Friday, October 4, 2013

Retorika (Stilistika Bag. 2)


A. Kegiatan Bertutur dan Retorika
1. Kegiatan Bertutur
Kegiatan bertutur itu pada dasarnya adalah kegiatan manusia membahasakan seesuatu. Sesuatu tersebut lebih lanjut disebut topik tutur. Ada dua jenis bentuk bahasa yang bisa dipakai orang untuk membahasakan topik tutur yaitu, bahasa lisan dan bahasa tulis.

2. Pemanfaatan Retorika
Pada dasarnya ada tiga bentuk cara untuk orang untuk memanfaatkan
retorika, yaitu:
  1. Secara Spontan atau Intuitif. Bentuk ini biasa dipakai dalam pembicaraan sehari-hari, atau salam situasi tidak resmi, dan ragam bahasa, ulasan, dan gaya tuturnya lebih bersifat spontan.
  2. Secara Tradisional Konvensional. Bentuk ini dipakai karena meniru orang-orang terdahulu, dan ditiru karena dianggap baik atau mungkin karena penuturnya merupakan tokoh idola.
  3. Secara Terencana. Bentuk retorika antara lain: ekposisi atau pemaparan, argumentasi, deskripsi atau pelukisan, narasi atau penceritaan, dan yang terpenting adalah persuasi atau peyakinan.

B. Pengertian Retorika
1. Istilah Retorik
Di tempat asalnya Yunani, istilah retorika ditulis ‘retoric’. Itulah sebabnya mengapa I Gusti Ngurah Oka (Bandung, 1976: 24) menulisnya ke dalam bahasa Indonesia ‘Retorik’.

2. Keragaman Pengertian Retorika
Pengertian retorika berdasarkan sejarah perkembangannya dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Retorika Attic
Retorika adalah kecakapan berpidato di muka umum. Disebut retorika attic karena retorika ini populer di Semenanjung Attic, daerah Yunani.


b. Retorika Sofis
Menurut kelompok sofis, retorika adalah alat untuk memenangkan suatu kasus melalui kegiatan tutur. Prinsip-prinsip retorika yang diajarkan oleh kaum sofis antara lain:
  1. Seorang penutur harus pandai memanfaatkan argumentasi.
  2. Penutur harus cakap, terampil, dan fasih berbahasa.
  3. Penutur harus pandai memanfaatkan emosi penanggap tutur sebaikbaiknya.
  4. Penutur harus pandai membakar semangat penanggap tutur.
  5. Keseluruhan tindak, usaha, dan sarana dalam kegiatan bertutur harus diarahkan ke satu tujuan yaitu kemenangan.

c. Retorika Aristoteles atau Retorika Tradisional
Menurut Aristoteles, retorika adalah ilmu yang mengajar orang, keterampilan menemukan sarana persuasif yang objektif dari suatu kasus. Ada empat buah fungsi dasar retorika Aristoteles:
  1. Memadu orang mengambil keputusan dalam menghadapi berbagai kemungkinan pemecahan suatu kasus.
  2. Membimbing orang memahami kondisi kejiwaan penanggap tutur.
  3. Membimbing orang menganalisis suatu kasus secara sistematis objektif untuk menemukan sarana persuasi yang efektif, untuk meyakinkan penanggap tutur.
  4. Mengajarkan orang cara-cara yang efektif untuk mempertahankan gagasan hasil penganalisisan kasus tersebut.
Tujuan retorika Aristoteles, untuk meyakinkan penanggap tutur akan
kebenaran kasus yang terkandung di dalam topik tutur. Sejalan dengan fungsi dan tujuannya, metode yang digunakan adalah metode ilmiah, yaitu metode yang mengajarkan pendekatan masalah dari dua segi yaitu segi dalam (internal), dan segi luar (eksternal).

d. Retorika Modern
Jika retorika tradisional bertujuan mempersuasi pihak lain, maka retorika modern tidak bisa menerima persuasi itu sebagai tujuan akhir retorika. Tujuan retorika modern adalah membina kerja sama, saling pengertian, dan kedamaian antarmanusia. Dalam bentuk ini retorika adalah ilmu yang mengajarkan orang menggarap masalah tutur secara heuristik untuk membina saling pengertian dan kerja sama.


