Friday, June 15, 2012

Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari

 

Download Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari 

Download Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari 


Srintil adalah gadis Dukuh Paruk. Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan miskin. Namun, segenap warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya. 
Tradisi itu nyaris musnah setelah terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan warga Dukuh Paruk sehingga lenyaplah gairah dan semangat kehidupan masyarakat setempat. 

Untunglah mereka menemukan kembali semangat kehidupan setelah gadis cilik pada umur belasan tahun secara alamiah memperlihatkan bakatnya sebagai calon ronggeng ketika bermain-main di tegalan bersama kawan-kawan sebayanya (Rasus, Warta, Darsun). 
Permainan menari itu terlihat oleh kakek Srintil, Sakarya, yang kemudian mereka sadar bahwa cucunya sungguh berbakat menjadi seorang ronggeng. Berbekal keyakinan itulah, Sakarya menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng Kartareja. Dengan harapan kelak Srintil menjadi seorang ronggeng yang diakui oleh masyarakat.

Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi milik masyarakat. Sebagai seorang ronggeng, Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal. Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. 
Srintil telah terlibat atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus merasa mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk.

Kepergian Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang berliku. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk menuju pasar Dawuan, dan kelak dari tempat itulah Rasus mengalami perubahan garis perjalanan hidupnya dari seorang remaja dusun yang miskin dan buta huruf menjadi seorang prajurit atau tentara yang gagah setelah terlebih dahulu menjadi tobang. Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.

Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan dan keperempuanan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya.

Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tetap bertahan tidak ingin menari sebagai ronggeng, bahkan senang mengasuh bayi Goder (anaknya Tampi, seorang tetangga) dengan gaya asuhan seorang ibu kandung.

Perlawanan atau pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. 

Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama selaki ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya.

Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus mendekam di tahanan tanpa alasan yang jelas. Pada mulanya, terjadi paceklik di mana-mana sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi secara menyeluruh. 

Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami makna rapat-rapat umum, pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian. Tapi hubungan mereka tetap baik.

Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. 
Dalam tempo singkat, Dukuh Paruk kembali ketradisinya yang sepi dan miskin. Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. 

Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok Bakar yang sakit hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan sebuah caping bercat hijau di dekat pekuburan itu. Sayang, mereka tidak mampu membaca simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah penampilannya yang sudah-sudah.

Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara-cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat.

Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI.

Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus.

Tanpa sepengetahuan Srintil, Nyai Kartareja menghubungi Marsusi. Akibatnya, Srintil mengumpat kebodohan neneknya dan meratapi nasibnya sebagai perempuan yang terlanjur dikenal sebagai ronggeng. Untungah Srintil masih bisa mengelak perangkap Marsusi. Selepas dari perangkap Marsusi, Srintil kembali mendapat tekanan dari lurah Pecikalan agar mematuhi kehendak Pak Bajus.Bajus hendak menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek.
Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus. 

Karakteristik Cerpen dan Perbedaannya dengan Novel


I. PENDAHULUAN
Karya fiksi bisa berupa suatu penceritaan tentang tafsiran atau imajinasi pengarang tentang peristiwa yang pernah terjadi atau hanya terjadi dalam khayalannya saja. Sebuah karya fiksi tidak sama betul dan tidak mungkin sama betul dengan kehidupan. 

Kalau sebuah fiksi sama dengan kehidupan tanpa olahan pengarang mungkin saja karya tersebut tidak akan dibaca orang. Bila seorang sastrawan menulis tentang peristiwa kehidupan manusia, seorang wartawan juga menuliskan hal yang sama, namun hasilnya akan sangat berbeda dan kesan bagi pembacanya pun berbeda.

Dewasa ini penyebutan karya fiksi lebih ditujukan terhadap karya sastra yang berbentuk prosa naratif. Karya fiksi menunjuk pada karya yang berwujud novel dan cerita pendek. Banyak sastrawan yang menuangkan ide, pemikiran, dan pandangannya tentang realitas kehidupan melalui sebuah cerpen sehingga sekarang ini banyak sekali karya fiksi berupa cerpen.

Cerpen sebagai salah satu bentuk karya sastra diharapkan memunculkan pemikiran-pemikiran yang positif bagi pembacanya, sehingga pembaca peka terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan mendorong untuk berperilaku yang baik. Cerpen dapat dijadikan bahan perenungan untuk mencari pengalaman karena cerpen mengandung nilai-nilai kehidupan, pendidikan, serta pesan moral.

Untuk membuat rumusan masing-masing karya fiksi, novel dan cerpen, sangat sulit karena semakin berkembangnya karya fiksi tersebut. Secara praktis ketika orang membaca sebuah karya fiksi ia bisa mengatakan ini sebuah novel atau sebuah cerpen. Akan tetapi adakalanya seseorang bingung menentukan apakah karya fiksi ini termasuk novel atau cerpen. Menang sulit untuk mencari garis-garis pemisah antar kedua karya fiksi tersebut karena ciri-ciri khasnya semakin kabur. Novel dan cerita pendek sering dicobabedakan orang, walau tentu hal itu lebih bersifat teoritis. Tulisan ini membahas pengertian dan karakter cerpen serta perbedaannya dengan novel.

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Karakteristik Cerpen
  1. Rumusan (definisi) sebuah jenis sastra sangat sulit dilakukan. Dalam perkembangan sastra dewasa ini, ciri-ciri khasnya semakin kabur sehingga rumit untuk mencari garis-garis pemisah antara satu dengan yang lainnya. Kerumitan itu antara lain karena (Atar, 1988: 33) :makin banyak macam kesusastraan, 
  2. ciri-ciri khas sastra selalu berubah-ubah dan tidak identik dengan segala masa dan segala tempat,
  3. batas antara sastra dan bukan sastra tidak mutlak, dan
  4. identifikasi sastra bisa bermacam-macam menurut pendekatan dan titik pandangan.

Sungguhpun demikian, tidak berarti bahwa kita tidak mungkin mengemukakan rumusan cerita pendek (disingkat cerpen; Inggris: short story). Menurut Satyagraha Hoerip (dalam Atar, 1988: 34), cerpen adalah karakter yang dijabarkan lewat rentetan kejadian yang kejadian-kejadian itu sendiri satu persatu. Apa yang “terjadi” di dalamnya merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan.

Definisi cerpen dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008) adalah karangan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi. Sedangkan menurut Edgar Allan Poe, seorang sastrawan kenamaan dari Amerika, menyatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam –suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel (Nurgiyantoro, 2007: 10).

Panjang pendek ukuran cerpen tidak menjadi hal yang mutlak, tidak ditentukan bahwa cerpen harus sekian halaman atau sekian kata. Ada cerpen yang sangat pendek (short short story) berkisar 500-an kata, ada cerpen yang panjangnya sedang (midle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story) yang terdiri dari puluhan ribu kata. (Nurgiyantoro, 2007: 10)

Cerita pendek dicirikan dengan beberapa hal antara lain, secara fisik pendek, adanya sifat rekaan (fiction), dan adanya sifat naratif atau penceritaan. Bentuk fisik cerpen yang pendek bukan dengan kualifikasi halaman tertentu, tetapi mengarah kepada pemadatan isi. Sifat rekaan mengandaikan adanya suatu peristiwa, apakah benar-benar terjadi atau hanya rekaan yang dijadikan dasar penulisan cerita, sedangkan sifat naratif mengharuskan cerpen tampil secara utuh sebagai sebuah cerita namun singkat.

Cerita pendek biasanya memusatkan perhatian pada satu kejadian, mempunyai satu plot, setting yang tunggal, jumlah tokoh yang terbatas, dan mencakup jangka waktu yang singkat. Karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detail-detail khusus yang “kurang penting”. Dengan begitu cerpen menyuguhkan cerita yang diciptakan, dipadatkan, digayakan, dan diperkokoh oleh kemampuan imajinasi pengarangnya. Salah satu karakteristik cerpen adalah cerpen mampu mengemukakan lebih banyak –secara inplisit –dari sekedar apa yang diceritakan.

Komunikasi yang dibangun oleh suatu cerpen masih abstrak. Artinya, apa yang ingin disampaikan oleh pengarang belum tentu sama dengan yang dipahami oleh pembaca. Sebagai sebuah karya fiksi cerpen terbangun atas unsur-unsur yaitu: tema, plot, penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain.

B. Perbedaan Cerpen dengan Novel
Perbedaan novel dan cerpen yang paling utama adalah dari formalitas bentuk yaitu segi panjang cerita. Dari segi panjang cerita, novel jauh lebih panjang daripada cerpen. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan permasalahan yang lebih kompleks. Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan lebih banyak – secara implisit – dari sekedar apa yang diceritkan. 

Di pihak lain, kelebihan novel adalah kemampuannya menyampaikan permasalahan yang kompleks secara penuh. Hal ini berarti membaca sebuah novel menjadi lebih mudah sekaligus lebih sulit daripada membaca cerpen. Ia menjadi lebih mudah karena tidak menuntut kita memahami masalah yang kompleks dalam bentuk yang sedikit. Sebaliknya, ia menjadi lebih sulit karena berupa penulisan dalam skala yang besar yang berisi unit organisasi atau bangunan yang lebih besar daripada cerpen.

Unsur-unsur pembangun novel, seperti, plot, tema, penokohan, dan latar, secara umum bersifat lebih rinci dan kompleks daripada unsur-unsur cerpen. Nurgiyantoro (2007: 12-15) mengemukakan perbedaan antara novel dan cerpen dilihat dari unsur-unsur pembangunnya yang dapat diringkas sebagai berikut.

1. Plot
  • Cerpen: pada umumnya plot tunggal, hanya terdiri dari satu peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir 
  • Novel: pada umumnya memiliki lebih dari satu plot, terdiri dari satu plot utama dan sub-subplot.
2. Tema
  • Cerpen: berisi satu tema
  • Novel: dapat berisi lebih dari satu tema, yaitu satu tema utama dan tema-tema tambahan
3. Penokohan
  • Cerpen: jumlah tokoh maupun perwatakannya terbatas 
  • Novel: jumlah tokoh lebih banyak dan perwatakannya lebih rinci dan lengkap
4. Latar
  • Cerpen: tidak memerlukan detail-detail khusus tentang keadaan latar, hanya melukiskan latar secara garis besar saja atau bahkan hanya secara implisit 
  • Novel: melukiskan latar secara lebih rinci sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas, konkret, dan pasti
5. Kepaduan
  • Cerpen: pencapaian sifat kepaduan lebih mudah, keutuhan cerita hanya pendek –sependek satu bab dalam novel 
  • Novel: pencapaian sifat kepaduan lebih sulit, keutuhan cerita meliputi keseluruhan bab
Itulah perbedaan cerpen dan novel. Namun perbedaan itu secara praktis sering sukar dibedakan, sebab ada saja kemungkinan sebuah novel yang pada dasarnya bisa digolongkan kepada cerpen, atau sebuah cerpen yang diceritakan dengan berpanjang-panjang sehingga menjadi mirip sebuah novel.


