Saturday, September 29, 2012

Bahasa dalam Karya Sastra (Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa Bab 1)

 

Bab I
Pendahuluan


Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena kehidupan itu beraneka ragam baik yang menagndung aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, kemanusiaan, moral, maupun jender.

A. Bahasa Karya Sastra
Bahasa sastra dimanfaatkan oleh sastrawan guna menciptakan efek makna tertentu guna mencapai efek estetik. Bahasa sastra sebagai media ekspresi sastrawan dipergunakan untuk memperoleh nilai seni karya sastra, dalam hal ini berhubungan dengan style ‘gaya bahasa’ sebagai sarana sastra.

Dengan demikian, praktis bahasa menjadi kebutuhan dalam bahasa sastra agar memiliki fungsi estetik yang dominan.


B. Ciri Khas Bahasa Sastra
Bahasa sastra memiliki beberapa ciri antara lain sebagai bahasa emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah yang rasional dan denotatif. Secara rinci, bahasa sastra memiliki sifat antara lain: emosional, konotatif, bergaya (berjiwa), dan ketidaklangsungan ekspresi.

Emosinal, berarti bahasa sastra mengandung ambiguitas yang luas yakni penuh homonim, manasuka atau kategori-kategori tak rasional, bahasa sastra diresapi peristiwa-peristiwa sejarah, kenangan, dan asosiasi-asosiasi. Bahasa konotatif, artinya bahasa sastra mengandung banyak arti tambahan, jauh dari hanya bersifat referensial (Wellek & Werren, 1989: 22-25).

Sifat bahasa sastra yang lain dapat dilihat dari segi gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan bahasa yang digunakan secara khusus untuk menimbulkan efek tertentu, khususnya efek estetis (Pradopo, 1997: 40). Keraf (1991: 113) menegaskan bahwa gaya bahasa disusun untuk mengungkapkan pikiran secara khas yang memperlihatkan perasaan jiwa dan kepribadian penulis. Gaya bahasa itu adalah cara yang khas yang dipakai seorang untuk mengungkapkan diri pribadi (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 137).


Referensi:
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo


Style ‘Gaya Bahasa’ dan Stilistika (Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa Bab 2)

Bab II
Style ‘Gaya Bahasa’ dan Stilistika


A. Style ‘Gaya Bahasa’
Gaya bahasa adalah cara pemakaian bahasa pada karangan, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams, 1981: 190-191).
Menurut Leech; Shoort (1984: 10), style menyaran pada cara pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu.
Gaya bahasa menurut Ratna (2007: 236) adalah keseluruhan cara pemakaian (bahasa) oleh pengarang dalam karyanya. Hakikat style adalah teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang diungkapkan.

Style gaya bahasa adalah cara mengungkapkan gagasan dan perasaan dengan bahasa khas sesuai bdengan kreativitas, kepribadian, dan karakter pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik, atau efek kepuitisan dan efek penciptaan makna. Gaya bahasa dalam karya sastra dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengeploitasi dan memanipulasi potensi bahasa.
Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran. Corak sarana retorika tiap karya sastra itu sesuai dengan gaya bersastranya, aliran, ideologi, dan konsepsi estetik pengarangnya.

B. Stilistika
Stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Stilistika adalah proses menganalisis karya sastra dengan mengkaji unsur-unsur bahasa sebagai medium karya sastra yang digunakan sastrawan sehingga terlihat bagaimana perlakuan sastrawan terhadap bahasa dalam rangka menuangkan gagasannya.
Ratna (2007: 236) menyatakan, stilistika merupakan ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannya. Bagi Simpson (2004: 2), stilistika adalah sebuah metode interpretasi tekstual karya sastra yang dipandang memiliki keunggulan dalam pemberdayaan bahasa.


Referensi:
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo

Fungsi Style ’Gaya Bahasa’ dan Tujuan Stilistika (Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa Bab 3)


Bab III
Fungsi Style ’Gaya Bahasa’ dan Tujuan Stilistika

 
A. Fungsi Style ‘Gaya Bahasa’
Fungsi gaya bahasa dalam karya sastra adalah sebagai alat untuk:

  1. Meninggikan selera, artinya dapat meningkatkan minat pembaca/pendengar untuk mengikuti apa yang disampaikan pengarang/pembicara. 
  2. Mempengaruhi atau meyakinkan pembaca/pendengar, artinya dapat membuat pembaca semakin yakin dan mantap terhadap apa yang disampaikan pengarang/pembicara.
  3. Menciptakan keadaan perasaan hati tertentu, artinya dapat membawa pembaca hanyut dalam suasana hati tertentu, seperti kesan baik atau buruk, perasaan senang atau tidak senang, benci, dan sebagainya setelah menangkap apa yang dikemukakan pengarang.
  4. Memperkuat efek terhadap gagasan, yakni dapat membuat pembaca terkesan oleh gagasan yang disampaikan pengarang dalam karyanya.