3. Penyempitan dan Penyimpangan Pengertian Retorika
Adapun yang dimaksud dengan penyempitan dan penyimpangan pengertian retorika antara lain:
  1. penyamaan retorika dengan pengkajian sastra,
  2. retorika sebagai gaya bahasa (stilistika) dan gaya bertutur,
  3. retorika dipandang sebagai pedoman karang mengarang, dan
  4. retorika sebagai kecakapan bersilat lidah.

4. Pengertian Dasar Retorika
Pokok-pokok pengertian dasar retorika adalah:
  1. Retorika adalah salah satu cabang ilmu yang mandiri.
  2. Rujuan retorika modern adalah membina berkembangnya saling pengertian, kerja sama, dan kedamaian bagi manusia dalam hidup bermasyarakat.
  3. fungsi retorika memberikan bimbingan kepada penutur untuk mempersiapkan, menata, dan menampilkan tuturnya, sebagai tahap-tahap yang harus dilalui dalam proses kegiatan bertutur.
Retorika adalah ilmu yang mengajarkan tindak dan usaha yang efektif dalam persiapan, penataan, dan penampilan tutur untuk membina saling pengertian dan kerja sama serta kedamaian dalam kehidupan
masyarakat”.

C. Renungan
1. Strategi Retorika dan Gambaran tentang Manusia
Carl Rogers, seorang psikoterapis mengemukakan pandangannya tentang manusia bahwa tiap-tiap manusia mempunyai tujuan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ia memandang manusia atas dasar dugaan bahwa manusia harus memegang teguh keyakinannya, dan tentang dunia macam apakah yang disukainya.


2. Kebutuhan Retorika Modern
Menguasai retorika itu sangat penting, bukan hanya menguasai teori tentang retorika dan bagaimana seorang itu berkomunikasi, tetapi menguasai proses komunikasi itu sendiri. Sebagai suatu proses, retorika bermula dengan dorongan niat manusia untuk berkomunikasi berbagai pengalaman dengan orang lain.


Referensi: Satoto, Soediro. 1995. Stilistika. Surakarta: STSI Press


Logika dan Bahasa (Stilistika Bag. 3)


A. Hubungan Logika dan Bahasa
1. Tugas dan Objek Logika
Tugas logika adalah memberikan penerangan bagaimana seharusnya
orang berpikir (Poedjawiyatna, 1978:2). Sedang objek penyelidikan logika adalah manusia itu sendiri.

Tujuan mempelajari logika adalah memecahkan masalah atau mencari jawab permasalahannya yang dapat dirumuskan: bagaimana seharusnya manusia dapat berpikir dengan baik dan benar.

2. Logika dan Bahasa
Pengetahuan sebagai hasil proses tahu manusia baru tampak nyata
apabila dikatakan. Artinya diungkapkan dalam bentuk kata atau bahasa. Dalam ilmu pengetahuan, bahasa harus mampu mengungkapkan maksud si penutur dengan setepat-tepatnya. Bahasa ilmu pengetahuan harus logis. Ilmu berarti pengetahuan-tahu, sebagai hasil proses berpikir harus mengikuti aturan-aturan, yaitu logika.

B. Argumentasi
Argumentasi adalah suatu keahlian untuk mempengaruhi pendapat atau sikap orang lain, agar mereka itu percaya atau bertindak sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh pengarang atau pembicara.

Gorys Keraf mengemukakan bahwa sasaran-sasaran dasar ditetapkan oleh setiap pengarang argumentasi adalah:

  1. Argumentasi itu harus mengandung kebenaran bagi perubahan sikap atau keyakinan yang diargumentasikan.
  2. Pada saat pertama pengarang menggunakan sesuatu istilah, ia harus membatasi pengertian-pengertian dari istilah yang dipergunakan itu.
  3. Pengarang harus menetapkan secara tepat titik ketidaksepakatan yang akan diargumentasikan.
  4. Pengarang harus berusaha untuk menghindari setiap istilah yang dapat menimbulkan prasangka-prasangka.
1. Dua Macam Argumentasi
Ada dua macam argumentasi yaitu argumentasi deduktif (deductive
argument), dan argumentasi induktif (inductive argumentasi). Logika artinya ‘bernalar’. Penalaran (reasoning) ialah proses mengambil
kesimpulan (conclition, inference) dari bahan bukti (argument) atau petunjuk, evidensi (evidence), atau apa yang dianggap bahan bukti atau evidence. Ada dua jalan untuk mengambil kesimpulan yaitu lewat proses induksi dan lewat proses deduksi.