III. KESIMPULAN
Cerita pendek (cerpen) adalah karangan pendek yang memberikan kesan tunggal dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi. Cerpen merupakan sebuah cerita yang dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam –suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel. Cerita pendek dicirikan dengan beberapa hal antara lain, secara fisik pendek, adanya sifat rekaan (fiction), dan adanya sifat naratif atau penceritaan. Karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detail-detail khusus.

Perbedaan novel dan cerpen yang paling utama adalah dari formalitas bentuk yaitu segi panjang cerita. Dari segi panjang cerita, novel jauh lebih panjang daripada cerpen. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan permasalahan yang lebih kompleks. Unsur-unsur pembangun novel, seperti, plot, tema, penokohan, dan latar, secara umum bersifat lebih rinci dan kompleks daripada unsur-unsur cerpen.


Oleh: Sukrisno Santoso, Juni 2010



DAFTAR PUSTAKA
Atar, Semi. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya

Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa

-------------------------------------------
Download Makalah Karakteristik Cerpen dan Perbedaannya dengan Novel

Kajian Stilistika Puisi "Kepada Peminta-minta" Karya Chairil Anwar


Karya sastra merupakan wujud dari hasil pemikiran manusia. Karya sastra diciptakan untuk dinikmati dan diapresiasi.

Dalam hal ini setiap penulis memiliki cara dalam mengemukakn gagasan dan gambarannya untuk menghasilkan efek-efek tertentu bagi pembacanya. Secara menyeluruh kajian stilistik berperan untuk membantu menganalisis dan memberikan gambaran secara lengkap bagaimana nilai sebuah karya sastra.

Karya sastra sebagai kajian dari stilistik yang menggunakan gaya bahasa sastra sebagai media untuk menemukan nilai estetisnya. Aminuddin (1997: 67) mengemukakan terdapat jenis karya sastra yaitu puisi dan prosa fiksi. Dalam hal ini perbedaan karakteristik karya sastra mengakibatkan perbedaan dalam tahapan pemaknaan dan penafsiran ciri dan penggambarannya. 

Pengarang memiliki kreativitas masing-masing dan setiap karya yang dihasilkan memperhatikan kebaharuan dan perkembangan sosial budaya. Misalnya puisi sebagai objek kajian yang dianalisis. Setiap orang tentunya pada umumnya memiliki pendapat dan penafsiran terhadap suatu puisi. Perbedaan itu muncul pula pada pemahaman seseorang, stilistika akan muncul dengan kekhasan bahasa yang digunakan dan akan sangat berbeda dengan penggunaan bahasa sehari-hari.

Sastra terbagi atas dua jenis yaitu sastra lama dan modern. Sastra ini menjadi objek yang diamati dalam penelitian sastra, sastra modern dapat meliputi puisi, prosa maupun drama. Berdasarkan hal tersebut menurut Ratna (2009:19) dari ketiga jenis sastra modern dan sastra lama, puisilah yang paling sering digunakan dalam penelitian stilistika. Puisi memiliki ciri khas yaitu kepadatan pemakaian bahasa sehingga paling besar kemungkinannya untuk menampilkan ciri-ciri stilistika. Dibandingkan dengan prosa yang memiliki ciri khas pada cerita (plot) sedangkan ciri khas drama pada dialog.

Pada lingkupnya puisi diciptakan oleh seseorang dengan melukiskan dan mengekspresikan watak-watak yang penting si pengarang, bukan hanya menciptakan keindahan. Aminuddin (1997:65) menyatakan dalam puisi misalnya membutuhkan efek-efek emotif yang mempengaruhi karya sastra.


Memperoleh efek-efek tersebut dapat melalui kebahasaan, paduan bunyi, penggunaan tanda baca, cara penulisan dan lain sebagainya. Dengan kriteria tersebut membantu dalam menganalisis sebuah puisi. Berdasarkan kriteria tersebut dipilih puisi dengan judul“Kepada Peminta-minta karya Chairil Anwar untuk dianalisis. Chairil Anwar pula memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan sastra Indonesia secara keseluruhan. 

Menurut Ratna (2009:353) keberhasilan puisi Chairil Anwar dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, 1) representasi visual melalui komposisi, sususnan baris dan bait, 2) efesiensi bahasa, penggunaan kata-kata secara singkat sederhana, tetapi penuh energi, 3) pembawa aliran baru, sebagai ekspresionisme, 4) kebaruan isi, yaitu nasionalisme, 5) keberhasilannya dalam menggugah emosi pembaca. Dengan demikian keindahan puisi pada dasarnya membentuk suatu pesan dan gaya bahasa tersendiri memberikan wujud keindahan karya sastra.
 
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan konsep dan aplikasi kajian stilistika pada puisi Kepada Peminta-Minta Karya Chairil Anwar.
 
STILISTIKA
 
Hakikat Stilistika
Stilistika (stylistic) dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Secara etimologis stylistic berhubungan dengan kata style yaitu gaya. Dengan demikian stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa secara khusus dalam karya sastra. Gaya bahasa yang muncul ketika pengarang mengungkapkan idenya. Gaya bahasa ini merupakan efek seni dan dipengaruhi oleh hati nurani. Melalui gaya bahasa itu seorang penyair mengungkapkan idenya. Pengungkapan ide yang diciptakan melalui keindahan dengan gaya bahasa pengarangnya (Endraswara, 2011:72—73).

Melalui ide dan pemikirannya pengarang membentuk konsep gagasannya untuk menghasilkan karya sastra. Aminuddin (1997:68) mengemukakan stilistika adalah wujud dari cara pengarang untuk menggunakan sistem tanda yang sejalan dengan gagasan yang akan disampaikan. Namun yang menjadi perhatian adalah kompleksitas dari kekayaan unsur pembentuk karya sastra yang dijadikan sasaran kajian adalah wujud penggunaan sistem tandanya.

Secara sederhana menurut Sudiman dikutip Nurhayati (2008:8) “Stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa didalam karya sastra”. Konsep utamanya adalah penggunaan bahasa dan gaya bahasa. Bagaimana seorang pengarang mengungkapkan karyanya dengan dasar dan pemikirannya sendiri.

Dalam hal ini untuk memahami konsep stilistik secara seksama Nurhayati (2008:7) mengemukakan pada dasarnya stilistika memiliki dua pemahaman dan jalan pemikiran yang berbeda. Pemikiran tersebut menekankan pada aspek gramatikal dengan memberikan contoh-contoh analisis linguistik terhadap karya sastra yang diamati. Selain itu pula stillistika mempunyai pertalian juga dengan aspek-aspek sastra yang menjadi objek penelitiannya adalah wacana sastra.

Stilistika secara definitif adalah ilmu yang berkaiatan dengan gaya dan gaya bahasa. Tetapi pada umumnya lebih banyak mengacu pada gaya bahasa. Dalam pengertiannya secara luas stilistika merupakan ilmu tentang gaya, meliputi berbagai cara yang dilakukan dalam kegiatan manusia (Ratna, 2011:167).
 
Tujuan Kajian Stilistika
Stilistika sebagai salah satu kajian untuk menganalisis karya sastra. Endraswara (2011:72) mengemukakan bahasa sastra memiliki tugas mulia. Bahasa memiliki pesan keindahan dan sekaligus pembawa makna. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra menjadi hambar. Keindahan suatu sastra dipengaruhi oleh kemampuan penulis mengolah kata. Keindahan karya sastra juga memberikan bobot penilaian pada karya sastra itu. 


Selain itu, menurut Sudjiman dikutip Nurhayati (2008:11) mengemukakan titik berat pengkajian stilistik adalah terletak pada penggunaan bahasa dan gaya bahasa suatu sastra, tetapi tujuan utamanya adalah meneliti efek estetika bahasa. Keindahan juga merupakan bagian pengukur dan penentu dari sebuah sastra yang bernilai.
 
Sumber Objek Penelitian Stilistika
Penelitian stilistika menuju kepada bahasa, dalam hal ini merupakan bahasa yang khas. Menurut Ratna (2009:14) bahasa yang khas bukan pengertian bahwa bahasa dan sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari dan bahasa karya ilmiah. Ciri khasnya yaitu pada proses pemilihan dan penyusunan kembali. Hal tersebut merupakan analog dengan kehidupan sehari-hari dan merupakan proses seleksi, manipulasi dan mengombinasikan kata-kata. Bahasa yang memiliki unsur estetis, berbagai fungsi mediasi, dan emonsionalitas.

Dalam hal ini kekuatan dalam karya seni adalah kekuatan untuk menciptakan kombinasi baru, bukan objek baru. Dengan demikian seperti yang telah dikemukan sebelumnya jenis sastra puisilah yang dianggap sebagai objek utama stilistika. Puisi memiliki medium yang terbatas sehingga keterbatasannya sebagai totalitas puisi yang hanya terdiri dari beberapa baris harus mampu menyampaikan pesan sama dengan sebuah cerpen, bahkan juga novel yang terdiri atas banyak jumlah halaman.

Pendekatan dalam Stilistika
Melalui stilistika dapat dijabarkan ciri-ciri khusus karya sastra. Berdasarkan hal itu, Wellek, dan Warren (1993:226) menyatakan ada dua kemungkinan pendekatan analisis stilistika dengan cara semacam itu. Yang pertama di analisis secara sistematis tentang sistem linguistik karya sastra, kemudian membahas interprestasi tentang ciri-cirinya dilihat berdasarkan makna total atau makna keseluruhan. Melalui hal ini akan muncul sistem linguistik yang khas dari karya atau sekelompok karya. 


Pendekatan yang kedua yaitu mempelajari sejumlah ciri khas membedakan sistem satu dengan yang lainnya. Analisis stilistika adalah dengan mengamati deviasi-deviasi seperti pengulangan bunyi, inversi susunan kata, susunan hirarki klausa yang semuanya mempunyai fungsi estetis penekanan, atau membuat kejelasan, atau justru kebalikannya yang membuat makna menjadi tidak jelas.