B. Tujuan Stilistika
Dalam kedudukannya sebagai teori dan pendekatan penelitian karya sastra yang berorientasi linguistik, stilistika mempunyai tujuan sebagai berikut:
  1. Untuk menghubungkan perhatian kritikus sastra dalam apresiasi estetik dengan perhatian linguis dalam deskripsi linguistik, seperti yang dikemukakan oleh Leech & Short (1984: 13). 
  2. Untuk menelaah bagaimana unsur-unsur bahasa ditempatkan dalam menghasilkan pesan-pesan aktual lewat pola-pola yang digunakan dalam sebuah karya sastra (Widdowson, 1979: 202).
  3. Untuk menghubungkan intuisi-intuisi tentang makna-makna dengan pola-pola bahasa dalam teks (sastra) yang dianalisis.
  4. Untuk menuntun pemahaman yang lebih baik terhadap makna yang dikemukakan pengarang dalam karyanya dan memberikan apresiasi yang lebih terhadap kemampuan bersastra pengarangnya (Brooke, 1970: 131).
  5. Untuk menemukan prinsip-prinsip artistik yang mendasari pemilihan bahasa seorang pengarang, sebab setiap penulis memiliki kualitas individual masing-masing (Leech dan Short, 1984: 74).
  6. Kajian stilistika akan menemukan kiat pengarang dalam memanfaatkan kemungkinan yang tersedia dalam bahasa sebagai sarana pengungkapan makna dan efek estetik bahasa (Sudjiman, 1995: 56).

Dalam aplikasinya, kajian stilistika karya sastra ditinjau dari kompleksitasnya terbagi menjadi dua macam. Pertama, kajian stilistika karya sastra difokuskan pada pemberdayaan segenap potensi bahasa melalui ekploitasi dan manipulasi bahasa sebagai tanda-tanda linguistik semata. Tanda-tanda linguistik itu meliputi keunikan dan kekhasan bunyi bahasa, diksi, kalimat, wacana, bahasa figuratif, dan citraan. Kedua, kajian stilistika yang secara lengkap mengkaji pemanfaatan berbagai bentuk kebahasaan yang sengaja diciptakan oleh sastrawan dalam karya sastra sebagai media ekspresi gagasannya.


Referensi:
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo


Bidang Kajian dan Jenis Kajian Stilistika (Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa Bab 4)

Bab IV
Bidang Kajian dan Jenis Kajian Stilistika


Bidang Kajian Stilistika
Menurut Abrams (1981: 192), stilistika kesusastraan merupakan metode analisis karya sastra.


Stilistika dimaksudkan untuk menggantikan kritik sastra yang subjektif dan impresif dengan analisis style teks kesastraan yang lebih bersifat objektif dan ilmiah.
Fitur stilistika (stylistic features) adalah fonologi, sintaksis, leksikal, dan retorika (rhetorical) yang meliputi karaktertistik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dan sebagainya. Leech & Short (1984: 75-80) berpendapat bahwa unsur stilistika (stylistic categories) meliputi unsur leksikal, gramatikal, figure of speech serta kontak dan kohesi.
Menurut Keraf (1991: 112), gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan, yakni pilihan kata (diksi), frase, klausa dan kalimat, serta wacana. Pradopo (2004: 9-14) mengatakan unsur-unsur gaya bahasa itu meliputi intonasi, bunyi, kata, kalimat, dan wacana.

Junus (1989: 8) mengatakan bahwa bidang kajian stilistika meliputi bunyi bahasa, kata, dan struktur kalimat. Sudjiman (1995: 12) mengartikan style sebagai gaya bahasa dan gaya bahasa itu sendiri mencakup diksi, struktur kalimat, majas, citraan, pola rima serta matra yang digunakan seorang pengarang yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Sayuti (2000: 174) menjelaskan bahwa unsur-unsur yang membangun gaya bahasa seorang pengarang dalam karya sastranya pada dasarnya meliputi diksi, citraan, dan sintaksis. Aminuddin (1995: 44) menjelaskan bahwa bidang kajian stilistika dapat meliputi kata-kata, tanda baca, gambar serta bentuk tanda lain yang dapat dianalogikan sebagai kata-kata.

Merujuk pendapat para pakar di atas terutama Abrams, Leech & Short, Pradopo, Sayuti, dan Keraf, kajian stilistika karya sastra dapat dilakukan dengan mengkaji bentuk dan tanda-tanda linguistik yang digunakan dalam struktur lahir karya sastra sebagai media ekspresi pengarang dalam mengemukakan gagasannya.

Unsur-unsur stilistika sebagai tanda-tanda linguistik itu dapat berupa:
  1. Fonem (phonem), pemanfaatan bunyi-bunyi tertentu sehingga menimbulkan orkestrasi bunyi yang indah. 
  2. Leksikal atau diksi (diction)
  3. Kalimat atau bentuk sintaksis
  4. Wacana (discourse)
  5. Bahasa figuratif (figurative language atau figure of speech) yakni bahasa kias
  6. Citraan (imagery) meliputi citraan visual, audio, perabaan, penciuman, gerak, pencecapan, dan intelektual.

Untuk dapat mengungkapkan gagasan atau mengungkapkan gagasan atau makna yang ingin dikemukakan sastrawan melalui karya sastranya, kajian stilistika karya sastra dilakukan dengan menganalisis tiga aspek.
  1. Analisis terhadap latar belakang pemanfaatan bentuk-bentuk dan satuan kebahasaan tertentu sebagai wujud stilistika karya sastra. 
  2. Analisis terhadap fungsi pemanfaatan satuan dan bentuk-bentuk kebahasaan tertentu oleh sastrawan dalam karya sastranya.
  3. Analisis terhadap tujuan pemanfaatan bentuk atau satuan lingual tertentu dalam karya sastra.

Jenis Kajian Stilistiksa
Kajian stilistika meliputi dua jenis yakni stilistika genetis dan stilistika deskriptif (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 138). Stilistika genetis adalah pengkajian stilistika individual sastrawan berupa penguraian ciri-ciri gaya bahasa yang terdapat dalam salah satu karya sastranya atau keseluruhan karya sastranya, baik prosa maupun puisinya. Stilistika diskriptif adalah pengkajian gaya bahasa sekelompok sastrawan atau sebuah angkatan sastra, baik ciri-ciri gaya bahasa prosa maupun puisinya.

Dalam kajian stilistika karya sastra terdapat dua macam pendekatan yaitu, (1) dimulai dengan analisis sistematis mengenai system linguistik karya sastra, dilanjutkan dengan interpretasi tentang ciri-ciri tujuan estetik karya tersebut sebagai makna total, (2) mempelajari sejumlah ciri khas yang membedakan sistem satu dengan yang lain, dengan menggunakan metode pengontrasan.


Referensi:
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo


Stilistika, Estetika, Retrorika, dan Ideologi (Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa Bab 5)

BAB V
Stilistika, Estetika, Retrorika, dan Ideologi

Stilistika mengkaji berbagai fenomena kebahasaan dengan menjelaskan berbagai keunikan dan kekhasan pemakaian bahasa dalam karya sastra berdasarkan maksud pengarang dan kesan pembaca.
Estetika merupakan aspek yang berhubungan dengan keindahan. Ia mempelajari aspek yang memberikan keindahan pada sebuah karya seni, termasuk karya sastra. Retorika lebih dekat dengan masalah penggunaan bahasa, tetapi lebih menekankan akibat atau tujuan penggunaan suatu tuturan (Junus, 1989: 39-41).


Ideologi dalam konteks stilistika lebih diartikan sebagai gagasan dan pandangan hidup pengarang yang berkaitan dengan latar belakang kehidupannya dan situasi yang melahirkan karya sastra.
Dalam mengkaji ideologi pada gaya bahasa, ada dua cara yang dapat ditempuh (Junus, 1989: 192-193). Pertama, ideologi dihubungkan dengan pengarang dan latar belakang masa tertentu. Kedua, ideologi dilihat sebagai fenomena teks itu sendiri yang dapat dikaji secara hermeneutik atau intertekstual.


Referensi:
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo

Style ‘Gaya Bahasa', Ekspresi Pengarang, dan Gagasan (Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa Bab 6)

BAB VI
Style ‘Gaya Bahasa', Ekspresi Pengarang, dan Gagasan

Gaya bahasa merupakan perwujudan gagasan pengarangnya. Bagi Aminuddin (1995), gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya melalui media bahasa yang terwujud dalam bahasa yang indah dan harmonis, meliputi aspek pengarang, ekspresi, dan gaya bahasa.

Setiap pengarang memiliki gaya bahasa masing-masing yang berbeda satu dengan lainnya. Bahkan meskipun mereka berangkat dari gagasan yang sama, bentuk penyampaiannya dalam gaya bahasa senantiasa berbeda.
Dalam karya sastra, hal demikian disebut individuasi yaitu keunikan dan kekhasan seorang pengarang dalam penciptaan yang tidak pernah sama antara yang satu dengan lainnya.


Referensi:
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo

Gaya Bahasa dan Sarana Retrorika dalam Karya Sastra (Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa Bab 12)

BAB XII
Gaya Bahasa dan Sarana Retrorika dalam Karya Sastra


A. Sarana Retorika Berdasarkan Struktur Kalimat
  1. Klimaks. Klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. 
  2. Antiklimaks. Antiklimaks adalah gaya bahasa yang merupakan acuan yang gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. 
  3. Paralelisme. Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama.
  4. Antitesis. Antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan.
  5. Repetisi. Repetisi adalah perulangan bumi suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam konteks yang sesuai.
  6. Aliterasi. Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama.
  7. Asonansi. Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama.
  8. Anastrof. Anastrof adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat.
  9. Apofasis. Merupakan sebuah gaya di mana sebuah penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal.
  10. Apostrof. Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir.
  11. Asindeton. Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung.
  12. Polisideton. Polisideton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton.
  13. Kiasmus. Kiasmus adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya.
  14. Elipsis. Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan oleh pembaca atau pendengar.
  15. Eufemisme. Eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak pergi perasaan orang.
  16. Litotes. Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri.
  17. Histeron Proteron. Semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu ayng terjadi kemudian pada awal peristiwa disebut histeron proteron, juga disebut hiperbaton.
  18. Pleonasme dan Tautologi. Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak dari pada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan.
  19. Parifrasis. Parifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan.
  20. Prolepsis atau Antisipasi. Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang mempergunakan lebih dahuku kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi.
  21. Erotesis atau Pertanyaan Retoris. Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban.
  22. Silepsis dan Zeugma. Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama.
  23. Koreksio atau Epanortosis. Koreksio atau Epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.
  24. Hiperbola. Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
  25. Paradoks. Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
  26. Oksimoron. Oksimoron (okys: tajam, moros: gila, tolol) adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan.

B. Bahasa Figuratif sebagai Sarana Retorika
Adapun sarana retorika yang berupa bahasa figuratif dalam stilistika menurut Keraf (1998; lihat pula Pradopo, 2000) meliputi:
  1. Simile (Persamaan). Persamaan adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu yang sama dengan hal yang lainnya. 
  2. Metafora. Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat.
  3. Alegori, Parabel, dan Fabel. Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Parabel adalah suatu kiasan singkat dengan tokoh-tokoh biasannya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang-binatang bahkan makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia.
  4. Personifikasi. Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.
  5. Alusi. Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa.
  6. Epinom. Epinom adalah suatu gaya bahasa di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan kekuatan.
  7. Epitet. Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau suatu hal.
  8. Sinekdok. Sinekdok adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian sesuatu hal yang menyatakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian.
  9. Metonomia. Metonomia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain.
  10. Anatonomasia. Anatonomasia juga merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdok yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelarresma, atau jabatan untuk menggantikan nama diri.
  11. Hipalase. Hipalase adalah semacam gaya bahasa dengan menggunakan sebuah kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain.
  12. Ironi, Sinisme, Sarkasme. Ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Sinisme adalah sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sarkasme merupakan acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme.
  13. Satire. Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu.
  14. Inuendo. Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyatan yang sebenarnya.
  15. Antifrasis. Antifrasis adalah semaca ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri.
  16. Paranomasi. Paranomasi adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi.

Referensi:
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: Cakra Books Solo