Thursday, March 29, 2012

Analisis Gaya Bahasa pada Cerpen "Terbang" Karya Ayu Utami

Cerita pendek merupakan salah satu karya sastra yang habis dibaca sekali duduk. Menurut Soeharianto (1982), cerpen adalah wadah yang biasanya dipakai oleh pengarang untuk menyuguhkan sebagian kecil saja dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang. 
Cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita tersebut atau sedikit tokoh yang terdapat di dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra itu. Jadi jenis cerita yang pendek belum tentu dapat digolongkan menjadi cerita pendek, jika ruang lingkup permasalahannya tidak memenuhi persyaratan sebagai cerpen.

Di dalam penulisan karya sastra seperti cerpen untuk menyampaikan pikiran pengarang yakni melalui bahasa. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Bahasa yang digunakan di dalam karya sastra cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh atau khas. Penyimpangan penggunaan bahasa dalam karya sastra, menurut Riffaterre (dalam Supriyanto, 2009: 2) disebabkan oleh tiga hal yaitu displacing of meaning (pengganitan arti), dan creating of meaning (perusakan atau penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti). 

Oleh karena banyak penyimpangan arti di dalam karya sastra, maka pengamatan atau pengkajian terhadap karya sastra (cerpen) khususnya dilihat dari gaya bahasanya sering dilakukan. Pengamatan terhadap karya sastra (cerpen) melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis stilistika. 

Salah satu cerpen yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah cerpen Terbang karya Ayu Utami. Cerpen ini menarik untuk dikaji karena mengandung banyak gaya bahasa. Sehingga dari kelebihan itulah disini peniliti menentukan rumusan masalah berdasarkan analisa gaya bahasa yang terdapat dalam cerpen Terbang karya Ayu Utami yang ditinjau dari ilmu stilistika.



TINJAUAN TEORI

1. Definisi Stilistika
Analisis stilistika menaruh perhatian pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Persoalan yang menjadi fokus perhatian stilistika adalah pemakaian bahasa yang menyimpang dari bahasa sehari-hari, atau disebut bahasa khas dalam wacana sastra. Penyimpangan penggunaan bahasa bisa berupa penyimpangan terhaap kaidah bahasa, banyaknya pemakaian bahasa daerah, dan pemakaian bahasa asing atau unsur-unsur asing. Penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan tersebut diduga dilakukan untuk tujuan tertentu.

Pusat perhatian stilistika adalah penggunaan bahasa (gaya bahasa) secara literer dan sehari-hari. Sebagai stylist, seseorang harus mampu menguasai norma bahasa pada masa yang sama dengan bahasa yang dipakai dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan. Misalnya, gaya penataan prosa fiksi (cerpen) berbeda dengan gaya penataan bentuk puisi. Dalam cerpen, selain fokus dalam alur cerita, penulis dapat menggunakan gaya bahasa dan bahasa kiasan agar cerpen yang dihasilkan lebih hidup dan menarik pembaca.

Salah satu cerpen yang sarat dengan gaya bahasa dan bahasa kiasan adalah Cerpen Terbang karya Ayu Utami. Hampir di setiap paragrafnya terdapat gaya bahasa yang menggunakan kata kiasan sehingga pembaca diajak untuk menikmati kalimat demi kalimat, bukan hanya menikmati alur ceritanya saja. Jadi dari kelebihan cerpen inilah peniliti mengambil

2. Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan pengungkapan ide, gagasan, pikiran-pikiran seorang penulis yang meliputi hierarki kebahasaan yaitu kata, frasa, klausa, bahkan wacana untuk menghadapi situasi tertentu. Selain itu gaya bahasa juga sebagai pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan baik secara lisan maupun tulis.

Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas citraan, pola rima, matra yang digunakan sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra. Jadi majas merupakan bagian dari gaya bahasa. Majas merupakan peristiwa pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harfiah (Aminudddin. 1995). Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati pengarang.

Meskipun ada banyak macam gaya bahasa ataupun majas, di dalam analisis ini peniliti hanya menekankan pada kenyataan macam majas yang terdapat dalam cerpen "Terbang" karya Ayu Utami ini. Berikut daftar gaya bahasa yang terdapat dalam cerita.
 a) Alegori
Adalah cara menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran. 

b) Simile
Adalah pengungkapan dengan menggunakan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung seperi layaknya, bagaikan, bagai dan seperti.

c) Metafora
Adalah pengungkapan berupa perbandingan analogis satu hal dengan hal lain, dengan menghilangkan kata-kata seperti, layaknya, bagaikan.

d) Aptronim
adalah pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan.

e) Litotes
Adalah ungkapan berupa mengkecilkan fakta dengan tujuan untuk merendahkan diri.
 
f) Hiperbola
Adalah cara pengungkapan dengan melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan itu menjadi tidak masuk akal.

g) Personifikasi
Adalah cara pengungkapan dengan menjadikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia.

h) Eksklamasio
Adalah ungkapan dengan menggunakan kata seru. Misalnya wah, ahh, ohh, lho, dll.


PEMBAHASAN

1) Hiperbola
Adalah cara pengungkapan dengan melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan itu menjadi tidak masuk akal. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa hiperbola:

  • Lagian, meski persentase lebih kecil pun, kalau kita kena lotre buruk, meledak ya meledak, nyemplung ke laut ya nyemplung ke laut. Itu namanya sial, kalau bukan takdir. (Paragraf 6)
Analisis gaya bahasa hiperbola di atas begitu nampak pada maksud tokoh yang begitu melebih-lebihkan dugaan yang belum dialaminya. Padahal kalau dipikir secara rasional dugaan itu hanyalah sebuah perasaan takut (menghantu-hantui/trauma) yang dialami tokoh hendak naik pesawat terbang.

2) Metafora
Adalah pengungkapan berupa perbandingan analogis satu hal dengan hal lain, dengan menghilangkan kata-kata seperti, layaknya, bagaikan. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa metafora:

  • Statistik mengatakan, moda transportasi pembunuh paling besar adalah lalu lintas darat. Begitu katanya. Kecelakaan maut motor lebih banyak daripada kecelakaan pesawat. Itu statistik. (Paragraf 4)
Analisis metafora pada kutipan cerita di atas nampak pada usaha membandingkan kecelakaan maut motor lebih banyak daripada kecelakaan pesawat hal ini dilakukan pengarang tanpa menggunakan kata-kata seperti, ataupun bagaikan untuk menegaskan gaya bahasa metafora.

3) Personifikasi
Adalah cara pengungkapan dengan menjadikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa personifikasi:

  • Adam Air terbang tanpa alat navigasi. Adam Air jeblug di laut. Mandala jatuh waktu lepas landas. Garuda meledak ketika mendarat. Semua terjadi dalam satu tahun! (Paragraf 6)
Analisis personifikasi pada kutipan cerita di atas terbukti pada usaha penginsanan terhadap benda mati sebagai manusia yang dilakukan pengarang nampak pada nama macam-macam pesawat yang mengalami kecelakaan. Nama macam-macam pesawat itu diibaratkan manusia yang mengalami musibah tanpa adanya dugaan dan perkiraan sebelum musibah menimpa.

4) Simile
Adalah pengungkapan dengan menggunakan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung seperi layaknya, bagaikan, bagai dan seperti. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa simile:

  • Mesin pesawat propeler sudah menyala. Derunya seperti makhluk hidup terkena bronkitis, penyakit yang sudah lama tidak disebut-sebut di negeri ini. (Paragraf 8)
Analisis simile pada kutipan cerita di atas yakni pengarang menggunakan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan menggunakan kata seperti sebagai pengibaratan mesin pesawat yang sudah menyala dengan makhluk hidup yang terkena bronkitis.

5) Litotes

Adalah ungkapan berupa mengkecilkan fakta dengan tujuan untuk merendahkan diri. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa litotes:

  • Aku memandang ke bandara yang kecil, yang lebih pantas disebut rumah besar ketimbang pelabuhan. (Paragraf 7)
Analisis litotes pada kutipan cerita di atas nampak pada pengungkapan berupa mengkecilkan fakta dengan tujuan untuk merendahkan. Hal ini dilukiskan pengarang pada pengungkapan tokoh dalam menilai bandara yang seharusnya berukuran luas dan megah disamarkan berukuran kecil seperti rumah.

6) Alegori
Adalah cara menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa alegori:

  • Seorang peneliti lapangan. Seorang peneliti yang biasa di alam bebas. Di hutan. Bukan di lab. Di goa. Di padang rumput berpasir. Ia mengenakan kaca mata. Perawakannya keras. Otot kedang tangannya tegas. Urat- urat pada lengannya mencuat. (Paragraf 12)
Analisis alegori pada kutipan cerita di atas dilakukan pengarang dengan menggambarkan postur seorang peniliti lapangan dengan menggunakan bahasa kiasan yang alamiah atau berkaitan dengan fenomena yang ada pada seorang peniliti lapangan tersebut.

7) Aptronim
adalah pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa aptronim:

  • Ia memiliki wajah lelaki baik. Lelaki baik adalah lelaki yang tidak tengil atau sesumbar, tidak sok tahu atau menggurui. Meski tidak berarti lelaki baik-baik. (Paragraf 17)
Analisis aptronim pada kutipan cerita di atas nampak pada pemberian nama salah satu tokoh cerita yang cocok dengan sifat atau peringainya. Hal ini dilakukan pengarang dalam pemberian nama pada laki-laki yang memiliki sifat baik.

8) Eksklamasio
Adalah ungkapan dengan menggunakan kata seru. Misalnya wah, ahh, ohh, lho, dll. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa eksklamasio:

  • Ohhh, berhati haluskan dia. “Jadi motret apa?”
Analisis eksklamasio pada kutipan cerita di atas terdapat pada penggunaan kata ‘Ohhh’ sebagai pengungkapan rasa ketakjuban, kagum, atupun heran. Terungkap ketika seseorang melihat ataupun tahu akan sesuatu hal yang baru atau beda.