Sejalan dengan pernyataan di atas dalam kajian stilistik dipengaruhi oleh karya sastra dan bentuk pendekatan yang digunakan. Nurhayati (2008:13—20) mengemukakan lima pendekatan yang dapat digunakan yaitu, sebagai berikut:
 
Pendekatan Halliday
Dalam pendekatan ini Halliday mengilustrasikan bagaimana kategori-kategori dan metode-metode linguistik deskriptif dapat diaplikasikan ke dalam analisis teks-teks sastra seperti dalam materi analisis teks yang lainnya. Melalui hal ini analisis bukan hanya kepada interprestasi atau evaluasi estetika terhadap pesan-pesan sastra yang dianalisisnya tetapi hanya kepada deskripsi unsur-unsur bahasa. Dalam kajiannya ia tidak mengungkapkan bagaimana bentuk-bentuk verbal tersebut disusun sehingga berhubungan dengan bentuk lainnya pada hubungan intra-tekstual.  


Pendekatan Sinclair
Pendekatan ini searah dengan teori pendekatan Halliday. Ia menerapkan kategori-kategori deskripsi linguistik Halliday. Sinclair mengemukakan terdapat dua aspek yang berperan penting dalam pengungkapan pola-pola intratekstual karya sastra.
 
Pendekatan Goeffrey Leech
Leech mengemukakn bahwa karya sastra mengandung dimensi-dimensi makna tambahan yang beroperasi pula di dalam wacana lainnya. Leech mengungkapkan tiga gejala ekspresi sastra, yaitu cohesion, foregrounding, dan cohesion of foregrounding. Ketiga gejala ekspresi ini menghadirkan dimensi-dimensi makna yang berbeda yang tidak tercakup oleh deskripsi linguistik dengan kategori-kategori normalnya.  


Cohesion merupakan hubungan interatekstual antara unsur gramatikal dengan unsur leksikal yang jalin-menjalin dalam sebuah teks sehingga menjadi sebuah unit wacana yang lengkap. Foregrounding merupakan gejala khas yang hanya terdapat dalam karya sastra. Sedangkan cohesion of foregrounding adalah penyimpangan-penyimpangan dalam teks yang dihubungkan dengan bentuk lain untuk membentuk pola-pola intratekstual.
 
Pendekatan Roman Jakobson
Pendekatan ini menggolongkan fungsi puitik bahasa sebagai sebuah penggunaan bahasa yang berpusat kepada bentuk aktual dari pesan itu sendiri. Tulisan sastra tidak seperti bentuk-bentuk lainnya. Dalam tulisan sastra ditemukan pesan yang berpusat pada pesan itu sendiri.
 
Pendekatan Samuel R. Levin
Pendekatan Levin dalam analisis stilistika serupa dengan pendekatan Halliday dan Sinclair yang berpusat pada analisis butir-butir linguistik. Levin juga mengembangkan gagasan kesejajaran yang juga dikemukakan oleh Jakobson. Dalam hal ini kesejajaran tersebut berlaku pada level fonologi, sintaksis, dan semantik yang untuk menghasilkan ciri-ciri struktural.
 
Teori yang Berhubungan dengan Kajian StilistikA
Pembentuk utama unsur puisi selain bahasa adalah keindahan. Pada dasarnya kajian stilistika dikemukakan beberapa teori-teori yang berhubungan. Menurut Nurhayati (2008:30—38) teori-teori tersebut digunakan untuk menganalisis bahasa. Teori tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Diksi, pemilihan kata sangat erat kaitannya dengan hakikat puisi yang penuh pemadatan. Oleh karena itu, penyair harus pandai memilih kata-kata. Penyair harus cermat agar komposisi bunyi rima dan irama memiliki kedudukan yang sesuai dan indah. Selain itu, Tarigan (2011:29) mengemukakan diksi adalah pilihan kata yang digunakan oleh penyair. Pilihan kata yang tepat dapat mencerminkan ruang, waktu, falsafah, amanat, efek, dan nada dalam suatu puisi.
  2. Citraan, merupakan penggunaan bahasa untuk menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, pikiran dan setiap pengalaman indera atau pengalaman indera yang istimewa. Dalam hal ini yang dimaksud adalah citraan yang meliputi gambaran angan-angan dan pengguna bahasa yang menggambarkan angan-angan tersebut, sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji. Secara spesifik Tarigan (2011:31) dalam menciptakan karya penyair berusaha membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga merekalah yang benar-benar mengalami peristiwa dan perasaan tersebut. Penyair berusaha agar penikmat dapat melihat, merasakan mendengar, dan menyentuh apa yang ia alami dan rasakan.
  3. Kata-kata konkret, merupakan kata yang dapat melukiskan dengan tepat, membayangkan dengan jitu apa yang hendak dikemukakan oleh pengarang. Tarigan (2011:32) mengungkapkan salah satu cara membangkitkan daya bayang imajianasi para penikmat puisi adalah menggunakan kata-kata yang tepat, kata yang dapat menyarankan suatu pengertian secara menyeluruh.  
  4. Bahasa figuratif, untuk memperoleh kepuitisan, penyair menggunakan bahasa figuratif, yaitu bahasa kiasan atau majas. Menurut Endraswara (2011:73) terdapat dua macam bahasa kiasan atau stilistik kiasan, yaitu gaya retorik dan gaya kiasan. Gaya retorik meliputi eufemisme, paradoks, tautologi, polisndeton, dan sebagainya. Sedangkan gaya kiasan amat banyak ragamnya antara lain alegori, personifikasi, simile, sarkasme, dan sebagainya. Menurut Ratna (2011:164) majas (figure of speech) adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan.
  5. Rima dan ritma, merupakan pengulangan bunyi dalam puisi. Dengan pengulangan bunyi tersebut, puisi menjadi merdu bila dibaca. Bentuk-bentuk rima yang paling sering muncul adalah aliterasi, asonansi, dan rima akhir. Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi menimbulkan suatu gerak yang teratur. Gerak yang teratur tersebut di sebut ritma atau rhythm. Tarigan (2011:35) mengatakan rima dan ritma memiliki pengaruh untuk memperjelas makna puisi. Dalam kepustakaan Indonesia, ritme atau irama adalah turun naiknya suara secara teratur, sedangkan rima adalah persamaan bunyi.

STRUKTUR BATIN PUISI
Struktur batin puisi pula yang menjadi salah satu unsur pembentuk puisi. Struktur batin berperan untuk menjiwai sebuah puisi. Dalam hal ini menurut Nurhayati (2008:40—43) hakikat puisi terdiri atas beberapa komponen yang membangun sebuah puisi. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Tema (sense), merupakan gagasan atau ide pokok dalam suatu kajian puisi. Hal yang menjadi pokok persoalan dalam puisi tersebut. Setiap puisi memiliki pokok persoalan yang hendak di sampaikan kepada pembacanya. Selain itu menurut Tarigan (2011:10—11) dalam puisi memiliki subject matter yang hendak dikemukakan atau ditonjolkan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman penyair. Makna yang terkandung dalam subject matter adalah sense atau tema dalam puisi tersebut.
  2. Perasaan (feeling) merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang terdapat dalam puisinya. Dalam hal ini pada umumnya setiap penyair tentunya akan memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu karya. Menurut Tarigan (2011:12) rasa/felling yaitu merupakan sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang ada pada puisinya.
  3. Nada (tone), merupakan refleksi sikap penyair terhadap pembacanya, baik suasana hati, dan pandangan moral, dan terkadang muncul pula karakter kepribadian pengarangnya tercemin dalam puisi. Penyair pula menunjukkan sikapnya kepada pembacanya, misalnya dengan sikap menggurui, menyindir atau bersifat lugas.
  4. Amanat (intention) atau tujuan merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan suatu puisinya. Dalam hal ini penyair menciptakan puisinya dan tersirat secara tidak langsung muncul melalui di balik tema yang diungkapkan.

ANALISIS STILISTIKA
Karya sastra pada analisis stilistika memiliki kaitan erat dengan bahasa yang menjadi medium utamanya. Ratna (2009:330) menyatakan bahwa analisis yang baik adalah kajian yang memelihara keseimbangan antara prinsip linguistik dan sastra kebudayaan atau yang mendasar pada pencapaian aspek estetis.

Dalam kajian stilistika hendaknya sampai pada dua hal yaitu makna dan fungsi. Makna dicari melalui penafsiran yang dikaitkan melalui totalitas karya, sedangkan fungsi terbesit dari peranan stilistika dalam membangun karya (Endraswara, 2011:76). Senada dengan hal tersebut Nurhayati (2008:46) mengemukakan terdapat 2 unsur dalam menganalisis puisi, yaitu pada kajian stilistika dan struktur batin puisi. 

Pada kaiian stilistika dibahas masalah penerimaan, linguistik, diksi, citraan, kata-kata konkret dan bahasa figuratif. Sedangkan struktur batin membahas masalah tema, perasaan, nada dan amanat. Dalam hal ini puisi yang akan di analisis adalah puisi dengan judul Kepada Peminta-minta karya Chairil Anwar. Puisi tersebut adalah sebagai berikut:


Kepada Peminta-Minta
  1. Baik, baik aku akan menghadap Dia 
  2. Menyerahkan diri dan segala dosa 
  3. Tapi jangan lagi tentang aku 
  4. Nanti darahku jadi beku 
  5. Jangan lagi kau bercerita 
  6. Sudah tercacar semua di muka 
  7. Nanah meleleh dari luka 
  8. Sambil berjalan kau usap juga 
  9. Bersuara tiap kau melangkah 
  10. Mengerang tiap kau menendang 
  11. Menetes dari suasana kau datang 
  12. Sembarang kau merebah 
  13. Mengganggu dalam mimpiku
  14. Menghempas aku di bumi keras
  15. Di bibirku terasa pedas 
  16. Mengaum di telingaku 
  17. Baik, baik aku akan menghadap Dia 
  18. Menyerahkan diri dan segala dosa 
  19. Tapi jangan tentang lagi aku 
  20. Nanti darahku jadi beku
(Chairil Anwar, 2010:78)
 
1) Diksi
Kata-kata dalam puisi “Kepada Peminta-minta” memiliki makna kiasan yang harus dipahami secara seksama. Tokoh aku dan dia memerlukan interprestasi sendiri untuk menentukannya. Hal ini dalam setiap maksudnya memerlukan pemahaman yang menyeluruh. Secara umum puisi juga sulit untuk dipahami, terdapat penafsiran tertentu. 
Dengan demikian penggunaan kata konotatif dalam puisi tersebut cukup menjadi perhatian.

Penyair menggunakan kata-kata tersebut untuk mengungkapkan sesuatu. Sesuatu itulah yang dinamakan makna konotatif. Jadi, penggunaan kata konotatif dilakukan untuk menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Penggunaan kata konotatif juga untuk menciptakan efek estetis.