Penalaran lewat induksi ialah penalaran yang berawal pada hal-hal yang khusus atau spesifik dan berakhir pada yang umum. Sedangkan penalaran deduktif ialah penalaran dari hal-hal yang umum ke hal-hal khusus. Penalaran deduksi adalah silogisme yang terjadi dari bagian:
  1. Premis mayor: suatu generalisasi yang meliputi semua unsur kategori, banyak diantaranya atau hanya beberapa unsurnya.
  2. Premis minor: penyamaan suatu objek atau ide dengan unsure yang dicakup oleh premis mayor.
Kesimpulan: gagasan yang dihasilkan oleh penerapan generalisasi dalam premis mayor pada peristiwa yang khusus dalam premis minor.

2. Fakta, Evidensi, Pernyataan atau Penegasan, dan Opini

Fakta (fact) atau kenyataan adalah peristiwa yang sebenarnya sebagai lawan dari sesuatu yang khayal atau dongengan. Evidensi adalah semua fakta yang ada, yang dihubung-hubungkan untuk
membuktikan adanya sesuatu. Pengertian fakta dalam kedudukannya sebagai sebuah evidensi tidak boleh dikacaukan dengan pernyataan atau penegasan. Pernyataan tidak berpengaruh apa-apa terhadap sebuah evidensi. Ia hanya menegaskan apakah fakta itu benar atau salah.

Sebuah evidensi baru dapat diandalkan kebenarannya setelah melalui

pengujian sebagai berikut:
  1. Fakta adalah sesuatu yang terjadi atau sesuatu yang ada variasinya, fakta-fakta yang digunakan mungkin sama, tetapi evidensinya bisa lain.
  2. Untuk lebih meyakinkan fakta-fakta yang diajukan sebagai evidensi, perlu diadakan peninjauan atau observasi singkat terhadap fakta-fakta tersebut.
  3. Untuk lebih meyakinkan fakta-fakta yang diajukan sebagai evidensi.
  4. Kalau pun sukar dilaksanakan, dapat juga melalui kesaksian-kesaksian, baik saksi biasa maupun saksi ahli (autoritas).
C. Sesat Nalar (Fallacy)

Penggunaan kata ‘sesat’ dalam ‘sesat nalar’ agak berbeda dengan kata ‘salah’, karena hasil yang diperoleh bukan akibat kesalahan penalarannya sebagai suatu konsep, melainkan karena kesesatan akibat tidak lurusnya proses penarikan kesimpulan berdasarkan aturan logika. Sesat nalar adalah gagasan perkiraan kepercayaan atau kesimpulan yang sesat atau salah.

Ada beberapa jenis sesat nalar yang dapat kita saksikan dalam karangan, yaitu :
1. Deduksi yang Salah
Sesat nalar yang sangat umum terjadi, ialah kesimpulan yang salah dalam silogisme (silogisme semu) yang berpremis salah atau tidak mematuhi aturan logika. Contoh :

  • Tiko bukan dosen yang baik, karena mahasiswa yang tidak lulus mata kuliah yang diampunya lebih dari 20%.
2. Generalisasi yang Salah
Sesat nalar jenis ini disebut juga induksi yang salah, karena secara jumlah (kuantitatif), jumlah percontohnya (sample) tidak memadai (ingat: kadangkadang -per contoh yang terbatas memungkinkan generalisasi yang tidak sahih). Contoh :
  1. Bangsa Indonesia itu bangsa tempe.
  2. Orang China penjajah ekonomi.
Dalam kedua contoh diatas perlu diberikan perwatasan misalnya: beberapa, banyak, sebagian kecil, sebagian besar, dan sebagainya.