KESIMPULAN
Dari analisis cerpen "Terbang" karya Ayu Utami yang ditinjau dari ilmu stilistika dapat disimpulkan bahwa di dalam cerpen tersebut mengandung gaya bahasa yang terdiri dari hiperbola, personifikasi, metafora, simile, litotes, alegori, aptronim dan eksklamasio. Gaya bahasa tersebut dimanfaatkan pengarang sebagai usaha memberikan efek estetis atau keindahan dalam cerita. Walaupun sebenarnya, tema yang diangkat Ayu Utami dalam cerpen "Terbang" ini merupakan tema yang sederhana, tetapi dengan kejelian dan teknik penulisan pengarang yang begitu baik maka cerpen ini menjadi karya sastra yang luar biasa. Hal keluarbiasaan itu nampak pada kekayaan gaya bahasa yang ada dalam cerita, sehingga begitu nikmat jika dibaca oleh pembaca. Hal ini menjadikan karya Ayu Utami menjadi lebih hidup dan berbeda degan karya lainnya.


E. DAFTAR RUJUKAN
Aminudddin. 1995. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.

http://beningembun-apriliasya.blogspot.com/2010/07/kajian-stilistika-terhadap-cerpen.html

http://cerpenkompas.wordpress.com/tag/ayu-utami/

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. 2002. Jakarta: Balai Pustaka. 

Kridalaksana, Harimutri. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Semarang : IKIP Semarang Press.

Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.

(Sumber artikel: http://maliassyah.blogspot.com)


Lampiran
Cerpen TERBANG
Oleh: Ayu Utami

Aku yang ngotot agar kami terbang terpisah. Kubatalkan satu tiket yang telah dipesan suamiku. Tiket murah pula, sehingga aku harus membayar besar untuk perubahan jadwal. Tapi, biar saja. Aku merasa lebih aman begini. Terbang terpisah darinya.

Kamu terlalu dramatis, Ari. Katanya. ………Tidak. Aku ini sangat realistis, Jati. Bantahku.

Sejak dua anak kami sudah bisa tidak ikut dalam perjalanan, sejak kami telah bisa meninggalkan mereka di rumah, aku memutuskan untuk tak akan terbang bersama suami dalam satu pesawat lagi. Atau terbang pada waktu bersamaan. Salah satu di antara kami harus terbang lebih dulu. Setelah pesawatnya dipastikan mendarat dengan selamat, barulah yang lain boleh berangkat. Ini keputusanku yang harus dilaksanakan. Jika suamiku menelikung tidak menurut—seperti kemarin ia mengurus tiket kami—ia akan tahu rasa. Aku membatalkan tiketku dan memesan sendiri.

Statistik mengatakan, moda transportasi pembunuh paling besar adalah lalu lintas darat. Begitu katanya. Kecelakaan maut motor lebih banyak daripada kecelakaan pesawat. Itu statistik.

Statistik juga bilang, kalau kepalamu ditaruh di kompor dan kakimu dibekukan di freezer, suhu tubuh di perutmu normal. Bantahku. Bagaimana kita mau mengabaikan fakta: Adam Air terbang tanpa alat navigasi. Adam Air jeblug di laut. Mandala jatuh waktu lepas landas. Garuda meledak ketika mendarat. Semua terjadi dalam satu tahun!

Lagian, meski persentase lebih kecil pun, kalau kita kena lotre buruk, meledak ya meledak, nyemplung ke laut ya nyemplung ke laut. Itu namanya sial, kalau bukan takdir. Karena itulah, daripada dua-dua dari kita kena takdir, lebih baik salah satu saja. Paling tidak, dengan begitu anak kita tidak jadi yatim piatu.
Tak ada lagi cerita terbang bersama atau bersamaan.
Titik.

Aku mengunci gesper sabuk pengaman. Mesin pesawat propeler sudah menyala. Derunya seperti makhluk hidup terkena bronkitis, penyakit yang sudah lama tidak disebut-sebut di negeri ini. Kini orang lebih mengenal infeksi saluran pernapasan atas alias ISPA. Kira-kira begitu aku merasa derau mesin baling-baling ini. Setiap saat bisa batuk darah. Lalu kolaps. Aku memandang ke bandara yang kecil, yang lebih pantas disebut rumah besar ketimbang pelabuhan. Suamiku tampak di sana, berdiri kacak pinggang, menunggu saat melambai hingga pesawat lenyap di udara, di atas gunung-gunung yang berkeliling.

Aku menelan ludah. Terbang adalah menyetorkan nyawa kepada perusahaan angkutan umum. Kita bisa mengambilnya kembali. Bisa juga tidak. Dan tak ada rente. Kalau untung, hanya ada tiba dengan selamat.

Aku sesungguhnya sangat takut. Penyiksaan akan berlangsung tujuh jam, termasuk transit dan ganti pesawat. Tapi selalu ada cara untuk survive. Kusetorkan diriku yang cemas, yang bertanggung jawab, yang berkeringat dingin membayangkan anak-anakku kehilangan ibu yang menghangatkan mereka dalam sayap-sayapku, yang menitikkan air mata atas jerih payah suami bagi kami. Kusetorkan diriku yang itu bersama jiwaku ke kotak hitam di kokpit. Jati, kalau ada apa-apa denganku, aku yang kamu miliki ada di kotak hitam itu, ya.

Yang duduk di kursi sekarang adalah aku yang lain. Aku yang kuat untuk menghadapi kengerian. Yaitu, aku yang tak bertanggung jawab. Aku yang tak memiliki suami ataupun anak-anak. Aku yang lajang petualang.

Dan lihatlah. Seorang lelaki tergesa-tergesa melewati pramugari yang cemberut karena ia membuat penerbangan telat jadwal. Ia meletakkan bagasi ke dalam kabin di atas kepalaku. Ia mengangguk kepadaku sebelum duduk di kursi sebelahku. Terhidu bau tubuhnya. Bau hangat manusia. Aku membalas ringan dia, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Pesawat mulai ber- gerak. Jati melambai di bawah sana. Aku membalas. Selamat tinggal!

Kira-kira dia adalah seorang peneliti. Seorang peneliti lapangan. Seorang peneliti yang biasa di alam bebas. Di hutan. Bukan di lab. Di goa. Di padang rumput berpasir. Ia mengenakan kaca mata. Perawakannya keras. Otot kedang tangannya tegas. Urat- urat pada lengannya mencuat. Itulah yang dapat terlihat jika aku tak mau jelas-jelas menoleh kepadanya. Pada ransel yang diletakkan di bawah kursi depan, tersangkut botol minum aluminium SIGG. Dengan stiker “kurangi plastik”. Ia mengenakan sepatu gunung Eiger.

Ataukah dia orang film. Film dokumenter lingkungan. Ah, aku tak bisa melihat lipatan perutnya, meskipun ia mengenakan T-shirt kelabu yang dimasukkan di balik kemeja korduroi hitam yang terbuka. Ia pasti memiliki six-pac yang lumayan. Dari kulit jemarinya, kira-kira ia empat puluhan.

Sebetulnya, sudah lama aku tak ingin ngobrol dengan orang seperjalanan. Sia-sia. Lebih baik baca buku daripada menghabiskan waktu dengan makhluk yang tak memberi kita pengetahuan dan tak akan kita ingat lagi. Setidaknya, buku menambah isi kepala. Manusia sering-sering cuma menghabiskan urat kepala.

Kukeluarkan buku. Kuletakkan di pangkuan, sebab aku sulit membaca ketika lepas landas dan lampu tanda kenakan sabuk belum mati. Java Man. Garniss Curtis, Carl Swisher & Roger Lewin. Aku ingin memejamkan mata dan berdoa, tapi kulihat lelaki di sebelahku bergerak. Gerakan mencontek judul buku, kutahu dengan sudut mataku. Ah, tebakanku takkan jauh. Ia orang lapangan, bergerak di sekitar soal lingkungan.

Aku menyadari pesawat ini tak punya lampu tanda kenakan sabuk pengaman. Sialan. Kuno amat. Setelah burung bronkitis ini terbang mendatar, aku menarik napas lega yang pertama, dan mulai membaca lagi. Kutangkap lagi dengan sudut mataku, ia bereaksi terhadap bacaanku. Ah! Kupergoki saja dia. Sambil bisa kuperhatikan sekalian, seperti apa mukanya.

Ia memiliki wajah lelaki baik. Lelaki baik adalah lelaki yang tidak tengil atau sesumbar, tidak sok tahu atau menggurui. Meski tidak berarti lelaki baik-baik. Lelaki baik-baik, yaitu yang setia kepada keluarga, bisa saja sa- ngat menyebalkan dan suka membual demi menegakkan citra kepala keluarga. Lelaki baik adalah lelaki yang menyenangkan untuk diajak ngobrol bersama, meski belum tentu baik untuk hidup bersama.
Nah! Ia tertangkap basah sedang mencontek!
Aku tersenyum padanya. Toh tadi juga kami sudah saling mengangguk.

“Sudah pernah baca?” tanyaku.
“Boleh lihat?”

Dan tentu saja kami jadi bercakap-cakap. Ia memang lelaki baik. Kebanyakan lelaki punya beban untuk tampak lebih tahu dari perempuan. Tapi dia tidak. Dia banyak bertanya tentang duniaku. (Kebanyakan lelaki lebih suka menjawab tentang diri sendiri. Jika kita tidak bertanya, mereka akan membikin pertanyaannya sendiri dan menjawab sendiri.) Dari cara bertanyanya, ia mirip wartawan dari koran atau majalah yang baik pula. Jadi, apa kerjanya?

“Macam-macam sudah saya coba,” katanya. “Saya pernah kerja di pertambangan. Saya pernah kerja di kapal.”
“Di kapal?”
“Di kapal, jadi juru masak, jadi fotografer….”
“Jadi juru masak?”
“Iya. Jadi juru masak di kapal. Jadi fotografer di kapal….”

Tak bisa tidak aku menyimak dia dari rambut ke sepatu, mencari jejak-jejak pekerjaan itu. Ia memiliki gestur yang rendah hati. Barangkali ia lebih pekerja badan ketimbang peneliti.

“Jadi penjahit juga pernah. Beternak ayam juga pernah. Mencoba kebun kelapa sawit kecil-kecilan pernah juga….”