Sesuai dengan judulnya, puisi tersebut banyak menggunakan kata konotasi. Misalnya pada baris ke empat /Nanti darahku jadi beku/. Hal ini merupakan makna konotasi yang memerlukan penafsiran.Terdapat pula makna konotasi pada baris 6 /Sudah tercacar semua di muka/. Secara keseluruhan baris dalam puisi ini memiliki makna kiasan yang perlu untuk ditelaah sebelumnya. Bukan jenis citraan yang mengandung makna denotasi yang secara umum mudah untuk langsung dipahami.

Pemilihan kata pada baris genap tidak terlepas dari kata yang digunakan pada 2 baris pertama. Misalnya pada baris pertama penyair mengatakan dia akan menghadap Dia, maka pada baris kedua kata menyerahkan diri dan segala dosa dirasa sangat cocok konteksnya. Pada baris ketiga dan keempat penyair meminta untuk jangan menentang dirinya lagi, maka darahnya akan menjadi beku, hal ini sesuai konteksnya.


Pada baris kelima dan keenam penyair meminta untuk jangan bercerita lagi, semua sudah tercacar dimuka. Baris ketujuh dan kedelapan penyair nanah meleleh dari luka sambil berjalan kau usap juga. Dari hal itu terlihat pemilihan kata yang tepat sekali yang digunakan oleh penyair.

Pilihan kata (diksi) dalam puisi “Kepada Peminta-minta” mempunyai efek kecewa, menyerah, letih, terluka, sedih, berat, dan risau. Hal itu dapat terlihat dari penggunaan kata: menyerahkan diri, tentang, luka, tercacar, meleleh, menghempas, mengerang, merebah, menetas. Sedangkan adanya risau terlihat dari apa yang di ungkap oleh penyair yaitu: mengganggu, menghempas, merasa pedas dan mengaum di telinga.


Selain itu, penyair juga menggunakan pilihan kata yang menciptakan efek letih, menyerah, kecewa, terluka, dan risau. Kesimpulan dari analisis gaya kata adalah puisi “Kepada Peminta-minta” selain menggunakan kata konotatif untuk mengungkapkan gagasan dan untuk mencapai efek estetis.

2) Citraan
Citraan dalam karya sastra berperan untuk menimbulkan pembayangan imajinatif bagi pembaca. Pada dasarnya citraan kata terefleksi melalui bahasa kias. Citraan kata meliputi penggunaan bahasa untuk menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, dan setiap pengalaman indera yang istimewa.
Citraan dibuat dengan pemilihan kata (diksi). 

Dalam puisi “Kepada Peminta-minta” penyair memanfaatkan citraan untuk menghidupkan imaji pembaca melalui ungkapan yang tidak langsung. Citraan visual (penglihatan) terlihat pada baris 1, dan 10 yaitu menghadap dan memandang. Citraan perabaan terdapat pada baris 8, yaitu kata usap. Memaknai usap dapat dirasakan dengan indera perabaan. Citraan pendengaraan terlihat pada baris 9 dan 16, yaitu pada kata bersuara dan mengaum. Dalam hal ini kata bersuara dan mengaum dapat dirasakan oleh indera pendengaran. 

Selain itu pula terdapat citraan pengecap yaitu pada baris 15 pada kata pedas. Rasa pedas dapat dirasakan melalui indera pengecap. Kesimpulannya adalah puisi “Kepada Peminta-minta” memanfaatkan citraan untuk menghidupkan imaji pembaca dalam merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Citraan membantu pembaca dalam menghayati makna puisi. Puisi “Kepada Peminta-minta” memanfaatkan citraan visual (penglihatan), pendengaran, pengecap dan citraan perabaan.

3) Kata-Kata Konkret
Pada puisi ini ditemukan diksi yang berupa kata-kata kongkret yang dapat membangkitkan citraan seperti berjalan, melangkah, mengempas, merebah menunjukkan citraan gerak dan beberapa citraan lainnya. Kata-kata kongkret tersebut jelas menunjukkan sikap tindakan baik dari si peminta-minta maupun pengarang. Kata-kata kongkret yang menggambarkan unsur-unsur puisi secara tepat dengan tujuan pengarang agar pembaca dapat merasakan keadaannya.

4) Rima
Puisi “Kepada Peminta-minta” secara keseluruhan didominasi dengan adanya vocal /a/ dan /u/. Sedangkan bunyi konsonan yang dominan yaitu bunyi /t/, /k/ dan /d/. Asonansi a terdapat pada baris puisi yaitu baris 1, 2, 5, 6, 7, 8. 17, dan 18 Misalnya, pada baris pertama yaitu: /Baik, baik aku akan menghadap Dia/, pada baris ketiga: /Menyerahkan diri dan segala dosa/. Asonansi u terdapat pada baris genap yaitu baris 3, 4, 13, 16, 19, dan 20. Misalnya, pada baris ketiga yaitu: /Tapi jangan lagi tentang aku/, pada baris keempat: /Nanti darahku jadi beku/.

Asonansi a pada 2 baris pertama dan asonansi u pada 2 baris berikutnya mengesankan bahwa puisi ini mempunyai irama yang tetap dan teratur yakni irama vokal aauu.

Pada baris pertama dijumpai aliterasi d (menghadap, dia). Aliterasi d juga terdapat pada baris 7, 10, 11, 13 dan 15 yakni pada kata: dari, menghadang, datang, dalam, dan pedas. Pengulangan 4 baris pertama juga dilakukan untuk menambah bentuk asonansi dan aliterasi dalam puisi ini. Aliterasi k dapat dilihat banyak sekali digunakan. Beberapa di antaranya juga terdapat pada baris 1, 2, 4, 5, 6, 7, 14 dan 16 yakni pada kata: baik, aku, akan, menyerahkan, beku, kau, muka, luka, keras dan ku.

Berikutnya aliterasi t terdapat pada baris 3, 5, 11, 15, dan 16 yaitu: tentang, bercerita, datang, terasa, dan ditelingaku. Selain asonansi dan aliterasi, terdapat pengulangan rima yang teratur yang disusun oleh penyair. Pada 2 baris pertama berakhiran bunyi vokal yang sama yaitu vokal a dan pada baris 3 dan 4 berakhiran bunyi vokal yang sama yaitu vokal u sehingga rima puisi tersebut mempunyai rima yang teratur yaitu aabb. Penggunaan gaya bunyi dengan variasi dan rima pada puisi tersebut menimbulkan sebuah irama yang menciptakan sebuah irama yang indah.

5) Bahasa Figuratif
Dalam puisi "Kepada Peminta-minta" karya Chairil Anwar bahasa figuratif yang muncul yaitu pada baris ke 4 dan 21. Merupakan majas hiperbola yang bersifat berlebih-lebihan. Muncul majas hiperbola dari kata nanti darahku jadi beku. Selain itu pula muncul majas repetisi pada baris 1 dan 18. Terjadi pengulangan pada kata baik, dalam konteksnya yaitu /baik, baik aku akan menghadap Dia/.

 
Struktur Batin Puisi
1) Tema (sense), merupakan hal yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Puisi Chairil Anwar menceritakan seseorang yang melarat, miskin yang tidak memiliki apa-apa. Subjet matter yang ditonjolkan dalam puisi ini yaitu tingkah atau sikap si peminta-minta dan bagaimana sikap penyair terhadapnya. Penyair menekankan pandangannya kepada sang peminta-minta. Bagaimana sikapnya terhadap kaum melarat. 

Pada baris ketiga /Tapi jangan tentang lagi aku/ menunjukkan sikapnya yang merasa nyaman dengan kehadirannya. Penyair mengungkapkan semua yang terjadi telah diketahui. Hal ini tertuang dalam baris 5, 6, 7 yaitu Jangan lagi kau bercerita//sudah tercecer semua dimuka//dengan nanah yang meleleh dari muka// . Penyair juga merasa tertanggu dengan adanya peminta-peminta, hal ini dinyatakan dalam baris /di bibirku terasa pedas//mengaum ditelingaku/.

2) Perasaan (feeling)

Perasaan yang ditekankan pada puisi ini adalah rasa benci Chairil Anwar terhadap peminta-minta. Perasaan menyerah dan merasa bersalah atas dosa yang diperbuat. Hal tersebut dikemukan pada baris 2 yaitu /menyerahkan diri dan segala dosa/.

Tarigan (2011:16) mengemukakan Chairil Anwar memandang si peminta-minta dengan belakan mata dan rasa benci. Muncul perasaan terganggu dan kurang simpati terhadap si peminta-minta.Selain itu, Chairil juga menunjukkan sikap jengkel kepada si peminta-minta. Sikap yang terlalu menyerah pada keadaan hidup dan begitu menunjukkan kepedihannya dan kemelaratannya.

3) Nada (tone), nada yang ditunjukan dalam puisi adalah sinis. 
Nada sinis muncul akibat dari kebencian pengarang kepada peminta-minta. Hal tersebut salah satunya muncul pada baris puisi berikut: 
  •  jangan lagi kau becerita
  • sudah tercacar semua dimuka
  • nanah meleleh dari muka
  • sambil di jalan kau usap juga
Muncul nada sinis akibat dari tekanan yang didasarkan oleh rasa benci dari sikap si peminta-minta.Selain itu, terlihat terdapat nada menyindir dari makna puisi Chairil Anwar. Menyindir pada tingkah si peminta-minta yang terlalu melebih-lebihkan rasa penderitaannya.

4) Amanat (intention) dalam puisi ini tujuan yang memiliki peranan penting.
Dalam hal ini Chairil Anwar yang memiliki sikap ekspresionisme memberikan sajian puisi yang ekspresif. Ia mengemukakan sikapnya terhadap si peminta-minta. Chairil menunjukkan sikap sosial dan kenyataan yang terjadi pada masyarakat.

Sikap Chairil yang kritis menampilkan gambaran yang sesungguhnya tentang kehidupan rakyat miskin atau kaum melarat. Dengan demikian mampu menyampaikan pesan secara tidak langsung kepada pembaca bagaimana sikap dan perilaku yang seharusnya dilakukan. Menyampaikan amanat dan pesan moral kepada masyarakat/pembacanya.


SIMPULAN
Analisis stilistika memperhatikan pada dua aspek kekhasan karya sastra, yaitu dari segi linguistik dan pemaknaannya. Keduanya menonjolkan keindahan suatu karya sastra. Hal ini dapat pula menentukan suatu prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra. Menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra dari keseluruhan unsurnya. Dengan demikian nilai, pemikiran dan prinsip pengarang dapat dipahami. 


