosiologi (Marxis). Termasuk filsafat dipelopori oleh Julia Kristeva.
Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia baik tanda verbal maupun nonverbal.
  1. Bidang-bidang Penerapan
Penerapan semiotika dalam ilmu sastra jelas merupakan masalah tersendiri, dengan pertimbangan bahwa bahasa dianggap sebagai salah satu system tanda yang sangant kompleks Eco (1979: 9-14) menyebutkan beberapa bidang penerapan yang dianggap relevan di antaranya:
  1. Semiotika hewan, masyarakat nonhuman.
  2. Semiotika penciuman.
  3. Semiotika komunikasi dengan perasa
  4. Semiotika pencicipan, dalam masakan
  5. Semiotika music
  6. Semiotika benda-benda
  7. Semiotika bahasa ilmiah
  8. Semiotika struktur cerita
  9. Semiotika kode-kode budaya.
  10. Semiotika estetika dan pesan
  11. Semiotika kinesik, gerakan.
  1. Semiotika Sastra
Secara ringkas dan kasar yang dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruahn aktivitas manusia. sebagian besar, bahkan keseluruhan aktivitas manusia pada dasarnya dilakukan melalui bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan. Kehidupan manusia dibangun atas dasar bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah system tanda. Menurut Noth (1990:42) tanda bukanlah kelas objek, tanda-tanda hadir hanya dalam pikiran penafsir. Tidak ada tanda kecuali jika diinterprestasikan sebagai tanda. Lebih jauh. 

Menurut Arthur Asa Berger (2000), sebagai ilmu, semiotika termasuk ilmu imperialistic, sehingga dapat diterapkan pada berbagai bidnag yang berbeda, termasuk gejala-gejala kebudayaan kontemporer. Secara definitive tanda adalah sembarang apa yang mengatakan tentang sesuatu yang lain dari pada dirinya sendiri. Tanda-tanda sastra tidak terbatas pada teks tertulis. Hubungan antara penulis, karya sastra, dan pembaca menyediakan pemahaman mengenai tanda yang sangat kaya.
  1. Semiotika sosial
Sebagai metode mikroskopis, strukturalisme dianggap mengingkari peranan subjek, baik pengarang sebagai subjek individual maupn masyarakat sebagai subjek transindividual. Oleh karena itulah, metode dan teori strukturalisme dianggap antihumanis. Semiotika memberikan jalan ke luar dengan mengambil objek sekaligus pada pengarang dan latar belakang sosial yang menghasilkannya. 

Semiotika sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitannya dengan hakikat teks sebagai gejala yang dinamis. Implikasi lebih jauh terhadap semiotika sosial sebagai ilmu, teks, dan konteks sebagai objek adalah metode yang harus dilakukan dalam proses pemahaman. Dalam kehidupan praktis sehari-hari, keberagaman tanda dengan sistemnya, dan dengan sendirinya keberagaman model hubungannya dengan aspek-aspek kemasyarakatannya.
  1. Teori Strukturalisme Genetik
Strukturalisme genetic dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsure-unsur intrinsik. Baik strukturalisme genetik atau dinamik juga menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas, bahasa sastra. Strukturalisme genetic ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Strukturalisme genetic memiliki impllikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. 

Pandangan dunia merupakan masalah pokok dalam strukturalisme genetic. Homologi, kelas-kelas sosial, strukturalisme bermakna, dan subjek transindividual diarahkan pada totalitas pemahaman yang dianggap sebagai kesimpulan suatu penelitian. Secara metodologis, dalam strukturalisme genetic Goldmann menyarankan untuk menganalisis karya sastra yang besar, bahkan suprakarya. Secara definitive strukturalisme genetic harus menjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia.
  1. Teori Strukturalisme Naratologi
Naratologi sengaja diurikan secara luas, dengan menyinggung sejumlah naratolog, dengan pertimbangan, pertama, berbagai aspek yang berkaitan dengan cerita telah mewarnai penelitian-penelitian baik dalam bidang sastra maupun kebudayaan pada umumnya. Kedua, buku ini memang dimaksudkan untuk melengkapi literature sastra dalam kaitannya dengan wacana naratif. Narasi, baik sebagai cerita mupun pencertiaan didefinisikan sebagai representasi paling sedikit duahlomith peristiwa factual atau fiksional dalam urutan waktu. Narrator atau agen naratif (Mieke Bal, 2985:119) didefinisikan sebagai pembicara dalam teks, subjek secara linguistis, bukan person, bukan pengarang. Para pelopor naratologi antara lain: Vladimir Lokovievich Propp, Claude levi-Straus, Txvetan Todorov, Algirdas Julien Greimas, dan Shiomith Rimmen-Kenan.

BAB V
Teori-Teori Postrukturalisme
  1. Hubungan antara Postmodernisme dengan Postrtukturalisme
Paradigma postrukturalisme adalah cara-cara mutakhir, baik dalam bentuk teori maupun metode dan teknik, yang digunakan dalam mengakaji objek. pada dasarnya kelemahan strukturalisme: 1) model analisi strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap terlalu kaku sebab semata-mata didasarkan atas struktur dan system tertentu, 2) strukturalisme terlalu banyak memberikan perhatian terhadap karya sastr sebagai kualitas otonom, dengan struktur dan sistemnya,sehingga melupakan subjek manusianya, yaitu pengarang dan pembaca, 3) hasil analisis dengan demikian seolah-olah demi karya sastra itu sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat secara luas. Strukturalisme (Ritzer, 2003: 49-64) lahri sebagai reaksi terhadap model-model penelitian sebelumnya yang memeberikan perhatain pada sejarah dan asal-usul suatu gejala cultural, khususnya bahasa. postmodernisasi dan postrukturalisme berkembang dengan sangat pesat, dipicu paling sedikit oleh tiga indicator yang sling melengkapi:
  1. Posmodernisme dan postrukturalisme sebagai kecenderunagn mutakhir peradaban manusia berkembang dalam situasi dan kondisi yang serba cepat.
  2. Perkembangan pesat kajian wacana, baik dalam bidang sastra, sebagai teks, maupun nonsastra, sebagai diskursus
  3. Perkembangan pesat interdisipliner yang memungkinkan berabgai disiplin kajian tunggal.
  1. Teori-teori Postmodernisme
Dengan melihat garis besar sejarah kebudayaan Barat, yaitu zaman Purba. Post ini pada dasarnya masih merupakan bagian dari zaman Modern. Modern, dari kata modo (Latin), berarti baru saja, jelas sangat sulit unutk dikaitkan dengan Zaman Modern yang berlangsung hampirselam 500 tahun. Oleh karena itulah timbul pendapat bahwa baik istilah modern maupun postmodern diartikan sebagai aktivitas pada saat suatu kemajuan berhasil diraih. Ciri-ciri yang mendasari perbedaan anatara modernism dengan postmodernisme tidak menunjukkan garis yang jela, tidak hitam putih.

 Timbulnya postmodernisme jelas merupakan akibat ketidakmampuan modernism dalam menanggulangai kepuasan masyarakat, yaitu berbagai kebutuahan yang berkaitan dengan masalah politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Demikianlah postmodernisme muncul untuk mengoreksi lineritas modernisme. Tujuannya jelas untuk mengoreksi kesadaran bahwa ada yang lain, the other, di luarnya, diluar wacana hegemoni. Tokoh-tokoh penting dalam teori postmodernisme: Gerard Gennete, Gerald Prince, Seymour Chatmann, Jonathan Culler, Hayden White, dll.
  1. Teori Resepsi sastra
Semiotika, resepsti, dan interteks berkembang pesat sesudah strukturalisme mencapai klimaks sekaligus stagnasi, bahkan sebagai involusi. Perbedaannya semiotika, melalui intensitas system tanda memberikan keseimbangan antara struktur intrinsic dan ekstrinsik. Menurut Luxemburg, dkk (1984: 78-79) ada dua tradisi klasik kaitannya dengan relevansi fungsi dan peranan pembaca, pertama, dibicarakan oleh Aristoteles, dalm Poetica, denga konsep tharsis, penyucian emosi pembaca melalui pementasan tragedy. Kedua, dibicarakan oleh Horatius, dalam Ars Peotca, dalam kaitannya dengan efek manfaat dan nikma, karya seni yang baik sekaligus berguna dan menyenangkan.
  1. Teori Interteks
Secara luas, interteks diartikan sebagi jaringan hubungan antara satu teks dangan teks lain. Lebih dari teks itu sendiri secara etimologi (textus, bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman, penggabuangan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yatu proses oposisi, permutasi, dan trasformasi. Menurut teori ini pembacaan yang berhasil justru apabial didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Secara definitive pada dasarnya interteks mendekonstruksi dikotomi penanda dan petanda semiotika konvensional, dimana karya dianggap berdiri sendiri secara otonom. Menurut Kristeva (1980: 36-38) karya sastra justru harus ditempatkan dalam kerangka ruang dan waktu secara kongkret, sehingga teks memiliki hubungan dengan teks-teks lain, memanfaatkan ungkapan-ungkapandari teks-teks lain, teks sebagi permainan dan mosaic dari kutipan terdahulu.
  1. Teori Feminisme
Menurut Teeuw beberapa indicator yang diaggap telah memicu lahirnya gerakan feminism di dunia Barat adalah:
  1. Berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari keuasaan lelaki.
  2. Radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam.
  3. Lahirnya gerakan pembebasan dari ikatan-ikatan tradisional.
  4. Sekularisasi, menurutnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan.
  5. Perkembangan pendidikan yang secara khusus dinikmati oleh perempuan.
  6. Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti KritikBaru dan strukturalisme.
  7. Ketidkapuasan terhadap teori dan praktik ideology Marxis.
Menurut Selden (1986:130-131) ada lima masalah yang biasanya muncul dalam kaitannya dengan teori feminis, yaitu: 1. Masalah biologis, 2. Pengalaman, 3. Wacana, 4. Ketaksadaran, 5. Pengalaman, 6. Masalah sosioekonomi.

BAB VI
Teori-Teori Komunikasi dalam Karya Sastra
Secara etimologi komunikasi berarti hubungan. Pada dasarnya seluruh aktivitas kehidupan dienergisasikan oleh system hubungan, baik degan tujuan positif maupun negative. Salah satu karya sastra yang penting dengan demikian adalah fungsinya sebagai system komunikasi. Secara garis besar komunikasi dilakukan melalui: a. interaksi sosial, b. aktivitas bahasa, c. mekanisme teknologi. Komunikasi dalam sastra penting sekaligus rumit sebab: a. karya sastra merupakan model kedua, b. karya sastra pada dasarnya sekaligus memanfaatkan ketiga unsure di atas.
  1. Ciri-ciri Anatomitas Pengarang.
Dalam sejarah kebudayaan, aspek kepengarangan, baik sebagai ilmuwan maupun seniman, bahkan dalam bentuk apaun yang melibatkan aktivitas mencipt, jelas memegang perangan penting. Melalui kepengaranganlah terjadi penemuan yang dengan sendirinya diikuti dengan kemajuan dalam berbagai bidang. Kualitas manusia berpikir tidak dengan sendirinya, dan tidak secara keseluruhan lebih penting dibandingkan dengan kualitas maunis bercerita. Komunikasi mengalami stagnasi sebab timbul factor-faktor elementer yang terlalikan, bahkan dengan sengaja dihapuskan, yang justru merupakan energy dalam kehidupan sehari-hari. Manusia bercerita, manusia mengarang yang terjadi katalisator anarindividu.

Dalam kritik sastra kontemporer, pembicaraan mengenai subjek pengarang menjadi actual kembali, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Pengarang yang sesungguhnya dalam tradisi sastra tradisional merupakan asal-muasal suatu karya, secara terus-menerus diingkari, dikekonstruksi. Fluktuasi peranan pengarang sepanjang sejarah sastra barat dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Abad pertama hingga abad ke-16 dengan diilhami oleh Longinus, memberikan intensitas pada eskpresi dan emosi.
  2. Abad Pertengahan (500-1500) pengarang sebagai pencipta kedua, penarang sebagai semata-mata meniru Maha Pencipta.
  3. Abad Renaissance (1400-1700) pengarang sebagai creator mulai dihargai.
  4. Abad ke-18-19 pengarang sebagai creator yang otonom, seniman mendewakan diri, di Indonesia tampak pada masa Pujangga Baru.
  5. Abad ke-20 pangarang disembunyikan di balik fokalisasi, penarang tersirat, bahkan pengarang dianggap sebagai anonimis.
  1. Karya Sastra: Fokalisasi atau sudut pandang.
Implikasi terpenting menghilangnya pengarang dalam instansi penulisan karya fiksi seperti diutarakan di atas adalah lahirnya peranan sudut pandang atau fokalisasi. Sebagai system komunikasi jelas seluruh aspek karya satra harus diuraikan, sehingga pembicaraan karya sastralah yang paling luas. Fokalisasi dari kata focus, yang bararti kancah perhatian, perspektif cerita, atau sudut pandang. Membedakan antara pencerita dengan fokalisator penting dalam rangka: a. memisahkan hegemoni subjek creator terhadap subjek fiksional, b. menampilkan hakikat intersubjektivitas. Benda-benda akan berbeda artinya jika dilihat oleh orang yang berbeda pula. Pada dasarnya dalam karya sastra ada sudut pandang, yaitu dibedakan menjadi:
  1. Sudut pandang orang pertama,
  2. Sudut pandang orang ketiga yang disebut juga sudut pandang tidak berperan serta.
Dalam karya sastra, fokalisasi sudah disadari sejak formalism, sebagaimana dikemukakan oleh Shkovsky sudut pandang, gaya bahasa, dan plot dianggap sebagai unsure utama keberhasilan karya.
  1. Pembaca: Jenis dan Peranannya.
Secara historis, dengan mengambil titik tolak abad ke-19, peranan karya sastra dan pembaca berurutan dalam bentuk garis lurus. Abad ke-19 sejarah sastra didominasi oleh pengarang, paruh pertama abad-20 didominasi oleh karya sastra, paruh kedua dan seterusnya hingga sekarang didominasi oleh pembaca.

Dikaitkan dengan trilogy pengarang, karya sastra, dan pembaca seperti di atas, perkembang terakhir yang didominasi oleh pembaca sesungguhnya merupakan perkembangan alamiah, yang diilhami oleh tradisi Plato dan Aristoteles, dengan teori katahtarsis. Menurut Luxemburg, dkk (1984: 76) pembaca dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a. pembaca di dalam teks, b. pembaca di luar teks juga dibedakan menjadi dua macam: 1. Pembaca yang diandaikan, 2. Pembaca sesungguhnya, pembaca di dalam teks juga dibedakan menjadi dua macam: 1. Pembaca implicit, dan 2. Pembaca eksplisit.

BAB VII
TEORI DAN METODE PENELITIAN MULTIDISIPLIN
Keragaman sastra mengimplikasikan keragaman latar belakang sosial budayanya. Indonesia merupakan satu-satunya Negara kesatuan yang terdiri atas ribuan pulau-pulau, dengan adat-istiadat , agama, suku, dan ras yang berbeda-beda. Di atas perbedaan itu, karya sastra ditulis, struktur cerita dibangun, dan pandangan dunia diwujudkan. Karya sastra mengandung aspek-aspek cultural, bukan individual. Benar, karya sastra dihasilkan oleh seorang pengarang, tetapi masalah-masalah yang diceritakan adalah masalah masyarakat pada umumnya. Keragaman aspek kebudayaan dapat diungkapkan secara maksimal apabila tersedia cara-cara pemahaman, model-model analisis dan dengan sendirinya dengan teori dan metodenya masing-masing. 

Mengingat ciri-cirinya, banyak pendapat dalam kaitanya dengan pembagian ilmu. Seperti telah disinggung di depang, dalam pembicaraan inii secara garis besar ilmu dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu; ilmu kealaman dan ilmu sosial. Dalam perkembangan terakhir, ilmu sosial dibedakan menjadi ilmu sosial sendiri dan ilmu kemanusiaan yang disebut humaniora. Secara definitive penelitian multidisiplin atau pluridisiplin adalah penelitian yang melibatkan lebih dari satu disiplin. Dasar perbedaannya adalah intensitas hubungan dan dengan sendirinya ciri-ciri ilmu yang bersangkutan. Dalam hubungan inilah dibedakan tiga macam multidisiplin, yaitu: a. multidisiplin itu sendiri, b. transdisiplin atau antardisiplin, c. interdisiplin. 
 
Dalam sastra juga ada sosiologi sastra. Dalam hal ini yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki hubungan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut:
  1. Karya sastr ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat
  2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
  3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengadung masalah-masalah kemasyarakatan.
  4. Berbeda dengan ilmu pnegetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika.
  5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.


DOWNLOAD Resume buku Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra Karya Nyoman Kutha Ratna: DOWNLOAD