Kini aku mencari-cari tanda jika ia berbohong. Atau sedikitnya bercanda. Tapi wajahnya tulus seperti hewan.

“Jadi, kenapa ayam-ayam negeri itu bisa bertelur tanpa dijantani? Ayam kampung tidak begitu, kan?” tanyaku, juga tulus, tapi juga mengetes.

Ia kelihatan senang dengan kata itu. Dijantani. “Sesungguhnya, buat saya itu juga misterius.”

Ia tidak memberi aku jawaban yang memuaskan. Tapi ia menceritakan rincian pengalaman yang membuat aku percaya bahwa ia tidak berbohong. Ia tidak mengaku-ngaku peternak ayam, berkebun kelapa sawit, juru masak, fotografer. Jadi, apa yang dikerjakannya di kepulauan Indonesia timur ini? Memotret perburuan ikan paus?

Tebakanku tidak terlalu meleset.

“Memotret. Tapi bukan ikan paus. Biar orang lain saja yang mengerjakan itu. Saya… tidaklah saya motret binatang dibunuh.”

Oh, berhati haluskan dia. “Jadi motret apa?”

“Saya,” ia berdehem, “saya mencari sebanyak-banyaknya orang pendek. Orang katai. Saya potret mereka. Pernah dengar tentang Manusia Liang Bua?”

“Untuk siapa? Untuk proyek sendiri?” “Untuk satu majalah luar negeri.”

Lalu ia bercerita betapa sarjana asing senang mencari jejak manusia purba di Indonesia. Persis yang saya baca di buku ini, sahutku. Dan kami tenggelam sejenak dalam halaman-halaman dan referensi yang sempat diingat. Tangan kami tanpa sengaja bersentuhan ketika menelusuri spekulasi yang terdedah, lembar demi lembar. Dan pada lembar-lembar berikutnya aku tak tahu apakah persentuhan itu tetap tak sengaja.

Ia bercerita tentang dua spesies manusia pada sebuah zaman. Yang lebih purba dan yang lebih baru. Pada sebuah titik, yang lebih purba punah. Dialah manusia neanderthal, dengan ciri-ciri bertulang kepala lebih ceper dan tulang alis lebih menonjol. Tapi, sebelum mereka punah, dua spesies itu ada bercampur pula. Maka, keturunan manusia yang lebih purba masih kadang-kadang ditemukan di kehidupan sekarang. Ciri-cirinya, bertulang kepala lebih ceper dan tulang alis lebih menonjol. “Seperti saya, barangkali.” Ia nyengir lucu.

Aku memerhatikan dia. Ah, itukah yang membuat wajahnya tampak tulus seperti hewan? Penerbangan berganti di Surabaya. Mendung menggantung.
“Sekarang semua fotografer pakai digital, ya?”

“Kalau dari segi kualitas, film tetap lebih sensitif. Tapi, dari segi kepraktisan, digital memang tak terkalahkan.”

“Saya tidak suka teknologi. Teknologi membuat yang tua tidak dihargai. Semua barang elektronik cepat jadi tua dan tak berguna. Tidak adil.”

Kenapa kukeluhkan ini? Adakah diriku yang cemas dan menyadari bahwa aku tak terlalu muda lagi untuk bergenit-genit dengan lelaki?

“Kenapa,” kataku agak grogi, mencari tema baru. “kenapa kamera digital semakin tahun semakin biru pucat gambarnya?” Tapi ini bukan tema baru. Ini tema yang sama. Tentang kecemasan menjadi tua.

“Itu jeleknya kamera digital. Setiap kamera digital memang hanya untuk memotret sejumlah kali tertentu. Setelah sekian kali, kemampuannya turun sama sekali. Biasanya, sekitar seratus ribu kali. Sebetulnya, itu tertulis di buku keterangan. Tapi tidak ada yang mau baca.”

“Jadi, setiap kamera digital lahir dengan kapasitas sekitar seratus ribu kali memotret?”

“Iya. Tertulis. Cuma orang enggak mau baca.”

“Ada yang bilang, setiap lelaki juga begitu. Lahir dengan sejumlah tertentu kapasitas orgasme.”Ia diam sebentar. Lalu tawanya meledak.

“Kalau jumlah itu sudah terlewati, berarti jatahnya habis,” kataku lagi.

Ia tertawa lagi. Tapi, sesungguhnya aku tidak melucu. Aku sendiri tak tahu apa motifku. Apakah aku ingin tahu adakah teori itu benar. Ataukah, aku sesungguhnya sudah merasa intim dengan lelaki berbau manusia ini. Aku tak tahu apa yang kukatakan.

Kutemukan ia menatapku lebih lama. Dan lebih dalam. Kubalas ia sebentar. Setelah itu aku merasa wajahku hangat. Kubu- ang pandangan ke jendela. Aku lebih muda dari dia. Tapi tetap aku tak muda lagi. Dan aku beranak dua. Meskipun diriku yang bertanggung jawab telah kutitipkan bersama nyawaku di kotak hitam.

Aku ingin bertanya padanya. Jatahmu sudah diboroskan belum?

Pesawat melonjak. Bagai ada lubang besar di jalanannya. Lampu tanda kenakan sabuk pengaman menyala. Aku merasa berayun ke kiri ke kanan. Seperti dalam bis malam yang mencicit di jalan licin berbatu. Aku mencoba tidak mencengkeram dahan kursi. Tapi keringat dinginku merembes sedikit di dahi.

Tiba-tiba ia menangkupkan tangannya pada tanganku di tangkai kursi. Seperti seorang suami. Kalau ada apa-apa, kita mengalaminya bersama-sama.

Aku memejamkan mata. Aku tak tahu, apakah dalam sisa perjalanan aku bersandar di bahunya.

Tapi, pesawat mendarat juga di Soekarno-Hatta. Ia membantuku mengemasi bagasi.
Aku telah di tanah lagi. Aku harus pergi ke kokpit mengambil kembali nyawa dan diriku dari kotak hitam. Nyawa dan diriku yang lebih peka dan penakut ketimbang yang duduk tadi. Ingin rasanya aku meminta lelaki berwajah baik itu menemaniku terus sampai sepotong jiwaku bergabung kembali. Sepotong yang dibawa Jati….

Aspek Religius Tokoh Utama Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 Karya Habiburrahman El-Shirazy

Karya sastra merupakan hasil pekerjaan kreatif pengarang yang memuat cerita-cerita tentang kehidupan. Ada tiga macam jenis prosa yang di dalamnya terdapat peristiwa kehidupan yang dialami para tokohnya. 
Menurut Sudjiman (1998; 53), novel merupakan proses rekaan yang panjang, menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar belakang secara teratur. Novel yang baik tidak hanya dituntut untuk mudah dipahami dan menarik bagi pembacanya, tetapi juga harus mengandung nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang bermanfaat bagi pembacanya.

Novel merupakan perwujudan ide pengarang yang diungkapkan dalam bentuk karya sastra dengan menggunakan media bahasa. Pengarang menciptakan karya sastra tidak terlepas dari tujuannya untuk menyampaikan gagasan, perasaan dan pengalaman hidupnya kepada pembaca dengan harapan pembaca dapat terhibur dan memperoleh manfaat dari karyanya.

Novel Ketika Cinta Bertasbih adalah salah satu karya seorang novelis muda, Haabiburrahman El-Shirazy. Ia lahir pada tanggal 30 September 1976 di Semarang, Jawa Tengah. Pada tahun 1992 ia merantau ke kota Surakarta untuk belajar di Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MAPK), lulus pada tahun 1995. Setelah itu, ia melanjutkan pendidiknya ke Universitas Al-Azhar di Kario, dan selesai pada tahun 1999. Pada tahu 2001, ia menyelesaikan Postgraduate Diploma (Pgd.) S2 di Kairo, Mesir.
 
Kenapa Ketika Cinta Bertasbih diangkat sebagai objek penilitian karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kehidupan manusia, di antaranya nilai religi, budaya dan cinta. Novel tersebut menceritakan tentang kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan perilaku mahasiswa yang kuliah di luar negeri. Jalan cerita di dalamnya juga menarik, disertai dengan nilai-nilai keteladanan. Hal itu dapat member manfaat bagi para pembaca. Selain itu Habiburrahman El Shirazy menuliskan pengalaman hidupnya selama berada di Kairo. Cerita dalam novel tersebut dapat terasa lebih nyata karena permasalahan-permasalahan yang ada dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Novel Ketika Cinta Bertasbih ditulis di antara tahun 2005-2006 dan diterbitkan pada tahun 2007. Novel tersebut mengisahkan kehidupan Khairul Azzam, seorang mahasiswa Indonesia yang berjuang menggapai gelar Master di Universitas Al Azhar, Kairo. Tokoh Azzam digambarkan sebagai sosok yang menjalani hari-harinya dengan berbagai macam target dan kesederhanaan hidup. Azzam selalu berusaha menjunjung tinggi ajaran islam dan berusaha menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Di Kairo, Azzam tinggal di sebuah apartement sederhana dengan lima mahasiswa Al Azhar yang berasal dari Indonesia pula. Hari-hari Azzam sendiri selain disibukkan oleh aktivitas kampus, ia juga disibukkan sebagai profesi tambahannya menjadi penjual bakso dan tempe di kalangan mahasiswa Indonesia ataupun orang-orang KBRI.

Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah analisis keterkaitan antara aspek psikologi sastra dengan aspek religius? 
  2. Bagaimanakah nilai-nilai religius yang terkandung dalam novel Ketika Cinta Bertasbih?
Tujuan Masalah
  1. Mengetahui keterkaitan antara aspek psikologi sastra dengan aspek religius. 
  2. Mengetahui nilai-nilai religius yang terkandung dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.

 
TINJAUAN PUSTAKA

Pendekatan Pragmatik dan Nilai Religius dalam Karya Sastra
Pendekatan pragmatik memandang suatu karya sastra sebagai sarana untuk mencapai tujuan kepada pembacanya. Melalui teori tersebut, penikmat karya sastra dapat mengetahui ide atau maksud tertentu dari karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang. Analisis pragmatic dalam makalah ini difokuskan pada aspek religius.