3. Pemikiran atau ini, atau itu

Sesat nalar jenis ini berpangkal pada keinginan untuk melihat masalah yang rumit dari sudut pandangan (yang bertantangan) saja. Isi peryataan ini jika tidak baik, tentu buruk; jika tidak benar tentu salah; jika tidak ini tentu itu. Contoh:

  • Jika senang, masuklah; tetapi jika tidak senang keluarlah dari Universitas Muhammadiyah Surakarta.
4. Salah Nilai atau Penyebab
Generalisasi induksi sering disusun berdasarkan pengantar terhadap hukum kausal (sebab akibat). Salah nilai atas penyebaran yang sangat biasa terjadi ialah sesat nalar yang disebut ‘post hoc, ergo propter hoc’, sesudah itu, maka karena itu. Contoh:
  • Tersangka meninggal dalam tahanan; maka ia mati karena ditahan.
Salah tafsir sering juga mendasari salah nilai atas penyebaban. Misalnya dalam tahayul. Contoh:
  • Pedagang muda itu selalu sakses usahanya sebab sebelum bekerja ia selalu mencium telapak kaki ibunya.
5. Analogi yang Salah
Analogi ialah usaha pembanding dan merupakan upaya yang berguna untuk mengembangkan perenggang. Namun, analogi tidak membuktikan apa-apa dan analogi yang salah dapat menyelesaikan, karena logikanya yang salah. Contoh:
  • Rektor harus bertindak seperti seorang jendral, menguasai anak buahnya agar disiplin dan dipatuhi.
6. Penyampaian Masalah
Sesat nalar jenis ini terjadi jika argumentasi tidak mengenai pokok masalahnya; atau jika kita menukar pokok masalah dengan pokok lain; atau jika kita menyeleweng dari garis yang telah ditentukan dalam kerangka pokok masalahnya. Contoh :
  • KB tidak perlu, karena masih banyah daerah di Indonesia yang masih sangat sedikit penduduknya.
7. Pembenaraan Masalah Lewat Pokok Sampingan
Sesat nalar di sini muncul jika argumentasi menggunakan okok yang tidak langsung berkaitan atau yang remeh untuk membenarkan pendiriannya. Contoh :
  • Orang boleh melanggar lalu lintas, sesab polisi lalu lintas juga sering melanggarnya.
8. Argumentasi ‘ad homonim’
Sesat nalar jenis ini terjadii jika dalam berargumentasi kita melawan orangnya, bukan masalahnya. Khusus di bidangg politik argumentasi ini banyak dipakai. Contoh :
  • Pelarangan beredar terhadap buku tertentu (meskipun isinya baik) karena pengarangnya bekas pencuri atau narapidana.
9. Himbauan pada Wibawa dan Keahlian yang Patut Disaksikan
Dalam pembahasan masalah, oarang sering berlindung pada wibawa orang lain, pejabat, atau kalangan ahli saat menyampaikan dan menggungkapkan argumentasinya. Contoh :
  • Saya telah mendapat petunjuk dari seseorang insinyur, yang kini menjadi Menteri Kebudayaan, bahwa ekonomi dunia kini berada di persimpangan jalan.
10. Non-Requisite
Sesat nalar jenis ini, dalam argumenttasi mengambil kesimpulan bedasarkan premis yang tidak ada relevansinya. Contoh :
  • Kampus merupakan tempat berkumpulnya para cendekiawan; karena itu, di dalamnya tidak mungkin ada kebodohan.
D. Renungan
Bahasa sekaligus merupakan ‘bagian’ tak terpisahkan dengan budaya
manusia. Di sini bahasa mempunyai fungsi sosial, sekaligus fungsi kultural. Sebagai alat penyampaian hasil kebudayaan dari generasi ke generasi, bahasa harus komunikatis, lancar, tepatguna, berdayaguna, berhasilguna, dan logis.


Pikir berpengaruh pada bahasan, dan beegitu pula bahasa berpengaruh pada pikir. Pendek kata, bahasa dan logika saling berpengaruh, saling melengkapi. Selama manusia masih menggunakan otaknya untuk berfikir, maka selama itu pula logika bahasa memegang peranan penting.


Wednesday, October 2, 2013

Sastra Islami: Struktur atau Maknanya?


Fenomena Ayat-Ayat Cinta mampu menjadi pintu masuk lahirnya kembali sastra Islami. Sebelumnya pada tahun 90-an sudah mulai booming munculnya karya fiksi Islami berupa cerpen-cerpen yang dimuat di beberapa majalah seperti Sabili, Ummi, Ash Sholihat, Annida, dan lainnya.