Puisi adalah salah satu objek kajian stilistika yang tepat untuk diteliti. Puisi memiliki kekhasan bahasa dan kepadatan bahassa yang sesuai untuk dikaji dengan stilistika. Dalam hal ini sebagai contoh puisi Chairil Anwar yang dapat dikaji sebagai salah satu objek kajian stilistika. Namun pada dasarnya setiap jenis karya sastra dapat dikaji dengan stilistika. Jenis-jenis karya sastra tersebut memiliki bagian-bagian yang penting dalam setiap unsur dan pembahasannya.


DAFTAR PUSTAKA
Aminnuddin. 1997. Stilistika, Pengantar Memahami Karya Sastra. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.

Anwar, Chairil. 2010. Aku ini Binatang Jalang. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodelogi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.

Nurhayati. 2008. Teori dan Aplikasi Stilistika. Penerbit Unsri.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika, Kajian Puitika Bahasa, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tarigan, HG. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Wellek, R dan Warren, A. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.


(Sumber artikel: http://nenggelisfransori.wordpress.com

------------------------------------------------------------------
Download makalah: Kajian Stilistika Puisi "Kepada Peminta-minta" Karya Chairil Anwar


Resume Buku "Teori Pengkajian Fiksi" Burhan Nurgiyantoro


Download Resume Buku 
"Teori Pengkajian Fiksi" Burhan Nurgiyantoro:

  1. Judul : Teori Pengkajian Fiksi 
  2. Penulis : Burhan Nurgiyantoro
  3. Penerbit : Gadjah Mada University Press.
  4. Edisi dan Tahun terbit : Edisi 7 tahun 2007
  5. Kota terbit : Yogyakarta
  6. Tebal buku : 345 halaman

BAB I
FIKSI : SEBUAH TEKS PROSA NARATIF

1.Fiksi : Pengertian dan Hakikat
Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (naratif text) atau wacana naratif (naratif discource) (dalam pendekatan strukural dan semiotik). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita khayalan. Hal ini disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abrams, 1981: 61). 
Istilah fiksi sering digunakan dalam pertentangannya dengan rrealitas –sesuatu yang benar ada dan terjadi di dunia nyata sehingga kebenaranya pun dapat dibuktikan dengan data empiris. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajinatif, sedang pada karya nonfiksi bersifat faktual. Fiksi menurut Altenbernd dan lewis (1966: 14), dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia. 
Fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tangung jawab dari segi kreatifitas sebagai karya seni. Fiksi menawarkan “model-model” kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang sekaligus menunjukkan sosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan. Membaca sebuah karya fiksi berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan estetik (Wellek & Warren, 1956: 212).

Dunia fiksi jauh lebih banyak mengandung berbagai kemungkinan daripada yang ada di dunia nyata. Hal itu wajar saja terjadi mengingat betapa kreatifitas pengarang dapat bersifat “tak terbatas” (ingat licentia poetica). Weellek & Warren (1989: 278) mengemukakan bahwa realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang menyakinkan yang ditampilkan, namun tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari. Dalam dunia teori dan kritik sastra dikenal adanya teori yang menghubungkan karya sastra dengan semesta, dengan dunia nyata. 
Teori yang dimaksud adalah teori mimetik, sebuah teori klasik yang berasal dari Plato dan Aristoteles, yaitu yang dikenal dengan teori imitasinya. Adanya ketegangan yang terjadi karena hubungan antara kebenaran faktual dengan kebenaran imajinatif, sebenarnya , juga bersumber dari pandangan Aristoteles, yaitu bahwa karya satra merupakan panduan antara unsur mimetik dan kreasi, peniruan, kreatifitas, khayalan, dan realitas. Fiksi juga karya satra paada umumnya, menurut pandangan strukturalisme, pada hakekatnya merupakan karya cipta yang baru, yang menampilkan dunia alam bangun kata dan bersifat otonom.

2. Pembedaan Fiksi
a. Novel dan Cerita Pendek

Novel (Inggris: novel) dan cerita pendek (disingkat cerpen; Inggris: short story) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembanganya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi, dengan demikian pengertian fiksi seperti dikemukakan di atas, juga berlaku untuk novel.
Perbedaan antara novel dengan cerpen yang pertama (dan yang terutama) dapat dilihat dari segi formalitas bentuk, segi panjang cerita. Edgar Allan Poe (Jassin 1961: 72), yang sastrawan kenamaan dari amerika itu, mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam –suatu hal yang kiranya tak mungkin di lakukan untuk sebuah novel.

Unsur-unsur pembangun sebuah novel seperti, plot, tema, penokohan, dan latar, secara umum dapat dikatakan bersifat lebih rinci dan kompleks daripada unsur-unsur cerpen.

Roman dan Novel
Akhirnya perlu juga dikemukakan bahwa dalam kesastraan Indonesia di kenal juga istilah roman.istilah ini juga banyak dijumpai dalam berbagai kesastraan di Eropa. Dalam sastra (bahasa) Jerman misalnya, ada istilah bildungsroman dan erziehungsroman yang masing-masing berarti ‘novel of information’ dan’ novel of education” (Abrams, 1981: 121). Novel bersifat realistis sedang romansa puitis dan epik. Novel lebih mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang mendalam. 
Romansa yang merupakan kelanjutan epik dan romansa abad pertengahan, mengabaikan kepatuhan pada detil (Wellek & Warren, 1989: 282-3) sebenarnya roman itu sendiri lebih tua daripada novel (Frye, dalam Stevick, 1967: 33-6). Roman yang masuk ke Indonesia kabur pengertianya dengan novel. Roman mula-mula berarti cerita yang ditulis dalam bahasa roman, yaitu bahasa rakyat Perancis di abad pertengahan, dan masuk ke Indonesia lewat kesastraan Belanda (buku-buku yang dirujuk Jassin (1961) sehubungan dengan masalah ini yang akan dirujuk pada pembicaraan berikut semua ditulis orang (dan dalam bahasa) Belanda.

b. Novel serius dan Novel popular
Novel popular adalah novel yang popular pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah aktual dan selalu menjaman, namun hanya sampai tingkat permukaan. Sastra popular adalah perekam kehidupan, dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalamanya itu.
Novel serius di pihak lain, justru”harus” sanggup memberikan yang serba berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang satra. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita (Stanton, 1965: 2). Berhubung novel populer lebih mengejar selera pembaca, komersial, ia tak akan menceritakan sesuatu yang bersifat serius sebab hal itu dapat berarti akan berkurangnya jumlah penggemarnya. 
Masalah percintaan banyak juga diangkat ke dalam novel serius, namun ia bukan satu-satunya masalah yang penting dan menarik untuk diungkap, masalah kehidupan amat komplek, bukan sekedar cinta asmara, melainkan juga hubungan sosial, ketuhanan, maut, takut, cemas, dan bahkan masalah cinta itu pun dapat ditujukan terhadap berbagai hal, misalnya cinta kepada orang tua, saudara, tanah air, dan lain-lain. 

Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang baru pula. Singkatnya: unsur kebaruan diutamakan. Novel serius mengambil realitas kehidupan ini sebagai model, menuntut pembaca untuk “mengoperasikan” daya intelektualnya, pembaca dituntut untuk ikut merekonstruksikan duduk persoalan masalah dan hubungan antar tokoh.

Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca, dan memang, pembaca novel jenis ini tidak (mungkin) banyak. Hal itu tidak perlu dirisaukan benar (walau tentu saja hal itu tetap saja memprihatinkan).

3. Unsur-Unsur Fiksi
Sebuah karya fiksi yang jadi, merupakan sebuah bangun cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Wujud formal fiksi itu sendiri ”hanya” berupa kata, dan kata-kata. Karya fiksi dengan demikian, menampilkan dunia dalam kata, bahasa. Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian unsur-unsur, yang paling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan.

a. Intrinsik dan Ekstrinsik
Unsur-unsur pembangun sebuah novel– yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas itu– disamping unsur formal bahasa, masih banyak lagi macamnya. Pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik, kedua unsur inilah yang sering banyak disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan atau membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya.

Unsur Intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya satra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar karya satra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya satra. Unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting. Wellek & Warren (1956). 
Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud (Wallek & Warren, 1956: 75-135) antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. 
Pendek kata, unsur biografi penagarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifitasnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Pembagian unsur intrinsik struktur karya satra yang tergolong tradisioanal adalah pembagian berdasarkan unsur bentuk dan isi –sebuah pembagian dikotomis yang sebenarnya diterima orang dengan agak keberatan.

b. Fakta, Tema, dan Sarana Cerita
Stanton (1965: 11-36) membedakan unsur pembangun sebuah novel ke dalam tiga bagian : fakta, tema, dan sarana pengucapan (sastra). Fakta (facts) dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, dan setting. Ketiganya merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan, peristiwanya, eksistensinya dalam sebuah novel. Oleh karena itu, ketiganya dapat pula disebut sebagai struktur faktual (factual structure) atau derajat faktual (factual level) sebuah cerita. 


Tema adalah suatu yang menjadi dassar cerita. Sarana pengucapan sastra, sarana kesastraan (literary device) adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna. Macam sarana kesastraan yang dimaksud antara lain berupa sudut pandang penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme, dan ironi. Setiap novel akan memiliki tiga unsur pokok, sekaligus merupakan unsure terpenting, yaitu tokoh utama, konflik utama, dan tema utama.

c. Cerita dan Wacana
Selain pembedaan unsur fiksi seperti di atas, menurut pandangan strukturallisme, unsur fiksi (juga disebut teks naratif), dapat dibedakan ke dalam unsur cerita (story content) dan wacana (discource, expression). Pembedaan tersebut ada kemiripannya dengan pembedaan tradisional yang berupa unsur bentuk dan isi di atas. Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif, sedang wacana merupakan bentuk dari suatu (baca: cerita ,isi) yang diekspresikan (Chatman, 1980: 23). Wacana di pihak lain merupakan sarana untuk mengungkap isi atau secara singkat dapat dikatakan cerita apa yang dilukiskan dalam teks naratif itu. 
Sedang wacana adalah bagaimana cara melukiskan (Chatman, 1980: 19). Pembedaan unsur teks naratif ke dalam dua golongan itu juga dilakukan oleh kaum formalis Rusia, yaitu yang membedakan jenis dalam unsur fable (fibula) dan sujet (sjuzet). Fable merupakan aspek material (dasar) cerita keseluruhan peristiwa yang diungkapkan dalam teks naratif yang ingin disampaikan kepada pembaca. 
Sujet yang disebut juga plot adalah urutan peristiwa seperti terlihat dalam teks itu. Yang mungkin berupa urutan kronologis-normal (urut dari awal hingga akhir, a-b-c), mungkin bersifat sorot balik “flash-back” (mendahulukan peristiwa yang kemudian, c-b-a), atau mungkin bersifat in medias res (mulai dari peristiwa-konflik yang telah menegang, b-a-c).