Religius dan agama sangat erat kaitannya. Religius bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari segi agama yang nampak formal dan resmi (Mangunwijaya, 1982:11-12). Pada hakekatnya setiap manusia pasti merindukan dan mencintai Tuhannya. Setiap manusia juga ingin berbuat baik sesuai dengan hati nuraninya. Hal semacam itu membuktikan bahwa manusia memiliki sifat dan sikap religius.

Terdapat beberapa cerita yang dapat digunakan dalam menentukan kereligiusan seseorang. Glock dan Stark (dalam Ancok, 2002:14-15) mengungkapkan konsep-konsep religiusitas dalam lima keterlibatan yaitu keterlibatan ritual (ritual involvement), keterlibatan ideological (ideological involvement), keterlibatan intelektual (intellectual involvement), keterlibatan eksperiental (experiental involvement), dan keterlibatan konsekuensial (consequential involvement).

a.Keterlibatan ritual (ritual involvement)
Keterlibatan ritual (ritual involvement) adalah tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya. Seperti salat, puasa, zakat, bagi yang beragama islam (Glock dan Stark, dalam Ancok, 2002:14). Keterlibatan ritual meliputi perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang lain yang dilakukan seseorang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya (Ancok dan Suroso, 1994:77).

b.Keterlibatan ideological (ideological involvement)
Keterlibatan ideological (ideological involvement) adalah tingkatan sejauh mana orang menerima hal yang dogmatik di dalam agama mereka masing-masing. Seperti keyakinan adanya nabi, malaikat, surga, neraka, dan hari kiamat (Glock dan Stark, dalam Ancok, 2002:14).

c.Keterlibatan intelektual (intellectual involvement)
Keterlibatan intelektual (intellectual involvement) adalah seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya dan seperapa jauh aktivitasnya dalam menambaha pengetahuan agamanya (Glock dan Stark, dalam Ancok, 2002:14).

d.Keterlibatan eksperiental (experiental involvement)
Keterlibatan eksperiental (experiental involvement), berisikan pengalaman-pengalaman unik dan spektakuler yang merupakan keajaiban yang datang dari Tuhan (Glock dan Stark, dalam Ancok, 2002:15). Keterlibatan ini berkaiyan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang (Ancok dan Suroso, 1994:78).

e.Keterlibatan konsekuensial (consequential involvement)
Keterlibatan konsekuensial (consequential involvement) yaitu tingkatan yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotifasikan oleh ajaran agamanya. Apakah itu menerapkan ajaran agamanya di dalam kehidupan social (Glock dan Stark, dalam Ancok, 2002:15). Dalam kehidupan manusia, religiusitas seseorang dapat mencakup lima keterlibatan tersebut. Setiap orang memiliki keterlibatan religius yang berbeda-beda.

 
PEMBAHASAN
 
1.Aspek Religius dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih 1
Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang menitik beratkan pada pembaca dan penilaian karya sastra ditantukan oleh pembaca selaku penyambut karya sastra. Pendekatan pragmatic berprinsip bahwa karya sastra yang baik adalah yang mengandung unsure dulce et utile (indah dan bermanfaat). Pendekatan ini menilai karya sastra menurut tingkat keberhasilan mencapai tujuan atau manfaat yang di peroleh pembaca. Analisis pragmatic dalam makalah ini dikhususkan pada aspek religius dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih 1.

Religius dan agama sangat erat kaitannya. Religius bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari segi agama yang nampak formal dan resmi (Mangunwijaya, 1982:11-12). Pada hakekatnya setiap manusia pasti merindukan dan mencintai Tuhannya. Setiap manusia juga ingin berbuat baik sesuai dengan hati nuraninya. Hal semacam itu membuktikan bahwa manusiamemiliki sifat dan sikap religius.

Glock dan Stark (dalam Ancok, 2002:14-15) mengungkapkan konsep-konsep religiusitas dalam lima keterlibatan yaitu keterlibatan ritual (ritual involvement), keterlibatan ideological (ideological involvement), keterlibatan intelektual (intellectual involvement), keterlibatan eksperiental (experiental involvement), dan keterlibatan konsekuensial (consequential involvement).

1.Keterlibatan ritual (ritual involvement)
Keterlibatan ritual (ritual involvement) adalah tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya. Keterlibatan ritual meliputi perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang lain yang dilakukan seseorang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya (Ancok dan Suroso, 1994:77). 

Perilaku pemujaan mengacu pada bentuk-bentuk ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek keagamaan (Ancok dan Suroso, 1994:77). Data dan analisis berikut menunjukkan adanya keterlibatan ritual ritual berupa perilaku pemujaan yang terdapat dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1.

  • Seketika azan berkumandang menjawab pertanyaan itu dengan suara lantang: Allahuakbar! Allahuakbar! Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Ya, hanya Allah Yang Maha Besar kekuasaan-Nyalah yang mampu memasukkan siang di dalam perut malam. Dan memasukkan malam ke perut siang. (KCB1:50)
  • Malam mulai membentangkan jubah hitamnya. Lampu-lampu jalan perpendaran Alexandria memperlihatkan sihirnya yang lain. Sihir malamnya yang tak kalah indahnya. Kerlap-kerlip lampu kota yang mendapat julukan “Sang Pengantin Laut Medaterania” itu bagai tebaran intan berlian. Khairul Azzam menutup gorden jendela kamarnya. Ia bergegas untuk shalat di masjid yang jaraknya tak jauh dari hotel. (KCB1:50-51)
Data tersebut menunjukkan adanya perilaku pemujaan kepada Allah, diwujudkan dengan melaksanakan salat magrib. Setelah Azan magrib terdengar, Azzam menuju masjid yang jaraknya tak jauh dari hotel yang Azam tempati untuk menginap. Pada data di atas disebutkan bahwa Azzam mengerjakan kewajibannya sebagai seorang muslim untuk menunaikan ibadah salat.

Hamid (1995:111) mengemukakan, sholat menurut ahli fiqih adalah tindak ibadah disertai bacaan doa-doa yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada hakekatnya salat menghadapkan jiwa kepada Allah dan dapat menumbuhkan rasa takut kepada Allah, serta mengakui kegungan dan kesempurnaan-Nya. Salat lima waktu sehari semalamadalah ibadah wajib bagi setiap individu umat Islam jika telah memenuhi beberapa persyaratannya dan mempunyai tempat teratas dalam deretan ibadah wajib, kareana mempunyai kedudukan yang istimewa dan tidak ada yang mampu menandinginya (Basri, 2004:82).

Sholat merupakan bentuk perilaku pemujaan pemujaan kepada Allah. Hal tersebut tampak pada bacaan-bacaan waktu salat. Pada bacaan takbir, kalimat Allahu Akbar berarti ‘Allah Maha Besar’, dan pada saat rukuk membaca tasbih yaitu Subhaana Rabbiyal ‘Adlimi wa bihamdihi, ‘Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung dan segala puji bagi-Nya’, kemudian bacaan iktidal ketika bangkit dari rukuk yaitu Sami’Allahu liman hamidah artinya ‘Allah mendengar pujian orang yang memuji kepada-Nya’ (MZ., 1993:21-24). Dilanjutkan dengan bacaan Rabbana wa lakal hamdu mil ussamaawaati wamil ul ardi wamil umaa syi’ta min syai’in ba’du, ‘Ya Tuhan kami, dan bagi-Mu lah segala puji langit dan bumi, dan sepenuh barang yang Engkau kehendaki sesudah itu’, pemujaan tampak pula pada bacaan ketika sujud yaitu Subbhaana Rabbiyal A’laa wa bi hamdihi, ‘Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi dan segala puji bagi-Nya’ (Hamid, 1995:117).

Aspek keterlibatan ritual berupa perilaku pemujaan kepada Allah dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1 juga nampak pada data berikut.

  • Azzam bangun dua puluh menit sebelum azan subuh berkumandang. Ia masih punya kesempatan untuk buang hajat dan sikat gigi. Setelah itu ia mengambil air wudhu, ia teringat belum salat Witir. Ia sempatkan untuk salat Witir tiga rakaat. Selesai shalat ia sempatkan untuk menyebut-nyebut ibu dan adik-adiknya dalam munajat. (KCB1:79)
Data tersebut mennunjukkan adanya bentuk perilaku pemujaan yang dilakukan oleh Azzam. Hal tersebut tampak pada saat Azzam melakukan wudhu sebelum menunaikan ibadah salat Witir.

Wudhu merupakan bentuk ritual yang dilakukan untuk menyucikan anggota tubuh dari kotoran-kotoran ringan dengan menggunakan air yang dapat menyucikan (MZ., 1993:10). Salat adalah ibadah menghadap kepada Allah, Dzat yang Maha Suci, maka apabila hendak mengerjakan salat harus dalam keadaan suci dari hadas kecil maupun hadas besar yaitu dengan berwudhu terlebih dahulu.

Aspek keterlibatan ritual berupa perilaku pemujaan kepada Allah dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1 juga nampak pada data berikut.

  • Orang-orang Mesir berdatangan. Ada dua puluhan orang. Seorang lelaki separo baya dengan jenggot yang telah memutih sebagaian maju ke depan Shalat Subuh didirikan. Sang imam membaca surat An Najm. Azzam larut dalam penghayatan. (KCB1:81)
Data tersebut menggambarkan tokoh Azzam melaksanakan salat Subuh berjamaah di masjid. Salat subuh terdiri dari dua rakaat dan dikerjakan diantara waktu fajar thaghib sampai fajar shodiq. Pada data diatas disebutkan bahwa Azzam larut dalam bacaan surat yang di baca oleh imam. Hal tersebut menunjukkan adanya perilaku pemujaan yang dilakukan oleh Azzam.

Berikut data yang menunjukkan adanaya perilaku pemujaan yang dilakukan oleh Azzam dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1.

