Sunday, May 13, 2012

Cerpen "Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)" (Djenar Mahesa Ayu)

    Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan menolak. Saya sangat tahu aturan main. Bagi pria semapan saya, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan! Berapa banyak main-main yang bisa saya lakukan dalam lima tahun?

    Saya heran, selama lima tahun mereka menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala mereka tentang pernikahan. Tapi jika saya katakan hubungan mereka itu hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas mereka akan menolak. Mereka sangat tahu aturan main. Bagi mereka, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan! Berapa banyak main-main yang bisa saya lakukan dalam
    lima tahun?

    Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan menolak. Saya sangat tahu aturan main. Bagi wanita secantik saya, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan! Berapa banyak main-main yang bisa saya lakukan dalam lima tahun?

    Saya heran, selama lima tahun mereka menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala mereka tentang pernikahan. Tapi jika saya katakan hubungan mereka itu hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas mereka akan menolak. Mereka sangat tahu aturan main. Bagi mereka, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan! Berapa banyak main-main yang bisa saya lakukan dalam lima tahun?
    Ini tidak main-main!

    Awalnya memang urusan kelamin. Ketika pada suatu hari saya terbangun dan terperanjat di sisi seonggok daging tak segar dipenuhi gajih yang tak akan mudah hilang dengan latihan senam mauupun fitness setiap hari sekalipun. Hanya sedot lemak yang dapat menyelamatkan onggokan daging itu dari lemak- lemaknya. Setelah itu pun harus pandai-pandai merawatnya. Dan kerut-merut di sekitar mata, kening, dan lehernya, hanya dapat tertolong oleh bedah plastik. Kalau hanya akupunktur, entah berapa juta jarum yang harus ditusukkan supaya dapat mengembalikan ke kencangan semula. Lantas apakah ada teknologi pengubah pita suara? Ketika onggokan daging itu bernyawa, ia benar-benar bagai robot dengan rekaman suara. Celakanya, rekaman suaranya cempreng seperti kaleng rombeng.

    Astaga...
    pusing saya mendengarnya. Pagi-pagi sebelum berangkat kerja saya mau tenang. Sebentar kemudian saya akan terjebak kemacetan, bertemu klien yang menyebalkan, dan karyawan yang tak berhenti minta tanda tangan, rutinitas yang membosankan. Anehnya, sejak hari itu, saya lebih memilih lekas-lekas berada di tengah-tengah kemacetan dan segudang rutinitas yang membosankan itu ketimbang lebih lama di rumah melihat seonggok daging yang tak sedap dipandang dan suara yang tak sedap didengan. Kalau saya saja sudah jengah bertemu, apalagi kelamin saya?

    Awalnya memang urusan kelamin. Pada suatu hari, ia terbangun dan terperanjat di sisi seonggok daging yang tak lagi segar. Ah... saya tak sampai hati menyampaikan apa yang diutarakannya pada saya. Tak pantas menyamakan seorang istri dengan seonggok daging, apalagi daging yang tak segar.

    Bahkan ia mengatakan senam kebugaran tak akan menyelamatkan istrinya dari serbuan lemak. Hanya sedot lemak yang dapat menyelamatkan, katanya. Setelah itu pun harus pandai-pandai merawatnya. Dan kerut-merut yang menggelayut di wajah istrinya, hanya dapat diselamatkan dengan cara bedah plastik. 
    Akupunktur hanyalah sia-sia belaka. Sebenarnya kalimat sia-sia belaka pun sudah saya perhalus. Yang ia katakan adalah, diperlukan berjuta-juta jarum untuk mengembalikan kulit istrinya ke kenyalan semula. Lebih gilanya lagi, ia menanyakan apakah ada teknologi yang dapat mengubah pita suara manusia. Suara istrinya bagai kaleng rombeng, bagai robot. Ia lebih memilih terjebak kemacetan, bertemu klien yang menyebalkan, ketimbang berlama-lama di rumah. Dan dengan santai dengan muatan gurau ia berkata, “Kalau saya saja sudah jengah bertemu, apalagi kelamin saya?”

    Awalnya memang urusan kelamin. Ketika pada suatu hari ia terbangun dan terperanjat di sisi seonggok daging, sebongkol lemak, gulungan kerut-merut hingga suara kaleng rombeng. Saya sudah terbiasa mendengar keluhan suami-suami tentang istri-istri mereka. Saya juga tahu, mereka senang, sayang sampai cinta pada saya, awal mulanya pasti urusan fisik, urusan mata, urusan syahwat. Mana mungkin bertemu langsung sayang, pasti senang dulu, dan senang itu bukan urusan perasaan tapi pemandangan, bukan? Sebenernya, saya tidak terlalu nyaman mendengar keluhannya itu. Saya toh seorang perempuan yang suatu saat akan menjadi istri, yang berlemak, berkerut-merut dan cerewet seperti kaleng rombeng, yang pada suatu saat nanti mungkin akan dicampakkan dan dilupakan seperti istrinya sekarang.

    Tapi sekarang ya sekarang, nanti ya nanti. Saya cantik, ia mapan. Saya butuh uang, ia butuh kesenangan. Serasi, bukan? Namun begitu, saya sering menasihatinya supaya tak terlalu kejam begitu pada istri. Sekali-kali, tak ada salahnya memberi istri sentuhan dan kepuasan. Bukannya saya sok pahlawan. Bukannya saya sok bermoral. Bukannya saya sok membela perempuan tapi saya memang tak ada beban. Target saya hanya kawin urat, bukan kawin surat. Tapi ia kerap menjawab, “Kalau saya saja jengah bertemu, apalagi kelamin saya?”

    Awalnya memang urusan kelamin. Ketika ia terbangun dan terperanjat di sisi seonggok daging yang tak lagi segar, begitu ucapannya yang saya dengar dalam bisik-bisik perbincangan telepon dengan entah teman, atau daging segarnya yang baru. Sebenarnya saya sudah sering dinasihati teman-teman,  untuk senantiasa menjaga berat badan. Tapi ketika saya sudah mulai mengikuti senam kebugaran, saya mendengar ia mengatakan –masih dalam perbincangan telepon yang sama– bahwa lemak saya tak mungkin terselamatkan dengan senam setiap hari sekali pun! Bahkan ia juga menyebut-nyebut tentang terapi akupunktur yang sedang saya ikuti untuk memperkencang kulit muka saya yang mulai melorot.

    Saya hanya sempat mendengar ia menyebut jutaan jarum, tidak jelas apa maksudnya. Mungkin saja maksudnya, jutaan jarum pun tak sanggup menyelamatkan kerut-merut di wajah saya. Dan ada lagi, ia mengatakan kalau suara saya bagai kaleng rombeng! Saya sadar, saya memang cerewet. Tapi sudah menjadi kewajiban saya untuk cerewet. Tanpa saya cereweti, pembantu-pembantu pasti kerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki. Saya ingin rumah selalu terjaga rapi, bersih, supaya ia senantiasa betah di rumah. Supaya perasaannya tenang sebelum dan sesudah meninggalkan rumah. Saya juga sudah bosan cerewet. Cerewet itu lelah. Mengatur dan mengurus pekerjaan rumah tidaklah mudah. Bahkan untuk urusan rumah inilah kulit saya keriput, tubuh saya gembrot, karena saya sudah tak punya waktu lagi selain mengurus rumah, rumah, dan rumah. Tapi ternyata yang saya lakukan bukan membuatnya bertambah menghargai jerih payah saya, melainkan menjauhkan dirinya dari saya. Bukannya saya melebih-lebihkan. Tapi saya benar-benar dengan jelas mendengar ia mengatakan, “Kalau saya saja jengah bertemu, apalagi kelamin saya?”
    ***

    Saya heran. Bisa juga seonggok daging itu hamil. Padahal saya hanya menyentuhnya sekali dalam tiga sampai lima bulan. Itu pun karena kasihan. Juga dengan ritual, terlebih dulu minum ginseng supaya ereksi. Juga dengan catatan, lampu harus mati dan mata terpejam. Karena saya sudah terbiasa melihat dan menikmati keindahan. Tubuh tinggi semampai. Kaki belalang. Rambut panjang. Leher jenjang. Pinggang bak gitar. Dan buah dada besar. Ah... seperti apakah bentuknya nanti setelah melahirkan?

    Saya heran. Ternyata istrinya hamil. Padahal ia mengaku hanya menyenuhnya sekali dalam tiga sampai lima bulan. Itu pun ia harus terlebih dulu minum ginseng supaya bisa ereksi. Dan ia melakukannya harus dengan kondisi lampu mati dan mata terpejam supaya memudahkannya untuk membayangkan tubuh tinggi semampai, kaki belalang, rambut panjang, leher jenjang, pinggang bak gitar dan buah dada besar. Ah... saya tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi setelah istrinya melahirkan?

    Saya heran. Ternyata istrinya hamil. Padahal ia mengaku hanya menyentuhnya sekali dalam tiga sampai lima bulan. Itu pun harus terlebih dulu minum ginseng untuk ereksi dan memadamkan lampu supaya ia bisa dengan leluasa membayangkan saya. Mungkin selama ini ia hanya berbohong untuk menyenangkan saya. Sesungguhnya hubungan dengan istrinya baik-baik saja dan jika mereka punya anak, pastilah hubungan mereka tambah membaik. Ah... saya tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi setelah istrinya melahirkan?

    Saya heran. Ternyata saya hamil. Padahal jarang sekali ia menyentuh saya. Benar-benar hanya sekali dalam tiga bulan, bahkan tidak jarang sampai lima bulan. Itu pun dengan lampu yang dipadamkan dan matanya pun selalu terpejam. Seolah-olah ia sedang tidak bersama saya. Ia sedang berada di dunia lain dan tidak mau berbagi dengan saya. Tapi saya hamil. Saya akan memberikannya seorang anak. Mungkin perkawinan kami bisa terselamatkan dengan kelahiran anak kami kelak. Ah... saya tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi setelah saya melahirkan?
    ***

    Saya heran. Kehamilan ini tidak juga membuat hati saya bahagia. Kehamilan ini membuat saya bingung. Apakah memang saya ditakdirkan untuk selamanya terperangkap dengan onggokan daging yang tak segar, gelayut lemak, dan bunyi kaleng rombeng, hanya karena saya terlanjur dikaruniai anak? Sahabat saya bilang, seharusnya saya bersyukur. Sebentar lagi saya akan diberi karunia dan diberi jalan untuk menata kembali rumah tangga saya. Apakah saya tidak berhak menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri?

    Saya heran. Kehamilan istrinya tidak juga membuat hatinya bahagia. Ia malah bingung. Ia merasa kehamilan ini adalah upaya alam yang hendak memerangkapnya seumur hidup bersama seonggok daging yang tak segar, gelayut lemak, dan bunyi kaleng rombeng. Padahal, saya melihatnya sebagai karunia, sebuah jawaban dan upaya dari alam supaya ia bisa mulai menata kembali rumah tangganya. Tapi ia malah melontarkan pertanyaan pada saya dengan nada keras. “Apakah saya tidak berhak menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri?”
    Saya heran. Kehamilan istrinya tidak juga membuat hatinya bahagia. Ia malah bingung. Padahal seharusnya saya yang bingung. Apakah pernyataannya yang seolah-olah seperti ngeri terperangkap dengan istrinya seumur hidup itu benar?

    Jangan-jangan hanya di mulut belaka. Dulu, ia katakan jarang menyentuh istrinya. Tapi ternyata istrinya hamil. Lantas apakah yang sedang dilakukannya sekarang di depan saya lagi-lagi hanya sebuah lelucon? Matanya menerawang dan kerap mengulang gumaman, “Apakah saya tidak berhak menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri?

    Saya rasa saya sudah melangkah terlalu dalam. Sudah begitu banyak waktu terbuang hanya untuk urusan gombal-gombalan. Sudah saatnya saya bertindak tegas. Tidak seperti dirinya yang hanya dapat bergumam saya akan menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri.

    Saya heran. Kehamilan saya sepertinya tidak juga membuatnya bahagia. Ia lebih kelihatan bingung. Saya merasa kehamilan ini bukanlah karunia baginya melainkan derita yang kelak akan memerangkapnya untuk tetap bertahan dalam mahligai rumah tangga.

    Saya tidak berlebihan. Ia lebih jarang ada di rumah sekarang. Mungkin saya sudah terlalu lama merendahkan diri saya sendiri dengan membiarkannya menginjak-injak harga diri saya selama pernikahan kami. Tapi jangan harap ia bisa melakukan hal yang sama kepada anak saya. Sudah saatnya saya bertindak tegas. Saya berhak menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri.
    ***

    “Saya hanya main-main, Ma... saya cinta kamu. Beri kesempatan saya untuk memperbaiki kesalahan saya.”
    “Saya sering katakan, jangan main api nanti terbakar.”
    “Saya tidak main-main. I'm leaving you...”
    “Saya tidak main-main. I'm leaving you...” 
    Ini tidak main-main!

    Jakarta, 8 Desember 2002, 8:52:47

    No comments:

    Post a Comment