BAB II
KAJIAN FIKSI

1. Hakikat Kajian Fiksi
Dalam rangka memahami dan mengungkap “sesuatu” yang terdapat di dalam karya sasra, dikenal adanya istilah heuristik (heuristic) dan hermeunitik (hermeneuitic). Heuristik dan pembacaan hermeneuitik biasanya dikaitkan dengan pendekatan semiotik (lihat Riffatere, 1980: 4-6). Hubungan antara heuristik dengan hermeneuitik dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan pembacaan dan atau kerja hermeneuitik yang oleh Riffaterre disebut juga sebagai pembacaan retroaktif memerlukan pembacaan berkali-kali dan kritis. 
Kerja heuristik menghasilkan pemahaman makna secara harfiah, makna secara tersurat, actual meaning, namun, dalam banyak kasus karya sastra, makna yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang justru diungkapkan hanya secara tersirat dan inilah yang disebut sebagai makna intensional, intentional meaning. Hermeneuitik, menurut Teeuw (1984: 123), adalah ilmu atau tehnik memahami karya satra dan diungkapkan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya.

Cara kerja hermeneutik untuk penafsiran karya sastra, menurut Teuw (1984: 123) dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya, dan sebaliknya pemahaman unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya. Dari sinilah kemudian muncul istilah lingkaran hermeneutik (hermeneutic circle). Cara kerja tersebut dilandasi suatu asumsi bahwa karya fiksi yang merupakan sebuah totalitas dan kebulatan makna itu dibangun secara koherensif oleh banyak unsur intrinsik. 
Selain itu karya fiksi apalagi yang panjang, biasanya terdiri dari bagian-bagian dan tiap bagian itu akan menawarkan makna tersendiri walau dalam lingkup yang lebih terbatas. Dengan demikian, disamping terdapat makna (intensional) secara keseluruhan, ada juga makna (intensional) yang didukung oleh tiap bagian karya yang bersangkutan. (Sebagai bahan perbandingan, di samping terdapat tema utama, sebuah karya fiksi juga sering menampilkan sejumlah tema tambahan yang lain).

2. Kajian Struktural
Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan strukturalisme Praha. Ia mendapatkan pengaruh langsung dari teori Saussure yang mengubah studi lingustik dari pendekatan diakronik ke sinkronik. Studi lingustik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya, melainkan pada hubungan antar unsurnya. 
Sebuah karya sastra, fiksi, atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangun)-nya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams, 1981: 68).

Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendiskripsikan fungsi hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Dengan demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsuur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. 
Analisis struktural tak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah fiksi, misalnya peristiwa plot, tokoh, latar atau yang lain. Namun yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, dan relasi intertekstual (Hartoko & Rahmanto, 1986: 126). Analisis unsur-unsur mikroteks itu misalnya berupa analisis kata-kata dalam kalimat, atau kalimat-kalimat dalam alinea atau konteks wacana yang lebih besar.

3. Kajian Semiotik
Semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Hoed,1992: 2). Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi, yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini –walau harus diakui bahwa bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna . Perkembangan teori semiotik hingga dewasa ini dapat dibedakan ke dalam dua jenis semiotika, yaitu semiotik komunikasi dan semiotik signifikasi. Semiotik komunikasi menekankan diri pada teori produksi tanda, sedangkan semiotik signifikasi menekankan pemahaman, dan atau pemberian makna, suatu tanda.

a.Teori Semiotic Peirce
Teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda –yang disebutnya sebagai representamen– haruslah mengacu (atau mewakili) sesuatu yang disebutnya sebagai objek (acuan, ia juga menyebutnya sebagai designatum, detotatum, dan dewasa ini orang menyebutnya dengan istilah referent). Proses pewakilan tanda terhadap acuannya terjadi pada saat tanda itu ditafsirkan dalam hubunganya dengan yang diwakili. Hal itulah yang disebutnya sebagai interpretant, yaitu pemahaman makna yang timbul dengan kognisi (penerima tanda) lewat interpretasi. 
Proses pewakilan itu disebut semiosis. Semiosis adalah suatu proses dimana suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu mewakili sesuatu yang ditandainya (Hoed, 1992: 3). Proses semiosis yang menuntut kehadiran bersama antara tanda objek dan interpretant itu oleh Peirce disebut sebagai triadic. Preice membedakan hubungan antara tanda denagn acuannya ke dalam tiga jenis hubungan, yaitu (1) ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan, (2) Indeks, jika ia berupa hubungan kedekatan eksistensi , dan (3) simbol , jika ia berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi (Abram, 1981: 172; van Zoes, 1992: 8-9).

b. Teori Semiotik Saussure
Teori Saussure sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum, maka istilah-istilah yang dipakai (oleh para penganutnya pun) untuk bidang kajian semiotik meminjam dari istilah-istilah dan model linguistik. Bahasa sebagai sebuah sistem tanda menurut Saussure, memiliki dua unsure yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda. Wujud significant (penanda) dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedang signifie (petanda) adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut (Abrams, 1981: 171).
Menurut Todorov (1985: 12), kajian dikelompokkan berdasarkan aspek verbal, sintaksis, dan semantik, sedang menurut kaum formalis Rusia dibedakan ke dalam wilayah kajian stilistika, komposisi, dan tematik. Kajian semiotik karya sastra, dengan demikian dapat dimulai dengan mengkaji kebahasaannya dengan menggunakan tataran-tataran seperti dalam studi linguistik.

Salah satu teori Saussure yang dipergunakan secara luas di bidang kesastraan adalah konsep sintagmatik dan paradigmatik dalam sebuah wacana, kata-kata saling berhubungan dan berkesinambungan sesuai dengan sifat liniaritas bahasa, dan tidak mungkin orang melafalkan dua unsur sekaligus. Di pihak lain, di luar wacana, kata-kata yang mempunyai kesamaan berasosiasi dalam ingatan dan menjadi bagian kekayaan tiap individu dalam bentuk langue. Hubungan yang bersifat linier itu disebut hubungan sintagmatik, sedang hubungan asosiatif itu disebut hubungan paradigmatik.
Hubungan sintagmatik dan paradigmatik dapat atau sering diterapkan pada kajian fiksi ataupun puisi. Berhadapan dengan sebuah karya fiksi, kita akan melihat adanya hubungan antara penanda dengan petanda yang jumlahnya amat banyak. Pertama, kita akan melihat aspek formal karya itu yang berupa deretan kata, kalimat, alinea, dan seterusnya membentuk sebuah teks yang utuh. Hubungan tersebut adalah hubungan antara penanda dan petanda, hubungan antara unsur-unsur yang hadir secara bersama. Karena baik kata, kalimat, alinea maupun yang lain dapat dilihat kehadirannya dalam teks itu, hubungan iitu juga sering disebut sebagai hubungan in praesentia.

Tiap aspek formal, kata, kalimat, tersebut pasti berhubungan dengan aspek makna sebab tidak mungkin kehadiran aspek formal (bahasa) itu tanpa didahului oleh kehadiran konsep makna. Hubungan sintagmatik dipergunakan untuk menelaah struktur karya dengan menekankan urutan satuan-satuan makna karya yang analisis. Hubungan sintagmatik adalah hubungan yang bersifat linear, hubungan konfigurasi, peristiwa, atau tokoh. Tiap satuan cerita juga disebut sekuens, dapat terdiri dari sejumlah motif (satuan makna, biasanya berisi satu peristiwa) dalam kajian karya fiksi tiap satuan cerita dan motif diberi simbol-simbol atau notasi-notasi tertentu. 
Menurut Barthes (Zaimar, 1991: 16) satuan cerita mempunyai dua fungsi: fungsi utama dan fungsi katalisator. Satuan fungsi utama yang sebagai fungsi utama adalah berfungsi menentukan jalan cerita (plot), sedang yang sebagai katalisator berfungsi menghubungkan funfsi-fungsi utama itu. Hubungan paradigmatik di pihk lain merupakan hubungan makna dan perlambangan, hubungan asosiatif, pertautan makna, antara unsur yang hadir dengan yang tidak hadir. Dengan demikian kajian paradigmatik dalam sebuah karya fiksi berupa kajina tentang tokoh, perwatakan tokoh, hubungan antartokoh, suasana, gagasan, hubungannya dengan latar, dan lain-lain. Dasar kajian ini adalah konotasi asosiasi-asosiasi yang muncul dalam pikiran pembaca.

4. Kajian Inertekstual
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji. Tujuan kajian intertekstual itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut maslah ada dan tidaknya hubungan antarteks dan kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. 
Dalam kaitan ini Luxemburg dkk (1989: 10), mengartikan intertekstualitas sebagai: kita menulis dan membaca dalam suatu interteks suatu tradisi budaya, sosial dan sastra, yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapanpun karya ditulis ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastrsaan yang ditulis sebelumnya.

5. Dekonstruksi
Model pendekatan dekonstruksi ini dalam bidang kesastraan khususnya fiksi, dewasa ini terlihat banyak diminati orang sebagai salah satu model atau alternatif dalam kegiatan pengkajian kesastraan. Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara membaca sebuah teks yang menumbangkan anggapan (walau hal itu hanya secara implisit) bahwa sebauh teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah menentu (Abrams, 1981: 38). 


Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memilki makna yang pasti, tertentu, dan konstan, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada ungkapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang dipergunakan untuk membahasakan objek yang bermakna tertentu dan pasti. 
Mendekonstruksi sebuah wacana (kesastraan), dengan demikian adalah menunjukkan bagaimana meruntuhkan filososif yang melandasinya atau beroposisi secara hierarkhis terhadap sesuatu yang menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk operasional retorika yang ada dalam teks itu yang memproduksi dasar argument yang merupakan konsep utama (Culler, 1983: 86). Paham dekonstruksi mula-mula dikembangkan oleh seorang filosofis Perancis, Jacques Derrida, dan kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh seperti Paul de Man, J Hills Militer, dan bahkan juga Levy-Strauss.