  • Azzam bergegas kembali ke kios Ammu Ragab dan menitipkan dagingnya di sana. Ia hendak ke masjid sholat Ashar dulu. Ia berjalan melewati lorong pasar. Langsung ke tempat wudhu masjid.(KCB1:197)
Tokoh Azzam dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1 digambarkan sebagai sosok yang sangat religius. Ia selalu berusaha menjunjung ringgi ajaran agamanya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada data di atas, Azzam sedang dalam perjalanan pulang setelah dari rumah sahabatnya dan setelah memesan daging pada penjual langganannya. Ia menyempatkan diri untuk menuju masjid di dekat pasar untuk menunaikan salat asar. Hal tersebut menunjukkan adanya perilaku pemujaan yang dialakukan oleh Azzam.

2.Keterlibatan Ideologikal (ideological involvement)
Keterlibatan Ideologikal yaitu sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatic di dalam agamanya masing-masing. Di dalam agama Islam keterlibatan ideoligikal menyangkut keyakinan tentang adanya kitab, nabi, malaikat, hari kiamat, surga dan neraka (Ancok: 14). Sedangkan di dalam novel Ketika Cinta Bertasbih (KCB) ini terdapat keterlibatan ideologikal keyakinan tentang adanya nabi dan keyakinan adanya kitab Allah yang terlintas dalam cerita kedua tokoh utama, yakni Azzam dan Ana. Hasil analisis dapat diketahui sebagai berikut.

Keyakinan Adanya Nabi
Keyakinan adanya nabi termasuk dalam keyakinan pandangan teologis agama Islam. Karena setiap muslim diwajibkan mempercayai nabi-nabi Allah. Seperti halnya keyakinan Azzam dalam novel KCB ini. Ia meyakini dengan sepenuh hati bahwa nabi dan kisahnya dulu benar-benar ada. Berikut pengakuan Azzam dalam cerita.

  • Pertemuan bersejarah yang diabadikan dalam Al-Quran antara Nabi Musa dan Nabi Khidir, konon, juga terjadi di salah satu pantai laut Mediterania itu. "Laut yang indah, penuh nilai sejarah," lirihnya pada dirinya sendiri. "Akankah aku juga akan mencatatkan sejarahku di pantai laut ini?" (KCB; 7)
Data tersebut menunjukkan bahwa Azzam sebagai seorang muslim meyakini adanya nabi, tepatnya ia mengakui bahwa kisah nabi Musa dan nabi Khidir telah terabadikan dalam kitab Allah atau Al-Quran. Yakni kisah semasa hidup nabi Musa dan nabi Khidir yang begitu fenomenal terjadi di pantai laut Mediterian.

Selain pengakuan Azzam mengetahui cerita nabi Musa dan nabi Khidir, Azzam dalam cerita juga meyakini dan mengetahui cerita nabi Muhamad sebagai sosok suritauladan bagi umat Islam. Berikut data yang mendukung.

  • Ia seolah-olah terbetot masuk ke jaman kenabian. Seolah-olah ia ikut serta menyaksikan Rasulullah Saw. menerima ayat-ayat suci Al-Quran. Seolah-olah ia mendengar suara Jibril mendiktekan Al-Quran, sampai Rasulullah Saw hafal tanpa keraguan. Seolah-olah ia mendengar bagaimana Rasulullah Saw. Mengajarkan Al-Quran kepada sahabat -sahabatnya yang selalu haus hikmah dan Ilmu pengetahuan. (KCB; 46)
Data di atas menunjukkan bahwa Azzam seolah-olah dirinya mampu merasakan dan mengalami serta hadir dalam kehidupan Rasulullah di zaman kenabian. Bahkan Azzam merasa ia juga mampu menyaksikan Rasulullah Saw menerima ayat-ayat suci Al-Quran, mendengar suara Jibril mendiktekan Al-Quran, sampai Rasulullah Saw melakukan proses penghafalan ayat-ayat suci Al-Quran. 

Nabi dan rasul adalah utusan Allah yang bertugas memberi petunjuk kepada manusia tentang kebenaran. Keyakinan kepada nabi dan rasul berarti mempercayai bahwa nabi dan rasul adalah manusia yang diutus dan ditugaskan oleh Allah untuk menyampaikan ajarannya kepada umatnya, untuk dijadikan pedoman hidup. Maka apa yang dilakukan Azzam dalam bertindak dan bersikap merupakan cerminan dari sifat nabi yang diyakininya. Tapi tidak lain halnya dengan Ana. Ana sebagai kaum perempuan juga ikut serta menerapkan sifat-sifat dan kesunahan sang nabinya di dalam bertindak dan bersikap. Berikut kutipan yang mendukung dalam cerita.

  • Yang pasti, sunah Nabi tetap harus diikuti, dan suatu saat nanti ia harus mengatakan "ya" atau "tidak" untuk Furqan. Ya, suatu saat nanti tidak harus saat ini. Musim semi kali ini ia tidak ingin diganggu siapa saja, termasuk apa saja yang berkenaan dengan Furqan (KCB; 100)
Data di atas menunjukkan bahwa Ana sebagai seorang perempuan di saat ditimang oleh seorang laki-laki soleh untuk dijadiakan istrinya. Sebenarnya dalam hati Ana ingin melengkapi kesunahannya di mata Allah, seperti apa yang dilakukan sang nabi Muhamad Saw. Ketika akan mempersunting sang istri yang akan dipilihnya menjadi pendamping hidup. Ana memutuskaan jawaban yang akan dipilihnya sesuai dengan keadaan dan kemantaban Ana sendiri kepada sang lelaki. Apakah laki-laki itu memang calon pemimpin baik bagi diri Ana dan keluarganya nanti, atau laki-laki itu memiliki keimanan yang sepadan atau sosok yang selama ini diimpikannya. 

Keyakinan Adanya Kitab Allah
Di dalam rukan iman yang diyakini umat Islam selama ini terdapat enam rukun iman yang salah satunya meyakini adanya kitab-kitab Allah. Meyakini dengan sepenuh hati dan menjadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Kitab yang dimaksud tersebut adalah kitab suci Al-Quran. Kitab yang dibawa oleh nabi terakhir, atau nabi Muhamad Saw yang diperintahkan Allah untuk menyampaikan ajarannya kepada umatnya. 

Seperti halnya umat nabi Muhamad yang digambarkan pada sosok Azzam dan Ana Alfatunisa dalam cerita novel KCB. Azzam dan Ana dalam novel digambarakan sebagai umat yang taat dan berpegang teguh pada Al-Quran. Berikut kutipan mendukung yang terdapat dalam cerita.

Orang Mesir biasanya paham makna ayat-ayat suci Al-Quran yang dibacakan. Azzam sendiri hanyut dalam keindahan ayat demi ayat yang dibaca sang imam.. Hati dan pikirannya terbetot dalam tadabbur yang dalam. Ia merasakan seolah-olah Tuhan yang menurunkan Al-Quran mengabarkan kepadanya bagaimana Rasulullah menerima wahyu yang diturunkan. 

Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang ia ucapkan itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. 5Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril) itu menampakkan diri dengan rupa yang asli. QS.An-Najm:1-6. (KCB; 45)

Data di atas menunjukkan bahwa Azzam selama berada di tanah Nabi atau Mesir menganggap kebanyakan orang pribumi mampu dan paham secara baik memaknai ayat-ayat yang ada di dalam kitab suci Al-Quran. Azzam dalam hati dan pikirannya juga merasakan seolah-olah Tuhan yang menurunkan Al-Quran dan mengabarkan kepada Azzam, bagaimana Rasulullah menerima wahyu yang diturunkan kepadanya. 

Keagungan yang terkandung dalam Al-Quran begitu besar juga tergambar di dalam novel KCB ini. Pengarang begitu piawai dalam mendeskripsikan keagungan Al-Quran dalam narasi novel. Keagungan yang terkandung dalam Al-Quran pasalnya memang sudah seharusnya umat muslim di bumi ini tahu akan keagungan dan keberkahan kitab suci itu bila dibaca ayat demi ayatnya oleh seseorang. Sedangkan dalam novel KCB ini pengarang mencoba menggambarkan kebesaran dan keberkahan Al-Quran jika dibaca seseorang, begitu nampak pada apa yang dialami oleh tokoh Azzam. Berikut kutipan cerita yang mendukung.

  • Apalagi jika ada order membuat bakso atau sate ayam dari bapak-bapak atau ibu-ibu KBRI, nyaris ia tidak bisa menyentuh buku, termasuk buku muqarrar yang semestinya ia sentuh.. Kecuali Al-Quran, dalam sesibuk apapun tetap merasa harus menyentuhnya, membacanya meskipun cuma sete-ngah halaman lalu menciumnya dengan penuh rasa takzim dan kecintaan. Ia merasa, dalam perjuangan beratnya di negeri orang, Al-Quran adalah pelipur dan penguat jiwa. (KCB; 112)
Data di atas menunjukkan bahwa di mana Azzam mengalami kerinduan yang luar biasa terhadap Al-Quran. Bahwasannya Al-Quran tidak mungkin tidak akan tersentuh seharipun oleh Azzam. Ia merasa dalam kondisi dan sepenat apapun beban pikiran mendera, ia tidak akan jauh-jauh dari Al-Quran yang ia jadikan sebagai obatnya. Bahkan Azzam merasa dalam perjuangan beratnya di negeri rantauan (Mesir), Al-Quran adalah pelipur dan penguat jiwa Azzam.

3.Keterlibatan Intelektual (intellectual involvement)
Keterlibatan intelektual mengacu pada tingkatan sejauh mana seseorang memiki pengetahuan tentang ajara agama dan aktivitasnya di dalam menambah pengetahuan ajaran agamanya (Ancok, 2002 : 14)

Pengetahuan tentang ajaran agama
Aspek keterlibatan intelektual ini berkaitan dengan pengetahuan atau pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya. Data dan analisis berikut menunjukka adanya aspek keterlibatan intelektual berupa pengetahuan mengenai hukum-hukum islam dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.