Di tahun 2000-an sastra Islami seakan hilang menyublim dan bergantung di atas awan penantian. Dan akhirnya melalui Kang Abik dengan AAC-nya, turunlah tetes-tetes air hujan yang akhirnya menjadi mata air yang melahirkan banyak karya sastra Islami.

Ciri khas sastra genre ini adalah banyaknya penggunaan kata-kata dalam bahasa Arab, juga kutipan ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi. Namun, apakah karya sastra yang tidak memuat dan atau berbau Islam banget tidak bisa dikatakan sastra Islami?

Akan menjadi masalah apabila kita melabeli sebuah novel atau cerpen sebagai sastra Islami hanya dengan melihat struktur lahirnya saja (misalnya, diksi dalam bahasa Arab, latar cerita di negri Timur Tengah atau di Pesantren, adanya kutipan ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi).

Sebagai contoh novel Perempuan Berkalung Sorban yang mengambil latar di pesantren. Dari strukturnya, novel tersebut terlihat sebagai novel Islami. Namun, setelah novel itu difilmkan dan tayang di bioskop beberapa minggu, MUI mengeluarkan larangan beredarnya film tersebut dengan alasan film Perempuan Berkalung Sorban merupakan film yang salah dan tidak sesuai dengan syari’at Islam.

Untuk memetik ajaran-ajaran Islam dalam karya sastra, semestinya kita tidak hanya melihat strukturnya yang kental dengan suasana Islam banget. Kita harus lebih melongok lebih dalam untuk melihat makna yang dikandung dalam karya sastra itu.

Kita tengok cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis. Kita ketahui cerpen itu tidak dilabeli sebagai sastra Islami. Namun, kita akui cerpen tersebut membawa nilai-nilai ajaran Islam yang mendalam tanpa kehilangan nilai estetika sastranya. Karya sastra yang dilabeli sebagai sastra Islami atau sastra dakwah saat ini sebagian besar kehilangan nilai estetika sastra. Seolah cukup dengan mengutip ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi dan diramu dengan kisah rekaan jadilah sastra Islami.

Penulis sastra Islami cenderung terlalu fokus pada amanat yang akan disampaikan. Akibatnya, amanat tersebut disampaikan secara eksplisit, baik melalui teks Al-Qur’an dan hadits maupun melalui dialog tokoh. Maka, yang terjadi adalah para pembaca tinggal memungut –tanpa berpikir dan merenung– amanat yang sudah eksplisit tersebut. Di sinilah nilai estetika sastra dari novel semacam itu tereduksi.


Haji Abdul Malik Karim Abdullah yang terkenal dengan nama singkatannya, yaitu HAMKA adalah contoh seorang ulama yang mengarang novel yang tidak kehilangan nilai estetika sastranya. Novel Di Bawah Lidungan Ka’bah menyuguhkan cerita yang sangat menarik yang mampu membuat pembacanya merenung serta memetik hikmah dan amanatnya.

Dapat juga kita menilik Harimau! Harimau! Karya Mochtar Lubis. Novel yang mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai buku terbaik tahun 1975 ini menyuguhkan kisah tentang rombongan pencari kayu damar yang diburu oleh seekor harimau. Dalam kisah yang menegangkan tersebut, Mochtar Lubis secara implisit menyampaikan amanat bahwa sebenarnya setiap orang mempunyai sifat harimau (sifat buas/buruk), maka setiap orang haruslah senantiasa membersihkan hatinya dari sifat-sifat tercela tersebut.

Sastra Islami tidaklah melulu karya sastra yang penuh dengan kutipan ayat Al-Qur’an atau hadits Nabi tetapi lebih pada makna yang terkandung dalam karya sastra itu. Maka, dinanti-nanti munculnya karya sastra yang mengajarkan nilai-nilai Islam tanpa kehilangan nilai estetika sastra. Karya sastra yang tidak menggurui tetapi mampu menyentuh hati pembacanya. Karya sastra yang tidak menceramahi tetapi menginspirasi dan menggunggah.


Oleh: Sukrisno Santoso
Sukoharjo, 12 April 2011
 
 

Pembelajaran Sastra yang Apresiatif


Selama ini pembelajaran sastra hanya sebagai semacam sisipan, atau “sambilan”, sedang materi utamanya adalah bahasa Indonesia (yang paling dominan adalah tata bahasa (fonologi, morfologi, dan sintaksis).

Kalaupun sastra diajarkan oleh guru bahasa Indonesia, itu pun secara sepintas lalu, maka umumnya mereka hanya mengajarkan sastra secara teoretis, tidak apresiatif. 

Materi atau bahan yang diberikan adalah seputar sejarah, teori, dan sedikit kritik sastra. Kritik sastra pun sangat terbatas hanya dengan pendekatan struktural, bahkan struktur pun dengan pemahaman yang sangat terbatas dan kuno. Padahal teori dan pendekatan dalam kritik sastra telah berkembang pesat. Pembelajaran sastra selama ini lebih bersifat teoritis daripada apresiatif. Ciri pembelajaran teoritif adalah tidak adanya kesempatan siswa untuk melibatkan diri dalam proses penemuan materi. Materi berasal dari guru dan siswa hanya menghafal atau memahaminya.

Dalam proses pembelajaran sastra siswa harus dilibatkan. Siswa tidak boleh 'dijajah' untuk menerima pengajaran sastra dari guru tanpa mempunyai kesempatan untuk mengekspresikan dirinya dalam mengapresiasi sastra. Maka, perlu adanya pembelajaran sastra yang apresiatif yang memungkinkan siswa utnuk aktif menggauli sastra, menilai, dan mencipta karya sastra.

Suminto A. Sayuti mengistilahkannya dengan “Pendidikan dan Pengajaran Sastra yang Memerdekakan”. Pengajaran sastra yang memerdekakan mengisyaratkan adanya hak-hak para siswa untuk memperhitungkan latar belakang pengalaman dan pengetahuannya masing-masing dalam menyusun makna teks. (Sayuti dalam Satoto dan Fananie (ed), Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan, 2000: 62-63)


Pelaksanaan pengajaran sastra tidak boleh hanya bertumpu pada satu teori saja yang dijadikan sandarannya. Fokus perhatian terhadap sastra yang selama ini membelenggu pelaksanaan pengajaran harus diubah: dari teks ke pembaca. Sastra yang selama ini diyakini sebagai sebuah objek, hendaknya dipertimbangkan juga sebagai pengamatan, dan pembaca bukanlah konsumen, melainkan peraga aktif yang membawa teks ke dalam kehidupan pikirannya. (Sayuti dalam Satoto dan Fananie (ed), 2000: 62)

Pembelajaran sastra mestilah pembelajaran yang apresiatif. Siswa diajak dan dipersilakan menikmati sastra, menggauli, menilai, atau mencipta sastra. Itulah apresiasi sastra.

Pembelajaran sastra yang apresiatif berarti pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk melakukan apresiasi sastra. Kegiatan apresiasi sastra ini memiliki beberapa tingkatan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wardani (dalam Sufanti,
Strategi Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, 2010: 50) bahwa proses apresiasi terdiri dari beberapa tingkatan:
  1. Tingkat menggemari yang ditandai oleh adanya rasa tertarik pada buku-buku sastra serta keinginan untuk membacanya.
  2. Tingkat menikmati yaitu mulai dapat menikmati karya sastra karena mulai tumbuhnya pengertian.
  3. Tingkat mereaksi yaitu mulai ada keinginan untuk menyatakan pendapat tentang karya sastra.
  4. Tingkat produksi yaitu mulai menghasilkan karya sastra.

Aminuddin (dalam Satoto dan Fananie (ed), 2000: 50-51) mengemukakan bahwa pembelajaran sastra di kelas harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Pembelajaran sastra di kelas ditandai oleh terdapatnya aktivitas membaca karya sastra, baik itu dilakukan oleh guru maupun murid.
  2. Guru menciptakan kelas pembelajaran sastra sebagai sebuah bentuk hubungan sosial kemanusiaan sehingga dalam pembelajaran terjadi dialog antara murid dengan murid maupun guru dengan murid.
  3. Guru tidak lagi 'menggurui' tetapi memberi kesempatan kepada murid untuk menyampaikan pendapatnya secara variatif, baik secara lisan maupun tertulis.
  4. Pembelajaran sastra di kelas sungguh-sungguh tampil sebagai sosok pembelajaran yang diisi aktivitas tukar pendapat, refleksi pemahaman, proses menyusun pengetian, mengkomunikasikan fakta, pendapat, dan pemahaman.

*Oleh: Sukrisno Santoso