BAB III
TEMA

1. Hakikat Tema
Tema (theme), menurut Stanton (1965: 20) dan Kenny (1966: 88) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu. Atau jika berbagai makna itu dianggap sebagai bagian-bagian tema, sub-subtema atau tema-tema tambahan, makna yang manakah dan bagaimanakah yang dianggap sebagai makna pokok sekaligus tema pokok novel yang bersangkutan. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sabagi struktur semantik dan yang menyangkut persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 142). 
Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak secara sengaja disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita dengan sendirinya ia akan tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya. 
Eksistensi atau kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita, dan inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan pelukisan secara langsung tersebut. Penafsiran tema (utama) diprasyarati oleh pemahaman cerita secara keseluruhan. Pengertian tema menurut Stanton (1965: 21) yaitu makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose). Tema denang demikian dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel.

2. Tema: Mengangkat Masalah Kehidupan
Masalah hidup dan kehidupan yang dihadapi dan dialami manusia amat luas dan kompleks, seluas dan sekompleks permasalahan kehidupan yang ada. Walau permasalahan yang dihadapi manusia tidak sama, ada masalah-masalah kehidupan tertentu yang beresifat universal. 


Novel, yang dapat di pandang sebagai hasil dialog, mengangkat dan mengungkapkan kembali berbagai permasalahan hidup dan kehidupan tersebut setelah melewati penghayatan yang intens, seleksi subjektif dan diolah dengan daya imajinatif, kreatif oleh pengarang ke dalam bentuk dunia rekaan. Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-sub tema kedalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan dan aksi interaksinaya dengan lingkungan. 
Tema sebuah karya satra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan. Pemilihan tema-tema tertentu ke dalam sebuah karya, sekali lagi bersifat subjektif: masalah kehidupan manakah yang paling menarik perhatian pengarang sehingga merasa terdorong untuk mengungkapkannya ke dalam bentuk karya. 

Fiksi menawarkan suatu kebenaran yang sesuai dengan keyakinan dan tanggung jawab kreativitas pengarang dan itu mungkin tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan kebenaran di dunia nyata. Masalah kebenaran di sini ada kaitannya dengan cara “pembenaran” sesuatu, baik ia berupa peristiwa, konflik, perwatakan tokoh, hubungan tokoh, maupun unsur-unsur lain yang terkait.

3. Tema dan Unsur Cerita yang Lain
Tema dalam sebuah karya saatra, fiksi, hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyuluruhan. Bahkan sebenarnya eksistensi tema itu sendiri amat tergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu di sebabkan tema, yang notabene “ hanya” berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, tak mungkin hadir tanpa unsure bentuk yang menampungnnya. 
Tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara langsung, melainkan “hanya” secara implisit melalui cerita. Di pihak lain, unsur-unsur tokoh (dan penokohan), plot (dan pemplotan), latar (dan pelataran), dan cerita, dimungkinkan menjadi padu dan bermakna jika diikat oleh sebuah tema. 
Tema bersifat memberi koherensi dan makna terhadap keempat unsur tersebut dan juga berbagai unsur fiksi yang lain. Tokoh-tokoh cerita, khususnya tokoh utama, adalah pembawa dan pelaku cerita, pembuat, pelaku, dan penderita peristiwa-periatiwa yang diceritakan. Plot, di pihak lain, berkaitan erat dengan tokoh cerita, plot pada hakikatnya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh dan peristiwa apa yang terjadi yang dialami tokoh (Kenny, 1966: 95).
Latar merupakan tempat, saat, dan keadaan sosial yang menjadi wadah tempat tokoh melakukan dan dikenai sesuatu kejadian. Latar bersifat memberikan “aturan” permainan terhadap tokoh. Latar akan mempengaruhi tingkah laku dan cara berfikir tokoh dan karenanya akan mempengaruhi pemilihan tema. 

Kehadiran berbagai unsur intrinsik dalam karya fiksi dimaksudkan untuk membangun cerita. Jadi, sama halnya dengan tema, eksistensi cerita pun tergantung kehadiran unsur-unsur lain yang mendukungnya. Namun, tema tidak sama dengan cerita. Tema merupakan dasar (umum) cerita dan cerita disusun dan dikembangkan berdasarkan tema. Tema mengikat pengembangan cerita. Atau sebaliknya, cerita yang dikisahkan haruslah mendukung penyampaian tema.

4. Penggolongan Tema
a. Tema tradisional dan Nontradisional

Tema tradisional dapat dimaksudkan sebagai tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan berbagai cerita, termasuk cerita lama. Pernyataan-pernyatan tema yang dapat dipandang sebagai bersifat tradisional itu, misalnya berbunyi:

  1. kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan,
  2. tindak kejahatan walau ditutup-tutupi akan terbongkar juga
  3. tindak kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya
  4. cinta yang sejati menuntut pengorbanan
  5. kawan sejati adalah kawan di masa duka
  6. setelah menderita orang baru mengingat Tuhan
  7. berakit-rakit dahulu berenang ke tepian dan sebagainya. 
Tema-tama tradisional, walau banyak variasinya, boleh dikatakan selalu ada kaitannya denngan masalah kebenaran dan kejahatan ( Meredith &fitzgerald, 1972: 66).

Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja mengangkat sesuatu yang tidak lazim, dikatakan sesuatu yang bersifat nontradisional. Tema yang demikian, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan atau berbagai reaksi afektif yang lain. Berhadapan dengan cerita fiksi, pada umumnya orang mengharapkan yang baik, yang jujur, yang bercinta, atau semua tokoh yang digolongkan sebagai protagonis, akhirnya mengalami kemenangan kejayaan. Novel Kemelut Hidup karya Ramadhan K.H, misalnya menampilkan tema yang bersifat melawan arus tersebut, kejujuran yang justru menyebabkan kehancuran.

b. Tingkatan Tema Menurut Shipley
Shipley (1962: 417) membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan semuanya ada lima tingkatan berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa.

Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan. Kedua, tema tingkat organik manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. 
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, objek pencarian tema. Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Disamping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Kelima, tema tingkat devine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya.


c. Tema Utama dan Tema Tambahan
Makna cerita dalam sebuah karya fiksi novel mungkin saja lebih dari satu atau lebih tepatnya lebih dari satu interpretasi. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya kita untuk menentukan tema pokok cerita atau tema mayor, artinya makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan cerita bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu saja. Makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita dapat diidentifikasi sebagai makna bagian makna tambahan. 
Makna-makna tambahan inilah yang dapat disebut sebagai tema-tema tambahan atau tema minor. Makna-makna tambahan bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari makna pokok cerita yang bersangkutan berhubung sebuah novel yang jadi merupakan satu kesatuan. Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna khusus, makna-makna tambahan yang terdapat pada karya itu. Atau sebaliknya makna-makan tambahan itu bersifat mendukung dan atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita.

5. Penafsiran Tema
Dalam usaha menentukan penafsiran tema sebuah novel, secara lebih khusus dan rinci, Stanton (1965: 22-3) mengemukakan adanya sejumlah kriteria sebagai berikut:

  1. Penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol.
  2.  Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detail cerita.
  3. Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam novel yang bersangkutan.
  4. Penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita.


BAB IV
CERITA


Membaca sebuah karya fiksi, novel maupun cerpen, pada umumnya yang pertama-tama menarik perhatian orang adalah ceritanya. Faktor cerita inilah terutama yang mempengaruhi sikap dan selera orang terhadap buku yang akan, sedang, atau sudah dibacanya. Cerita dan plot merupakan dua unsur fiksi yang amat erat berkaitan sehingga keduanya, sebenarnya, tak mungkin dipisahkan. Bhkan lebih dari itu, obyek pembicaraan cerita dan plot boleh dikatakan sama: peristiwa.

Cerita dan pokok permasalahan (subject matter) merupakan suatu hal (baca: permasalahan hidup dan kehidupan) yang diangkat kedalam cerita sebuah karya fiksi. Isi cerita adalah sesuatu yang dikisahkan dalam sebuah karya fiksi. Ia telah menjadi bagian integral dengan karya yang bersangkutan dan berkaitan erat dengan aspek bentuk. 
Pokok permasalahan kehidupan yang diangkat dalam cerita fiksi yaitu kenyataan kehidupan terdapat berbagai persoalan yang sering dihadapi manusia, misal permasalahan antarmanusia, sosial, hubungan dengan Tuhan, dengan lingkungan, dengan diri sendiri, dsb. Pengarang fiksi adalah seorang pelaku sekaligus pengamat berbagai permasalahan hidup dan kehidupan yang berusaha mengungkap dan menyangkutkannya ke dalam sebuah karya.

Isi cerita adalah sesuatu yang dikisahkan dalam sebuah karya fiksi. Pokok permasalahan akan tetap eksis walau ia tak pernah diangkat untuk dijadikan cerita. Dalam sebuah karya fiksi sering dijumpai peristiwa-peristiwa dan permasalahan yang diceritakan, karena kelihaian dan kemampuan imajinasi pengarang, tampak konkrit dan seperti benar-benar ada dan terjadi. Tulisan dengan data faktual. Tulisan yang dibuat berdasarkan data dan atau informasi faktual, misalnya, adalah tulisan berita sebagaimana halnya yang biasa dilakukan wartawan untuk surat kabar.


BAB V
PEMPLOTAN

1. Hakikat Plot dan Pemplotan

Stanton (1965: 14), mengemukakan plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kenny (1966: 14), mengemukan plot sebagai peristiwa-peristiwayang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.

Penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri dari urutan waktu saja belum merupakan plot, agar menjadi suatu plot maka peristiwa-peristiwa tadi harus diolah dan disiasati secara kreatif. Sehingga hasil pengolahan dan penyiasatan itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan.

2. Peristiwa, Konflik, dan Klimaks
Peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot cerita. Eksistensi plot itu sendiri sangat ditentukan oleh ketiga unsur tersebu.
a. Peristiwa
Sejauh ini telah berkali-kali disebut istilah peristiwa dan atau kejadian dalam pembicaraan tentang fiksi, namun belum dikemukakan apa sebenarnya peristiwa itu. Peristiwa kaitan adalah peristiwa-peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-peristiwa penting (baca:peristiwa fungsional) dalam pengurutan penyajian cerita (atau: secara plot).

b. Konflik
Konflik (conflict), yang notabene adalah kejadian yang tergolong penting (jadi, ia akan berupa peristiwa fungsional, utama, atau kernel), merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot. Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek&Warren, 1989:285).

c. Klimaks
Konfliks dan klimaks merupakan hal yang amat penting dalam struktur plot, keduanya merupakan unsur utama plot pada karya fiksi. Klimaks menurut Stanton (1965: 16), adalah saat konflik telah mencapai tingkat itensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya.