  • ”Saya juga memiliki prinsip. Prinsip hidup. Prinsip hidup saya itu saya dasarkan pada islam. Sebab saya paling yakin dengan ajaran islam. Di antara ajaran islam yang saya yakini adalah ajaran tentang menjaga kesucian. Kesucian lahir dan juga kesucian batin. Kenapa dalam buku-buku fikih pelajaran pertama pasti tentang thaharah. Tentang bersuci. Adalah agar pemeluk islam senantiasa menjaga kesucian lahir dan batin. Diantara kesucian-kesucian yang dijaga oleh islam adalah kesucian hubungan antara pria dan wanita. Islam sama sekali tidak memperbolehkan ada persentuhan intim antara pria dan wanita kecuali itu adalah suami istri yang sah. Dan ciuman gaya prancis itu bagi saya sudah termasuk kategori sentuhan yang sangat intim. Yang dalam tidak boleh dilakukan kecuali oleh pasangan suami istri. Ini demi menjaga kesucian. Kesucian kaum pria dan kaum wanita”.(KCB : 119)
Berdasarkan data tersebut, dapat kita ketahui adanya keterlibatan intelektual pengetahuan tokoh Azzam mengenai hukum-hukum islam. Azzam menjelaskan kepada Eliana tentang thaharah yaitu kesucian. Kesucian antara pria da wanita. Azzam menjelaskan bagaimana islam menyuruh untuk senantiasa menjaga kesucian lahir maupun batin. Juga Azzam menjelaskan dalam islam tidak diperbolehka antara pria dan wanita melakukan persentuhan intim kecuali suami istri yang sah. Dan ciuman ala prancis menurut Azzam termasuk kategori sentuhan yang sangat intim. Hal itu menunjukkan bahwa Azzam memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai hukum-hukum islam.

Khairul Azzam menutup gorden jendela kamarnya. Ia bergegas untuk shalat di masjid yang jaraknya tak jauh dari hotel.
  • Saat tangannya menyentuh gagang pintu hendak keluar, telpon di kamarnya berdering. Ia terdiam sesaat ia menatap telpon yang sedang berdering itu sesaat dan terus membuka pintu lalu melangkah keluar. “kalau dia benar-benar perlu, nanti pasti nelpon lagi setelah shalat. Apa tidak tahu ini saatnya saatnya shalat”. Lirihnya menuju lift. (KCB : 51)
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa intelektual yang dimiliki Azzam sangat tinggi. Azzam tidak memperdulikan telpon yang berbunyi karena dia ingin shalat di masjid. Azzam merasa panggilan Sang Pencipta lebih penting dari pada panggilan apapun. Azzam berpikir jika benar-benar perlu pastilah selesai shalat dia telpon lagi. Hal itu menunjukkan bahwa intelektual yang dimiliki Azzam tentang ajaran agama sangatlah tinggi.

Berikut data yang menunjukkan adanya keterlibatan intelektual berupa pengetahuan agama yang dimiliki oleh tokoh Azzam.

  • “Dhil, Fadhil, masalah yang kau hadapi itu masalah kecil. Tak usah kau besar-besarkan. Nanti semuanya akan baik-baik saja. Ini kebetulan aku baru saja membaca perkataan Imam Ibnu Athaillah yang sangat dahsyat tentang cinta. Dan perkataan beliau itu bisa jadi terapi yang tepat untuk penyakit cintamu. Ya, aku katakan apa yang kau simpan di hatimu itu adalah penyakit. Cinta sejati itu menyembuhkan tidak menyakitkan”.(KCB : 429)
Data tersebut menunjukkan bahwa Azzam memiliki pengetahuan agama. Azzam menjelaskan kepada Fadhil bahwa masalah yang dihadapi Fadhil adalah masalah yang kecil. Dan azzam mengatakan bahwa cinta yang dimiliki Fadhil adalah penyakit.

  • ”Pertama, rasa cinta kepada Allah yang luar biasa yang menggetarkan hatimu. Sehingga ketika yang ada di hatimu adalah Allah, yang lain dengan sendirinya menjadi kecil dan terusir. Kedua, rasa rindu kepada Allah yang dahsyat sampai hatimu merasa merana. Jika kau merasa merana karena rindu kepada Allah, kau tidak mungkin merana karena rindu kepada yang lain. Jika kau sibuk memikirkan Allah, kau tidak akan sibuk memikirkan yang lain”.(KCB : 429)
Data tersebut menunjukkan bahwa tokoh Azzam memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Azzam menjelaskan bahwa jika rasa cinta kepada Allah sangat besar, maka dengan sendirinya hal-hal lain akan terusir dan menjadi kecil. 

Begitu juga dengan jika rasa rindu kepada Allah sangatlah besar, maka kita tidak mingkin merana jika rindu dengan yang lain. Hal ini merupakan aspek keterlibatan intelektual yang tampak pada pengetahuan agama tokoh Azzam dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.

Aktivitas Menambah Pengetahuan Ajaran Agama
Berikut ini data dan analisis yang menunjukkan adanya keterlibatan intelektual berupa aktivitas menambah pengetahuan ajaran agama dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.
  • Bakda shalat isya’ ia tetep di masjid untuk mengaji kitab Al Hikam karya Ibnu Athaillah As Sakandari dengan Adil Ramadhan. Malam itu ia mendapat pencerahan sangat berharga dari kitab Al Hikam tentang hal yang sangat penting baginya sebagai seorang penuntut ilmu. (KCB : 420)
Pada data tersebut tampak aktivitas tokoh Azzam dalam menambah pengetahuan agamanya yaitu mengaji kitab Al Hikam karya Ibnu Athaillah As Sakandari kepada Adil Ramadhan.
  • Malam itu Azzam khataman. Ia telah selesai belajar tiga puluh juz. Oleh Adil Ramadhan ia diberi sanad qira’ah Hafs sampai ke Rasulullah SAW. Ia sangat bangga memiliki sanad itu. “Sanad ini aku dapat dari guruku Syaikh Farhat Abdul Majid, beliau mendapatkannya dari Syaikh Mahmud Hushari, dan seterusnya sampai ke Rasulullah Saw. Jelas Adil pada Azzam. (KCB : 463)
Data berikut menunjukkan aktivitas Azzam dalam menambah pengetahuan agamanya. Azzam sudah selesai tiga puluh juz. Karena Azzam telah khatam maka ia diberi sanad qira’ah oleh Adil Ramadhan. Azzam sangat bangga memiliki sanad itu.

Aspek keterlibatan intelektual yang terwujud dengan adanya pengetahuan seseorang tentang ajaran agamanya dan aktivitas dalam menambah ajaran agamanya dapat memperdalam keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan.

4.Keterlibatan Eksperiental (experiental involvement)
Keterlibatan eksperiental berkaitan dengan pengalman-pengalaman unik dan spektakuler, perasan-perasaan. Sensasi-sensasi yang dialami oleh seorang tokoh dalam hal keagamaan (Ancok dan Suroso). Berikut data yang menunjukkan adanya keterlibatan eksperiental berupa pengalaman unik dan spektakuler, perasaan-perasan, persepsi-persepsi , sensasi-sensasi, dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.

Perasan-Perasaan
Perasaan adalah rasa atau keadaan batin sewaktu menghadapi sesuatu. Data berikut menunjukkan adanya keterlibatan persaan-perasaan yang dialami oleh tokoh dalam KCB. Berikut kutipan dalam novel yang mendukung.

  • Matahari terus berjalan mendekati peraduannya. Sinarnya yang kuning keemasan kini mulai bersulam kemerahan. Ombak datang silih berganti seolah menyapa dan mencium pasir-pasir pantai yang putih bersih. Terasa dami dan indah. Menyaksikan fenomena alam yang dahsyat itu azzam bertasbih, “subhanallah, msha suci Allah yyang menciptakan alam seindah ini.” (KCB: 46).
Pada data di atas menunjukkan bahwa Azzam begitu terpesona akan keagungan kuasa Tuhan dalam menciptakan isi alam semesta ini. Ia Menyaksikan fenomena alam yang dahsyat itu azzam bertasbih, “subhanallah, msha suci Allah yyang menciptakan alam seindah ini.”

Sensasi-Sensasi yang Dialami Tokoh
Sensasi adalah rasa atau keadaan mental dan kesadaran yang ditimbulkan oleh rangsangan pancaindera; yang merangsang emosi (Rajasa, 2002:560). Data berikut menunjukkan adanya sensasi yang dialami oleh tokoh cerita dalam KCB.

  • Kali ini, ia shalat di imami oleh imam yang agaknya menganut mahzab imam Malik. Sebab sang imam setelah takdir tidak meletakkan kedua tangannya seperti posisi tentara sedang siap dalam barisan. Bacaan Al-quran imam setengah baya itu sungguh indah. Ia larut dan tersentuh. (KCB : 221)
  • Azzam langsung sujud syukur. Berkali-kali Azzam mengumandangkan takbir. Sebuah senyum tersungging di bibir. Pikirannya langsung melayang ke Indonesia. Ke wajah ibunya, dan adik-adiknya tercinta. (KCB : 408)
Data di atas menunjukkan bahwa Azzam merasakan sesuatu hal yang ganjil, pada saat mengikuti salah jamaah sholat fardlu yang dipimpin seorang imam. Azzam merasa imam yang mengimaminya ini menganut mahzab imam Malik. Ia merasa kegajilan itu begitu nampak pada saat sang imam setelah takdir tidak meletakkan kedua tangannya seperti posisi tentara sedang siap dalam barisan. Bacaan Al-quran imam setengah baya itu sungguh indah. Ia larut dan tersentuh.

5.Keterlibatan Konsekuensial (cosequensial involvement)
Keterlibatan konsekuensial atau pengalaman mencakup sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya (Ancok,2002:15). Berikut adalah data-data yang menunjukkan adanya keterlibatan konsekuensisl dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.

  • “Pemuda bernama Khairul Azzam itu masih menatap kearah laut. Matahari masih satu jengkal diatas laut. Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam. Warna kuning keemasan bersepuh kemerahan yang terpancar dari bola matahari menampilkan pemandangan luar biasa indah. Ia jadi ingat sabda Nabi, “ Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.” (KCB:50)
Pada data tersebut tampak adanya perilaku Khairul azzam ketika di kota Alexandria, ia sedang menatap kearah laut dan meninkmati pemandangan matahari tenggelam yang begitu luar biasa indah. Kemudian ia teringat pada sabda Nabi bahwa sesengguhnya Allah itu indah dan Allah itu mencintai keindahan.

  • “Ia membenarkan tindakannya itu dengan berpikir bahwa datangnya azan yang memaggilnya itu lebih dahulu datangnya dari pada datangnya dering telpon itu. Dan ia harus mendahulukan yang dating lebih dulu. Ia harus mengutamakan undangan yang lebih dulu. Apalagi undangan yang lebih datang dulu itu adalah undangan untuk meraih kebahagiaan akhirat. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (KCB:51)
Pada data diatas tampak bahwa Azzam lebih mementingkan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia. Perilaku Azzam ini pada dasarnya dimotivasikan oleh isi dari QS. Al A’la (Yang Paling Tinggi) [87]:17 yang berbunyi, “Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal”.

  • “Saya juga memiliki prinsip. Prinsip hidup. Prinsip hidup saya itu saya dasarkan pada Islam. Sebab saya paling yakin dengan ajaran Islam. Di antara ajaran Islam yang saya yakini adalah ajaran tentang menjaga kesucian. Kesucian lahir dan kesucian batin…” (KCB:119)
Pada data tersebut jelas terungkap bahwa prinsip hidup Azzam didasarkan pada Islam. Dengan kata lain bahwa prinsip hidup yang merupakan pedoman dalam perilakunya dimotivasikan oleh ajaran Islam, yang salah satunya yaitu menjaga kesucian lahir dan kesucian batin.

  • “Ia begitu merasa kecil dan kerdil. Begitu tidak ada artinya. Ia baru merasa bahwa manusia tidak bisa menentukan takdirnya. Manusia sama sekali tidak bisa sombong menentukan takdirnya. Kewenangan yang diberikan Tuhan untuk manusia hanyalah berikhtiar dan berusaha. Adapun takdir sepenuhnya adalah hak dan keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan yang berhak memutuskan segala-galanya. Dan Dia-lah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.” (KCB:384)
Data diatas menunjukkan perasaan Azzam yang merasa begitu kecil dan kerdil dan kerdil. Ia menyadari bahwa manusia tidak bisa menentukan takdirnya, manusia hanya diberikan kewenangan untuk berikhtiar dan berusaha, sedang yang berhak memutuskan segala-galanya adalah Allah SWT. Berdasarkan hal tersebut terungkap bahwa perasaan yang dirasakan oleh azzam dimotivasikan oleh QS. Saba’ (kaum saba’) [34]:26 yang berbunyi “Dan Dia-lah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui”.

 

KESIMPULAN
Fenomena kereligiusan di dalam suatu karya sastra yang hadir dalam novel akan memiliki arti jika pembaca mampu memberikan interpretasi dan ini berarti ia memiliki bekal tentang nilai religius yang mewadai pengetahuan pembaca. Hal ini sebenarnya sesuai dengan kepiawaian pengarang menciptakan karya sastra yang tidak terlepas dari tujuannya untuk menyampaikan gagasan, perasaan dan pengalaman hidupnya kepada pembaca dengan harapan pembaca dapat terhibur dan memperoleh manfaat dari karyanya.

Begitu pula dalam novel fenomenal berjudul Ketika Cinta Bertasbih yang merupakan salah satu karya seorang novelis muda, yang bernama Habiburrahman El-Shirazy. Kenapa Ketika Cinta Bertasbih diangkat sebagai objek penilitian, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kehidupan manusia, di antaranya nilai religi, budaya dan cinta. Novel tersebut menceritakan tentang kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan perilaku mahasiswa yang kuliah di luar negeri. Jalan cerita di dalamnya juga menarik, disertai dengan nilai-nilai keteladanan. Hal itu dapat member manfaat bagi para pembaca. Selain itu Habiburrahman El Shirazy menuliskan pengalaman hidupnya selama berada di Kairo. 

Cerita dalam novel tersebut dapat terasa lebih nyata karena permasalahan-permasalahan yang ada dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dalam cerita novel Ketika Cinta Bertasbih ini, pengarang sangat piawai mengambarkan nilai-nilai religius dalam Islam. Hal ini tercermin dari sikap tokoh utama novel ini yang bernama Azzam dan Ana Alfatunisa. Perilaku Khairul Azzam yang dimotivasikan oleh agamanya yaitu Islam tampak ketika ia sedang bertutur, dalam tuturannya tersebut banyak mengandung kosa kata dalam bidang agama Islam, begitu pula sikap dan akhlak baik yang tercermin dari tokoh Ana. Mereka berdua sering mengucapkan lafadz Allah di dalam hidup kesehariannya.
 
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, Djamaludin & Suroso, Fuat Nashori. 1994. Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

El Shirazy, Habiburrahman. 2008. Ketika Cinta Bertasbih. Jakarta: Republika.
 
Daryanto, S.S. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo.

Jabrohim (Ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiositas. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Maslikatin, Titik. 2007. Kajian Sastra: Prosa, Puisi, Drama. Jember: Unej Press.

Ratna, Nyoman Khuta. 2006. Teori, Metode, dan Tehnik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Sumber artikel: http://maliassyah.blogspot.com 

Wednesday, March 28, 2012

Nilai-nilai Pendidikan dalam Cerpen "Robohnya Surau Kami"

Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. 
Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. 
Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah, dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya.

Jika kenyataannya seperti itu, maka jelaslah bahwa sastra (cerpen) telah berperan sebagai pemekat, sebagai karikatur dari kenyataan, dan sebagai pengalaman kehidupan, seperti yang diungkapakan Saini K.M. (1989:49). Oleh karena itu, jika cerpen dijadikan bahan ajar di kelas tentunya akan membuat pembelajarannya lebih hidup dan menarik.

Tidak hanya itu, kiranya cerpen dengan segala permasalahannya yang universal itu ternyata menarik juga untuk dikaji. Bahkan tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya. Apalagi jika cerpen itu dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Seperti halnya kami mencoba mengkaji cerpen yang dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Cerpen yang kami kaji itu adalah sebuah cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.

Dipilihnya cerpen karya A.A. Navis tersebut bukan tanpa pertimbangan atau alasan sebab cerpen ini memiliki keistimewaan (bagi kami) dibandingkan dengan cerpen A.A.Navis yang lain atau cerpen yang ditulis pengarang-pengarang yang lain. Keistimewaannya yaitu terletak pada teknik penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya karena Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta. Menurut hemat saya hal seperti ini hanya ada dalam cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin dan cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.

Akan tetapi, kedua cerpen ini tetap berbeda. Cerpennya Kipanjikusmin muncul dengan membawa kehebohan yang luar biasa di kalangan umat Islam sehingga harus berhadapan dengan hukum. Sedangkan cerpennya A.A. Navis muncul dengan membawa kejutan karena ceritanya menyindir pelaksanaan kehidupan beragama secara luar biasa tajamnya. Di dalam cerpen Langit Makin Mendung Tuhan dan malaikat diimajinasikan dengan kuat sekali (meminjam istilah Bahrum Rangkuti dalam Polemik H.B.Jassin, 1972:177). Sedangkan dalam cerpen Robohnya Surau Kami tidak seperti itu. Itulah sebabnya cerpen A.A. Navis tidak pernah berhadapan dengan hukum. Selain itu cerpen A.A.Navis ini lebih banyak mengingatkan kita untuk selalu bekerja keras sebab kerja keras adalah bagian penting dari ibadah kita (Sapardi Djoko Damono dalam kata pengantar Novel Kemarau karya A.A.Navis, 1992:vi).

Sementara itu, tujuan umum pengajaran sastra seperti yang tercantum dalam kurikulum 1994 yaitu agar siswa mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Lalu, di dalam rambu-rambunya pada butir 10 ditegaskan pula bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk mengapresiasikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasi nalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan demikian peran pelajaran sastra menjadi sangat penting.

Mengingat perannya yang sedemikian itu, maka terselenggaranya pembe-lajaran sastra yang menarik dan menyenangkan akan menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi. Hal ini dimungkinkan karena pelajaran seperti ini akan dapat mendidik siswa untuk dapat mengenal dan menghargai nilai-nilai yang dijunjung oleh bangsanya, juga untuk dapat menghargai hidup, menikmati pengalaman orang lain, serta dapat menemukan makna hidup dan kehidupan. Bukankah karya sastra (cerpen) itu merupakan miniatur kehidupan manusia di sekitar pembaca?

Jadi, dengan mempelajari cerpen (sastra) berarti siswa diajak untuk mempelajari manusia dan lingkungannya. Biasanya siswa akan sangat antusias jika diajak untuk membicarakan atau mendiskusikannya juga akan mengeluarkan segala pengalaman dan pengetahuannya.

Sayangnya, kendala pembelajaran itu sering terletak pada guru. Sebab, masih saja guru yang terlalu mengandalkan LKS (Latihan Kerja Siswa), tidak menyukai sastra, dan tidak bisa memilih bahan ajar yang tepat dan menarik untuk seusia siswa yang dididiknya. Kenyataan inilah yang sering dianggap orang sebagai kegagalan. Gagal karena siswa tidak memiliki daya apresiasi dan kepekaan rasa serta tidak menyukai sastra.

Berangkat dari permasalahan yang sudah diuraikan di atas, saya mencoba mengkaji keterkaitan cerpen dalam kegiatan pembelajaran dan berusaha menemukan kemungkinan-kemungkinannya cerpen dijadikan bahan ajar di kelas. Dengan harapan, hasil pengkajian ini dapat memberikan solusi dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran apresiasi sastra (cerpen).

Identifikasi
Berdasarkan latar belakang di atas, saya mencoba mengidentifikasi masalah sayaan ini. Identifikasi masalahnya sebagai berikut:

  1. Bagaimana unsur-unsur cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis? 
  2. Apakah cerpen tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan? 
  3. Nilai-nilai pendidikan yang bagaimana yang terdapat dalam cerpen tersebut? 
  4. Setiap karya sastra prosa, khususnya cerpen dapat dijadikan bahan ajar dikelas. Lalu upaya-upaya apa saja yang memungkinkan pemilihan bahan ajar itu efektif?
Tinjauan Unsur-unsur Cerpen
Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan karya sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami itu sebagai berikut:

Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.

Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.

  • “Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umat-Nya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca Kitab-Nya. “Alhamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ”Masya Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :
  • “Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”

Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya. Dan simpulan temanya itu ternyata bersifat universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen karya A.A. Navis ini diteima oleh setiap orang.

Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan, yang di dalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya.

Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki”. Hal ini terdapat pada paragraf kelima halaman delapan kalimat yang terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di antaranya:

(a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain. Amanat ini dimunculkan melalui ucapan kakek Garin pada halaman 9.

  • “Marah? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal kepada Tuhan .…”
Dari ucapan kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidup/cita-cita pengarangnya mengenai karangan untuk cepat marah.

(b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika dia disidang di akhirat sana:

  • “Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14 kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula ( hlm. 12 – 13 ).
(c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.

(d) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan dalam cerpen ini:

  • “…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin .…” (hlm. 15).
(e) Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini halaman 16.
  • ”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
Dan akhirnya amanat (d) dan (e) menjadi kunci amanat yang diinginkan pengarang untuk pembacanya. Kedua amanat itu kemudian dirumuskan, seperti yang sudah dituliskan pada bagian awal tentang amanat di atas.

Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.

Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya :

  • Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. (hlm. 1 )
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :

  • “Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….” (hlm. 10)
Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu, misalnya:
  • Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh ……… 
  • Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek 
  • “Sedari mudaku aku di sini, bukan ?….” (hlm.10)
Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :

  • Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek (hlm. 7)
Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya. 

Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu :

  • “Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan – Nya bagaimana ?” suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu. 
  • “Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Soleh.  
  • “cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela. 
  • “Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 13)
Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog ini (hlm.13), termasuk kelompok orang yang sangat kritis, vokal, dan berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng orang lain dan akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi sombong di hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada apa-apanya. Perhatikan pada berikut ini.
  • Haji soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya…”
Akhirnya ada latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas saja gambaranya itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini.
  • “Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia ?” 
  • “Kerja” 
  • “Kerja?”tanyaku mengulangi hampa.  
  • “ya.Dia pergi kerja.”
Alur (plot)
Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti berikut.

Bagian Awal

Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garim di sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan pada data berikut :

  • Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
  • Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 7).
Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan.

Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan data berikut :

  • Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya ….
  • Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya.
Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi? sehingga ketidakstabilan ini memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.

Bagian Tengah
Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:

  • Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.
Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang berniat hendak mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek suasananya sangat tidak diharapkan.
  • Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek.
Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik
Konflik ini berkembang menjadi konplikasi manakala tokoh aku menanyakan sesuatu yang berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu melainkan pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam.

  • “Kurang ajar dia.” Kakek menjawab.
  • Kenapa ? “
  • "Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.” (hlm. 9)
Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan kekesalannya dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan tokoh aku. Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya.

Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya merasa ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya, klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.

Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise). Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya. Data berikut menggambarkan hal ini.

  • Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”
“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa

  • “Ya. Dia pergi kerja.” (hlm. 16-17).
Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab? Lalu di mana salahnya?

Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu diceritakan.

  • Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya (hlm.7-8). Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget. 
  • “Kakek"
  • “Kakek?” (hlm.16).
Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.

a. Tokoh Aku
Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain. Datanya seperti berikut.

  • Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?” 
  • Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”.(hlm.9). 
  • “Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.16).
b. Ajo Sidi
Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk ini seperti berikut.

  • ….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….(hlm.8-9)
Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.

c. Si Kakek
Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.

Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi. Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.

Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:

  • “Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…(hlm.10).
 d. Haji Saleh
Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau menyindir orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri sendiri.

6. Titik Pengisahan
Yang dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.

Di dalam cerpen Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.

  • Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar….(hlm.7).
  • Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang….(hlm.8).
Akan tetapi, ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan cerita ini diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan dirinya sebagai tokoh bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita akan tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau berusaha ingin menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan kata “Aku”. Walaupun begitu kata “Aku” ini merupakan kata ganti orang pertama pasif.
  • “Engkau ?” 
  • “Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”
Lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh –tokoh dongengan Ajo Sidi, pengarang kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.

Gaya
Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara pemakaian bahasa spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan kata, kelompok kata, atau kalimat dan ungkapan.

Di dalam cerpen ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Islam), seperti Garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.

Selain ini, pengarang pun menggunakan pula simbol dan majas. Simbol yang terdapat dalam cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni Robohnya Surau Kami. Suaru di sini merupakan simbol kesucian, keyakinan. Jadi, melalui simbol ini sebenarnya pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa kesucian hati atau keyakinan kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh. Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh kita dari berbagai kalangan tidak lagi suci hatinya. 
Mereka sudah menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat. Mereka tenggelam dalam Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya. Bahkan ada pula yang keyakinannya terhadap Tuhan dan agamanya terlibat luntur-pudar. Mereka ini tidak hanya tenggelam dalam KKN dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam kemunafikan dan maksiat serta dibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan kelompoknya.

Sedangkan majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini

Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: 
  • ”…Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi” (hlm.8). 
Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan demikian penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati sekaligus mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil. Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.

Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di Kelas
Cerpen sebagai salah satu karya sastra jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya karya sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan, dia juga dapat mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti, mengembangkan pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Oleh karena itu dapat memberikan manfaat, maka sewajarnya sebuah cerpen dapat dijadikan bahan/materi pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan penetapan cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti kriteria yang sudah ditetapkan secara umum yaitu:

  1. Dilihat dari segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan. 
  2. Latar belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.
Berdasarkan kriteria-kritera inilah kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat bila dijadikan bahan ajar untuk pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di kelas III SMU. Selain itu, akan lebih menarik lagi jika gurunya pun aktif-kreatif ketika membelajarkan siswanya dalam menelaah cerpen tersebut. Namun demikian, agar pembelajaran sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan lancar, guru dan siswanya pun haruslah sama-sama membaca cerpen itu lebih dari satu kali dan jangan coba-coba membaca ringkasannya.


Kesimpulan
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Nvis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan kesesuaiannya sebagai bahan pembelajaran. Adapun hasil analisisnya sebagai berikut.
1. Unsur-unsur Intrinsik
a. Tema
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.

b. Amanat
Amanat cerpen ini adalah : 
  1. jangan cepat marah kalau diejek orang, 
  2. jangan cepat bangga kalau berbuat baik, 
  3. jangan terpesona oleh gelar dan nama besar, 
  4. jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan 
  5. jangan egois.
c. Latar
Latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

d. Alur
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.

e. Penokohan

Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.

  1. Tokoh "Aku" berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain. 
  2. Ajo Sidi adalah orang yang suka membual 
  3. Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain. 
  4. Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.
f. Titik Pengisahan
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.

g. Gaya
Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan sinisme.

2. Berdasarkan uraian di atas, maka cerpen Robohnya Surau Kami sangat cocok /layak jika dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa yang digunakannya bisa dipahami oleh siswa SMU, konflik psikologis tokoh-tokohnya pun tidak terlalu sulit untuk dipelajari, selain itu konflik-konflik psikologis yang dimunculkan, masih sesuai dengan perkembangan psikologis dan pemikiran siswa SMU, dan latar budaya yang ditampilkannya pun masih tampak umum sehinga siswa yang berlatar belakang budaya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat menerimanya. Selain kriteria ini, guru pun harus membaca terlebih dahulu sebelum pembelajaran dimulai begitu pula dengan siswanya. Namun, jangan sekali-kali membaca ringkasan cerpen tersebut tanpa pernah membaca cerita itu seluruhnya. Juga, guru harus kreatif ketika sedang membelajarkan siswanya. Misalnya, guru harus mampu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa akan isi cerpen tersebut.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis meyarankan sebagai berikut.
1. Saran untuk guru

  • Guru yang sudah berani menetapkan cerpen sebagai bahan pembelajaran sastra harus pula membacanya berkali-kali agar memahami isinya. 
  • Di dalam kegiatan pembelajaran, guru harus mampu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap cerita tersebut kemudian mengarahkannya ke dalam pengalaman siswa sehingga ketika siswa membahas cerita itu, bahasannya benar-benar berdasarkan pengalaman siswa. 
  • Pemilihan bahan/materi pembelajaran sastra yang berbentuk cerpen sebaiknya mengikuti kriteria yang ada, yaitu bagaimana bahasanya, bagaimana kesesuaian psikologisnya, baik untuk tokoh cerita maupun pembacanya yang duduk di tingkat SMU, dan bagaimana latar budaya yang dimunculkan dalam cerita itu ? Tentu saja hal ini dilakukan guru sebelum pembelajaran dimulai.
2. Saran untuk siswa
  • Sebaiknya siswa harus membaca cerpennya secara utuh berkali-kali agar memahami isinya. 
  • Selain itu, baca pula buku-buku yang mengulas isi cerpen itu jika ada. 
  • Berdiskusilah dengan penuh minat dan perhatian agar manfaat sastra bisa dirasakan  
  • Jika mungkin dan sempat, ikutilah setiap seminar atau diskusi sastra di manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi.1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Badudu, J.S. 1979. Sari Kesusasteraan Indonesia Jilid 2. Bandung: Pustaka Prima.

Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.1994. Metode Penelitian Seni Budaya. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.

Esten, Mursal. 1984. Kesusastraan: Pengantar teori dan sejarah. Bandung: Angkasa.

Haryati, A. dan Winarto Adiwardoyo.1990. Latihan Apresiasi dan Sastra. Malang: Yayasan A3 Malang.

Hoerip, Satyagraha.1984. Cerita Pendek Indonesia 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat, edisi ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Prima.

Lubis, Mochtar. 1980. Teknik Mengarang. Jakarta : Kurnia Esa.

Sayuti, Suminto A.2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Jogjakarta: Gama Media.

Sukada, Made.1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika Analisis Struktur Fiksi. Bandung : Angkasa.

Suroto.1989. Teori dan Pembimbingan Apresiasi Sastra Indonesia untuk SMU. Jakarta : Erlangga.

Tarigan, Henri Guntur.1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.


*Sumber artikel: http://awan965.wordpress.com