3. Kaidah Pemplotan
Kaidah-kaidah pemplotan yang dimaksud meliputi masalah plausibilitas (plausibility), adanya undur kejutan (surprise), rasa ingin tahu (suspense), dan kepaduan (unity) (Kenny, 1966: 19-22).
a. Plausibilitas
Plausibilitas menyaran pada pengertian suatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita.plot sebuah cerita haruslah memiliki sifat plausibel, dapat dipercaya oleh pembaca.

b.Suspense
Jika suspense dipandang mampu memotivasi, menarik, dan mengikat pembaca, ia haruslah dijaga terus-menerus “keberadaannya” dalam sebuah cerita.

c. Surprise
Plot sebuh cerita yang menarik, disamping mampu membangkitkan suspense, rasa ingin tahu pembaca, juga mampu memberikan surprise, kejutan, sesuatu yang bersifat mengejutkan.

d. Kesatupaduan
Plot sebuah karya fiksi, disamping hendaknya memenuhi kaidah-kaidah di atas, terlebih lagi harus memiliki sifat kesatupaduan, keutuhan.

4. Penahapan Plot
Awal peristiwa yang ditampilkan dalam karya fiksi seperti disinggung di atas, mungkin saja langsung berupa adegan-adegan yang tergolong menegangkan.
a. Tahapan Plot: Awal-Tengah-Akhir
Tahap awal. Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi seju,lah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya.

Tahap tengah. Tahap tengah cerita yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakinmenegangkan.

Tahap akhir. Tahap akhir sebuah cerita. Atau dapat juga disebut sebagai tahap pelarian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks.

b. Tahap Plot

  1. Tahap situation: tahap penyituasian, berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar atau tokoh-tokoh cerita. 
  2. Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan.
  3. Tahap rising action: tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.
  4. Tahap climax: tahap klimaks, konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpalkan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak.
  5. ahap denouement: tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan.
c. Diagaram Struktur Plot
Tahap-tahap pemplotan seperti diatas dapat juga digambarkan dalam bentuk (gambar) diagram. Diagram struktur yang dimaksud, biasanya, didasarkan pada urutan kejadian dan atau konflik secara kronologis.

5. Pembedaan Plot
a. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu
Ada beberapa macam yaitu:

  1. Plot lurus/progresif. Jika peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis. 
  2. Plot sorot balik/flash-back. Tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, mungkin dari tahap tengah atau tahap akhir.
  3. Alur campuran

b. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah
Plot tunggal. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya hanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis yang sebagai hero.

Plot sub-subplot. Sebuah karya fiksi dapatb saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya.

c. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan
Plot padat. Disamping cerita disajikan secara tepat, peristiwa-peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul dengan cepat, hubungan antar peristiwa juga terjalin secara erat, dan pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus-menerus mengikutinya.

Plot longgar. Dalam novel yang berplot longgar, pergantian peristiwa demi peristiwa penting berlangsung lambat disamping hubungan antar peristiwa tersebutpun tidaklah erat benar.

d. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi

  1. Plot peruntungn 
  2. Plot tokohan
  3. Plot pemikiran


BAB VI
PENOKOHAN

1.Unsur Penokohan Dalam Fiksi

Sama halnya dengan unsur plot dan pemplotan, tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Seperti dikatakan oleh Jones (1968: 33), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Fiksi adalah suatu bentuk karya kreatif mka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas dari kebebasan kreatifitasnya.


Penokohan merupakan bagian, unsur, yang bersama dengan unsur-unsur yang lain membentuk suatu totalitas.penokohan dan pemplotan. Dalam kehidupan sehari-hari manusia, sebenarnya, tak ada plot. Plot merupakan suatu yang bersifat artifisial. Berhadapan dengan tokoh-tokoh fiksi, pembaca sering memberikan reaksi emotif tertentu seperti merasa akrab, simpati, empati, benci, antipati, atau berbagai reaksi afektif lainnya.

2. Pembedaan Tokoh
Tokoh-tokah cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan kedalam beberapa jenis penanaman berdasarkan dari sudut mana penanaman itu dilakukan.
a.Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menetukan perkembangan plot secara keseluruhan.

b.Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Jika dilihat dari peran-peran tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan kedalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

c.Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan kedalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Tokoh bulat, kompleks, berbeda halnya dengan tokoh sederhana adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian, dan jati dirinya.

d.Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel, tokoh dapat dibedakan kedalam tokoh statis, tak berkembang (staticharacter) dan tokoh berkembang (develoving character).

e.Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap (sekelompok) manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan kedalam tokoh tipikal (typical character) dan tokoh netral (neutral character).

3. Teknik Pelukisan Tokoh

Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya atau lengkapnya: pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan jati diri tokoh dapat dibedakan kedalam dua cara atau teknik, yaitu teknik uraian (telling)dan teknik ragaan (showing) (Abrams, 1981:21).

a. Teknik Ekspositoris
Seperti dikemukakan diatas, dalam teknik ekspositori, yang sering juga disebut sebagai teknik analitis, pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi uraian, atau penjelasan secara langsung.

b. Teknik Dramatik
Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik, artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.


BAB VII
PELATARAN

1.Latar Sebagai Unsur Fiksi

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981: 175).

Latar sebuah karya fiksi barang kali hanya berupa latar yang sekedar latar, berhubung sebuah cerita memang membutuhkan landas tumpu, pijakan. Latar netral tak memiliki dan tak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang justru dapat membedakannya dengan latar-latar lain. Unsur latar yang ditekankan perannya dalam sebuah novel, langsung ataupun tak langsung, akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh. 


Pembicaraan di atas sebenarnya telah menunjukkan betapa eratnya kaitan antara latar dan unsur-unsur fiksi yang lain. Latar sebuah karya yang sekedar berupa penyebutan tempat, waktu, dan hubungan sosial tertentu secara umum, artinya bersifat netral, pada umumnya tak banyak berperanan dalam pengembangan cerita secara keseluruhan.

2. Unsur Latar

Unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan.


BAB VII
PENYUDUTPANDANGAN


1.Sudut Pandang Sebagai Unsur Fiksi
Pengertian sekitar sudut pandang. Sudut pandang, poin point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dewasa ini betapa pentingnya sudut pandang dalam karya fiksi tak lagi diragukan orang. 
Sudut pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan. Penyimpangan sudut pandang bukan hanya menyangkut masalah persona pertama atau ketiga, melainkan lebih berupa pemilihan siapa tokoh “dia” atau “aku” itu, siapa yang menceritakan itu, anak-anak, dewasa, orang desa yang tak tahu apa-apa, orang modern, politikus, pelajar, atau yang lain.

2. Macam Sudut Pandang
Sudut pandang dapat banyak macamnya tergantung dari sudut mana ia dipandang dan seberapa rinci ia dibedakan. Friedmen ( dalam stevick, 1967:118) mengemukakan adanya sejumlah pemertanyaan yang jawabnya dapat dipergunakan untuk membedakan sudut pandang.
a. Sudut pandang pesona ketiga: “Dia”
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang pesona ketiga. Narator adalah seseorang yang berada diluar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama,atau kata gantinya :ia, dia, mereka

b. Sudut pandang pesona pertama “aku”

Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang pesona pertama, first person point of view, “aku”, jadi : gaya “aku”. Narator adalah sesweorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self-consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepda pembaca.

c. Sudut pandang campuran

Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya.


BAB IX
BAHASA


1. Bahasa Sebagai Unsur Fiksi
Bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih” dari pada sekedar bahannya itu sendiri. Pada umumnya orang beranggapan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa non sastra, bahasa yang dipergunakan bukan dalam (tujuan) pengucapan sastra. Namun, dalam “perbedaan”-nya itu sendiri tidaklah bersifat mutlak, atau bahkan sulit didefinisikan.

Stile. Stile, (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams, 1981: 190-1). Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan.

Stilistika. Stilistika (stylistics) menyaran pada pengertian studi tentang stile (lecch dan short, 1981: 13), kajian terhadap wujud performansi kebahasaan, khusunya yang terdapat dalam karya sastra. Kajian stilistika itu sendiri sebenarnya dapat ditunjukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa, tak terbatas dalam sastra saja (chapman, 1973: 13), namun biasanya stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra

Stile dan Nada. Nada (tone), nada pengarang (authorial tone) dalam pengertian yang luas, dapat diartikan sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang (tersirat, implied author) terhadap pembaca dan terhadap (sebagian) masalah yang dikemukakan.

2. Unsur Stile
Abrams (1981: 193) mengemukakan bahwa unsur stile terdiri dari unsur fonologi sintaksis, leksikal, retorika (rhetorical), yang berupa karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan dan sebagainya.

Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dengan diksi, yaitu yang mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalimat. Dalam kegiatan komunikasi bahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih penting dan bermakna dari pada sekedar kata walau kegayaan kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh pilihan katanya. Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Ia dapat diperoleh melalui kreatifitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya.

3. Percakapan dalam Novel
Sebuah karya fiksi umum nya dikembangkan dalam dua bentuk penuturan: narasi dan dialog. Kedua bentuk tersebut hadir secara bergantian sehingga cerita yang ditampilkan menjadi tidak bersifat monoton, tersa fariatif, dan segar. Percakapan yang hidup dan wajar, walau hal itu terdapat dalam sebuah nofel, adalah percakapan yang sesuai dengan konteks pamakaiannya, percakapan yang mirip dengan situasi nyata penggunaan bahasa. Salah satu hal yang penting dalam interpretasi percakapan secara pragmatik, konsep yang menghubungkan antara makna percakapan dengan konteks, adalah konsep tindak ujar (speech acts).


BAB X
MORAL


1. Unsur Moral dalam Fiksi
Secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima untuk mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; ahklak, budi pekerti, susila (KBBI: 1994). Karya sastra, fiksi, senantiasa menawarkan pesan moral yang berhuungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Jenis ajaran moral itu sendiri dapt mencakup masalah yang boleh dikatakan, bersifat terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia.

2. Pesan Religius dan Kritik Sosial
Pesan moral yang berwujud moral religius, termasuk didalamnya yang bersifat keagamaan, dan kritk sosial banyak ditemukan dalam karya fiksi atau dalam genresastra yang lain. Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri. Hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga dewasa ini, boleh dikatakan, mengandung unsur pesan kritik sosial walaupun dengan tingkat intensitas yang berbeda.

3. Bentuk Penyampaian Pesan Moral
Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung, atau sebaliknya tak langsung.

Bentuk Penyampaian Langsung. Bentuk penyampaian moral yang bersifat langsung, boleh djkatkan identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan, expositoy.

Bentuk Penyampaian Tidak Langsung. Bentuk penyampaian pesan moral bersifat tidak langsung, pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secaradengan keherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain.